Mengalahkan Pencobaan Dengan Kuasa Firman

Baca: Lukas 4:1-13

"Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik." (Lukas 4:13)

Selama hidup di dunia ini kita akan terus diperhadapkan pada ujian dan pencobaan karena dunia di mana kita tinggal ini telah dikuasai oleh dosa, dan sudah sangat jelas bahwa sifat-sifat dosa itu sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya setiap orang yang percaya harus terus berjuang melawan pencobaan dan godaan yang dipanahkan iblis. Adalah tidak mudah menang melawan pencobaan-pencobaan yang menyerang kita, karena "...roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).

Mengapa kita harus diperhadapkan pada pencobaan-pencobaan? Ketahuilah bahwa Tuhan tidak pernah menjanjikan kehidupan orang percaya itu bebas dari segala pencobaan, tapi yang pasti Dia berjanji untuk selalu memberikan jalan keluar, sedangkan "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13).

Bagaimana supaya kita bisa menang melawan pencobaan dari iblis? Cara terbaik adalah harus melekat pada Tuhan dan senantiasa tinggal di dalam firmanNya. Tuhan Yesus telah meninggalkan teladan yang luar biasa bagaimana melawan pencobaan. Ketika sedang dicobai iblis, tak henti-hentinya Yesus menggunakan firman Allah sebagai pedang Roh untuk mematahkan setiap tipu muslihat iblis. Sebagaimana tertulis, selama empat puluh hari Yesus berpuasa di padang gurun, di mana kesempatan ini tidak disia-siakan iblis untuk mencobai Dia. Tiga kali iblis berusaha untuk melemahkan Yesus dengan harapan Dia gagal menggenapi rencana Bapa dalam hidupNya, agar Dia berbalik dari jalan yang sudah ditentukan oleh BapaNya. Tiga kali pula Yesus membalas serangan iblis itu dengan memperkatakan firman Tuhan, "Ada tertulis..." Dan akhirnya Yesus menang!

Firman itu hidup dan berkuasa karena itu adalah perkataan Allah sendiri! Kuasa itu semakin nyata bila kita memperkatakan firman itu dengan iman. Namun, mengapa kita sebagai orang Kristen malas membaca Alkitab?

Sebesar apa pun pencobaan yang menyerang kita, sepatah kata dari firman Tuhan yang kita ucapkan dengan iman akan sanggup mengalahkannya.

Perkataan Kita Masa Depan Kita

Baca: Lukas 6:43-45

"Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik..." (Lukas 6:45a)

Penulis Amsal berkata, "Hidup dan mati dikuasai oleh lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21). Ini menandakan bahwa apa yang kita ucapkan, atau perkataan yang keluar dari mulut kita itu angat berdampak karena apa yang kita ucapkan dan kita percayai akan benar-benar terjadi. Yesus berkata, "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Lukas 17:6)

Karena perkataan kita itu sangat penting, maka kita perlu memastikan bahwa apa yang kita ucapkan itu sesuai dengan apa yang Tuhan katakan melalui firmanNya. Memperkatakan firman Tuhan adalah cara yang sangat baik untuk membangun iman kita. Sebagai orang percaya, setiap kita memiliki kuasa atas kehidupan atau kematian, kemenangan atau kekalahan, berkat atau kutuk, melalui perkataan kita setiap hari. Apa yang senantiasa kita ucapkan atau gemakan akan sangat menentukan masa depan kita.

Perkataan kita cerminan dari apa yang ada di dalam hati kita sendiri. Karena itu, kita harus mengisi perbendaharaan hati kita dengan hal-hal yang baik dan benar. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua orang yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).

Mengucapkan yang benar akan memberikan pengaruh yang baik dalam setiap area kehidupan kita. Karena itu kita harus menjaga perkataan iman kita, sebab iman dilepaskan melalui mulut atau ucapan kita dan itu sangat menentukan masa depan kita. Ketika Musa mengutus 12 orang untuk mengintai negeri Kanaan, hanya Yosua dan Kaleb yang memperkarakan hal-hal baik sebagai perkataan iman. Sedangkan 10 orang lainnya (mayoritas) memberikan laporan yang negatif atau buruk. Seluruh rakyat justru terpengaruh dengan laporan yang negatif itu sehingga mereka tawar hati dan menolak untuk memasuki negeri itu. Akibat dari ketidaktaatan itu Tuhan 'mendidik' mereka di padang gurun selama empat puluh tahun lamanya, sampai semua angkatan yang memberontak itu mati, kecuali Kaleb dan Yosua.

Bangsa Israel mengalami kegagalan karena lebih percaya pada perkataan-perkataan negatif.

Menjadi Sahabat Tuhan

Baca: Yohanes 14:14-17

"Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." (Yohanes 15:14)

Memiliki teman karib atau sahabat adalah mudah bagi orang yang berpangkat, terkenal dan juga kaya seperti tertulis: "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya" (Amsal 19:4). Sebaliknya bagi kita yang susah, miskin, gagal dan terpuruk, sangat mudah ditinggalkan atau diabaikan teman dan sahabat. Kita merasa sangat rendah dan membayangkan betapa sulitnya orang mau menjadi sahabat kita, terlebih di zaman sekarang ini susah sekali menemukan sahabat sejati, apalagi sahabat yang "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17). Banyak orang berprinsip: "Asal dia menguntungkan, saya mau jadi sahabatnya. Kalau tidak, I am so sorry, I say goodble!"

Mencari sahabat di antara sesama manusia saja begitu sulit, mana mungkin kita bisa mempercayai bahwa Tuhan Yesus, yang adalah Raja di atas segala raja, Tuhan di atas segala tuhan, mau memilih kita untuk menjadi sahabatNya. Siapakah kita ini?

Tapi dari pembacaan firman hari ini Ia berkata, "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku." (Yohanes 15:15). Tuhan menggambarkan hubunganNya dengan kita dalam tingkatan yang intim yaitu sebagai sahabat. Lagi-lagi, Dialah yang lebih dulu memilih kita sebagai sahabatNya, bukan kita. Suatu anugerah yang tak terkira, di mana Yesus Kristus telah memilih kita untuk menjadi sahabatNya.

Persahabataan akan terjalin karena di dalamnya ada kasih di antara dua pihak. Tuhan pun memiliki standar untuk menjalin persahabatan dengan kita. Itulah sebabnya Tuhan memberikan firmanNya dan hukum-hukumNya itu untuk kita. Syarat utama persahabaan dengan Tuhan adalah ketaatan kita terhadap firmanNya. Bersahabat dengan Tuhan berarti mau berjalan dalam terangNya senantiasa karena Ia adalah terang dunia, yang berarti langkah kita seiring dengan langkah Tuhan, berjalan ke mana pun Tuhan menuntun kita.

Sebaliknya jika kita tidak taat melakukan firmanNya, tidak karib dengan Dia dan tetap berjalan dalam kegelapan, kita tidak layak disebut sahabat Tuhan.

Hamba Tuhan, Jangan Memegahkan Diri!

Baca: 1 Korintus 9:1-18

"Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil." (1 Korintus 9:16)

Banyak yang terjadi di kalangan kita, orang Kristen suka menilai, mengukur atau membanding-bandingkan hamba Tuhan yang melayani di gereja masing-masing. Berbagai faktor digunakan untuk menilai siapakah di antara mereka yang layak disebut sebagai hamba Tuhan yang berhasil, hebat, berpengaruh, banyak karunia, terkenal dan sebagainya.

Bukanlah pada tempatnya bila kita menilai atau mengukur pelayanan seorang hamba Tuhan menurut kriteria kita sendiri. Popularitas, jabatan dan jumlah anggota jemaat yang dilayani oleh seorang hamba Tuhan tidak sepenuhnya menjadi ukuran keberhasilan seorang pelayan Tuhan. Yang berhak untuk menilai dan punya kriteria itu adalah Tuhan, bukan kita, "Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah." (1 Korintus 3:13b-14). Jadi para hamba Tuhan itu tidak seharusnya dinilai oleh sesamanya manusia yang biasanya punya kecenderungan untuk menghakimi, dan juga tidak boleh menilai diri sendiri, yang mengarah pada kemegahan diri.

Rasul Paulus menyatakan hal yang harus diperhatikan oleh hamba Tuhan supaya pelayanannya dikenan Tuhan. Kata hamba secara harafiah berarti: orang yang berada di bawah perintah; tingkatan para budak yang paling rendah atau hina. Sebagai hamba Tuhan berarti kita adalah hamba-hamba Kristus, artinya di dalam segala hal kita harus tunduk kepadaNya. Paulus, meski sebagai seorang rasul, tidak memegahkan diri; ia tetap menilai dirinya sendiri sebagai seorang hamba, seorang budak hina dari Tuhannya. Kata Paulus, "Karena jika akau memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri." (1 Korintus 9:16a).

Harus kita sadari bahwa seorang 'hamba' itu, kapan pun dan di mana pun dia berada selalu berada di posisi terendah, paling sedikit dihargai orang. Nah, karena memberitakan Injil itu adalah sebuah tanggung jawab dan perintah dari Tuan kita (Yesus Kristus), maka tujuan utamanya adalah hanya untuk hormat dan kemuliaan nama Tuhan, bukan untuk mencari hormat dan pujian diri sendiri. 

Sebagai hamba, bagian kita adalah taat!

Taat Dan Bersyukurlah

Baca: Ulangan 10:12-22

"Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk." (Ulangan 10:16)

Adakah di antara kita yang tidak pernah megecap kebaikan Tuhan? Pastilah tak seorang pun di dunia ini yang tidak pernah mengalami dan merasakan kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Daud juga mengakuinya, "Engkau Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!" (Mazmur 16:2). Sungguh, "Tuhan itu baik kepada semua orang," (Mazmur 145:9a).

Apa yang dialami bangsa Israel menjadi contoh nyata betapa Tuhan itu baik! Saat berjalan keluar meninggalkan negeri perbudakan (Mesir), tak sekali pun dibiarkanNya bangsa itu berjalan sendirian. Tuhan senantiasa menuntun dan menyertai mereka. Ketika mereka harus melewati padang gurun "Tuhan berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." (Keluaran 13:21-22).

Kebaikan Tuhan tidak hanya sampai di situ, perihal makanan jasmani pun dicukupinya. "Orang Israel makan manna empat puluh tahun lamanya,..." (Keluaran 16:35), bahkan sandang pun Dia perhatikan. "Pakaianmu tidaklah menjadi buruk di tubuhmu dan kakimu tidaklah menjadi bengkak selama empat puluh tahun ini." (Ulangan 8:4).

Meski telah mengecap kebaikan Tuhan secara luar biasa, bangsa Israel masih sulit mengucap syukur. Pandangan mereka hanya terarah pada roti (berkat) atau perkara-perkara lahiriah saja. Ketika mengalami masalah sedikit saja mereka langsung memberontak kepada Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan membawa mereka ke padang gurun untuk proses pendewasaan. Bukannya Tuhan bermaksud jahat atas bangsa ini, tetapi Tuhan hendak mengajar supaya mereka sadar bahwa kehidupan ini bukan hanya urusan perut atau makan minum melulu, tapi ada perkara rohani yang harus diperhatikan karena itu jauh lebih penting, yaitu bagaimana hubungan kita dengan Tuhan dan ketaatan kita melakukan firmanNya.

Kadang Tuhan mengijinkan kesulitan dengan segala bentuknya dalam kehidupan kita sebagai bentuk disiplin. Juga melalui setiap kesulitan yang Tuhan ijinkan hadir dalam hidup kita Dia ingin melatih kita untuk benar-benar bergantung kepadaNya saja.

Mari camkan ini: "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4)

Sudahkah Kita Memberi Yang Terbaik?

Baca: Mazmur 4:1-9

"Persembahkanlah korban yang benar dan percayalah kepada Tuhan." (Mazmur 4:6)

Kepada umat Israel Tuhan berfirman, "Janganlah engkau mempersembahkan bagi Tuhan, Allahmu, lembu atau domba, yang ada cacatnya, atau sesuatu yang buruk; sebab yang demikian adalah kekejian bagi Tuhan Allahmu." (Ulangan 17:1).

Di zaman Perjanjian Lama dulu, setiap kali bangsa Israel datang menghadap kepada Tuhan mereka harus selalu membawa persembahan berupa hewan korban. Tetapi tidak sembarang hewan persembahan itu berkenan di hati Tuhan. Jadi mereka harus membawa hewan-hewan yang terbaik: gemuk atau tambun, sehat dan tidak bercacat sebagai persembahan, karena Tuhan menyukai persembahan yang terbaik.

Di zaman anugerah ini kita tidak perlu membawa hewan korban dalam ibadah atau saat datang menghadap Tuhan. Lalu, apa yang kita bawa kepada Tuhan sebagai persembahan? Persembahan itu adalah hidup kita sendiri seperti yang disampaikan rasul Paulus kepada jemaat di Roma, "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1). Maka dari itu kita harus bisa menjaga hidup kita sesuai dengan kehendak Tuhan.

Inilah yang Tuhan kehendaki: suatu kehidupan yang tidak bercacat cela. Yang terbaiklah yang harus kita persembahkan kepada Tuhan, karena Tuhan sudah terlebih dahulu memberikan yang terbaik bagi kita! Dikatakan, "Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran." (1 Petrus 2:24)

Jadi, sebagai balasannya kita juga harus memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Dengan cara apa? Dengan cara menyembah Dia dengan segenap hati, beribadah dengan sungguh-sungguh, dan juga melayani Dia dengan penuh komitmen. Banyak orang Kristen yang datang ke gereja hanya sebagai rutinitas semata, cuma duduk diam, memuji Tuhan tanpa ekspresi dan saat mendengarkan khotbah pun sambil bersenda gurau atau memainkan handphone. Itukah yang dinamakan memberikan yang terbaik?

Memberikan yang terbaik kepada Tuhan berarti tidak "...menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa....Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran." (Roma 6:13)

Ketidaksetiaan = Menjadi Orang Buangan

Baca: 1 Tawarikh 9:1-13

"...sedang orang Yehuda telah diangkut ke dalam pembuangan ke Babel oleh karena perbuatan mereka yang tidak setia." (1 Tawarikh 9:1b)

Bangsa Israel adalah bangsa yang paling beruntung dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, karena bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan dan umat kepunyaanNya sendiri. Begitu luar biasanya Tuhan menuntun dan membela umatNya ini. Setiap kali mereka berperang melawan musuh, kemenangan menjadi milik bangsa Israel karena Tuhan ada di pihak mereka.

Namun jika kita membaca ayat nas di atas, masa-masa kejayaan bangsa Israel sudah hilang lenyap. Kemegahan, kebesaran dan kejayaan Israel di masa-masa Salomo memerintah sepertinya hilang tak berbekas, tinggal puing-puing kehancuran, padahal pada waktu itu semua bangsa di dunia begitu mengagumi dan menghormatinya. Kini mereka tak berdaya dan takluk di tangan tentara-tentara Babel. Kerajaan Israel menjadi hancur dan semua penduduknya diangkut keluar dari Israel dan menjadi tawanan di Babel. Umat Israel harus menyandang status sebagai orang-orang buangan.

Nasib bangsa Israel kok begitu tragis? Tuhan kok tega melihat umatNya mengalami penderitaan heabat itu? Bukankah Tuhan pernah berkata kepada Musa, "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka." ? (Keluaran 3:7).Apakah Tuhan sudah lupa? Di manakah kehebatan dan kuasa Tuhan yang selama ini dinyatakan atas Israel secara ajaib? Alkitab menyatakan bahwa "...orang Yehuda telah diangkut ke dalam pembuangan ke Babel oleh karena perbuatan mereka yang tidak setia." 

Bangsa Israel mengalami kehancuran dan dipermalukan oleh bangsa lain karena ulah mereka sendiri. Mereka tidak taat kepada Tuhan, bahkan hati mereka telah condong kepada ilah-ilah lain. Padahal Tuhan sudah sangat sabar terhadap mereka, tapi kesabaran Tuhan malah mereka salah-gunakan, bahkan mereka semakin menjauh dari jalan-jalanNya. Berkali-kali Tuhan sudah menegur bangsa Israel tapi tidak membuat mereka bertobat. Sampai-sampai Tuhan menyebut mereka sebagai "...bangsa yang tegar tengkuk." (baca Ulangan 9:13). Karena ketidaksetiaannya, Tuhan meninggalkan mereka, sehingga mereka pun dengan mudah dikalahkan dan ditawan oleh Babel.

Jadilah orang Kristen yang setia kepada Tuhan, jangan memberontak!

Pelajaran Dari Sebuah Jam

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya, “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31.536.000 kali selama setahun ?”

“Ha?” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?”

“Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari?”

“Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam?”

“Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali? Banyak sekali itu.” Tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada jam, “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”

“Nah, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam penuh dengan antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.536.000 kali dalam setahun.

Pada saat kita diperhadapkan dengan suatu tugas yang berat, acapkali kita berkata bahwa kita tidak sanggup. Namun, ketika kita mengambil komitmen untuk memulai dan mengerjakannya setahap demi setahap, tanpa sadar kita telah menyelesaikan tugas yang nampak berat tersebut. Pilihan selalu ada pada diri kita masing-masing.

Maukah kita memulainya sekarang dan percaya bahwa kita mampu melakukannya?

Jendela Hati

Ada sepasang suami istri yang baru pindah rumah, ketika mereka menyantap sarapan pagi pada keesokan harinya, sang istri melihat tetangganya yang menjemur pakaian di luar rumah.

"Cuciannya tidak begitu bersih," ucap sang istri kepada suaminya. "Dia tidak tahu cara mencuci yang bersih, mungkin dia butuh sabun cuci yang lebih bagus."

Suaminya pun ikut melihat tetapi tidak berkomentar. Setiap kali tetangganya menjemur pakaian, sang istri selalu mengatakan hal yang sama.

Sebulan kemudian, sang istri terkejut ketika melihat cucian yang bersih dijemuran tetangganya, ia pun berkata pada suaminya, "Lihatlah! dia telah belajar cara mencuci yang benar, siapa yang mengajarkan padanya ya?"

Sang suami berkata, "Aku bangun awal pagi ini dan membersihkan jendela kita!"

Bukankah ide yang bagus untuk mengecek terlebih dahulu apakah "jendela" anda bersih? Apa yang kita lihat ketika melihat seseorang tergantung dari kebersihan "jendela" tempat kita melihat.

Sebelum kita mengkritik sesuatu, ada baiknya kita mengecek dulu pikiran kita dan bertanya pada diri kita sendiri apakah kita bisa melihat sesuatu yang salah dari orang lain. Apa yang kita lihat tergantung kacamata yang kita gunakan, kalau kita menggunakan kacamata hitam semua akan sangat gelap, namun bila kita menggunakan kacamata yang bening kita akan melihat semuanya sangat terang, tergantung dari sisi mana kita melihat.

"Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" (Matius 7:3)

Kepiting Dan Pertapa

Suatu ketika di sore hari yang sejuk, nampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan.

Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai, sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana nampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur,dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting. Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya.

Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus lagi. Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting, engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?”

“Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa mahluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting,” jawab si pertapa muda.dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.

“Lihat, anak muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik,tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong mahluk lain, tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan, bukan?”

Seketika itu, si pemuda tersadar. “Terima kasih, Paman. Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijaksanaan. Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang paman ajarkan.”

Mempunyai sifat belas kasih, mau memperhatikan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orang tua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun. Tetapi, kalau cara kita salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.

Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu.

Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya. (Amsal 14:15)

Menemukan Koin Penyok

Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. “Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.

“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dolar.

Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya kayu yang sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan barang-barang. Sesudah membeli kayu seharga 30 dolar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati tempat seorang pembuat mebel. Mata pemilik tempat mebel itu sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dolar kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dolar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dolar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dolar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik-baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi.”

Bila kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

“...'Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!'” (Ayu 1:21)

Prinsip 90/10 Ala Stephen Covey

Di suatu pagi si ayah bersiap siap berangkat kerja dengan pakaian rapi menuju ke meja makan untuk menyantap sarapan pagi. Dia memegang secangkir kopi yang siap diminum, tidak diduga ternyata gadis kecilnya menyengol tangan ayahnya yang mengakibatkan tumpahan kopi mengenai kemeja. Seketika itu si ayah refleks merespon kejadian tersebut, marah kepada gadis kecilnya dengan membentak untuk menyuruh menyelesaikan sarapannya.

Si ibu merasa sikap ayah berlebihan dan membela gadis kecilnya. Masih dengan mengerutu si ayah masuk ke kamar untuk ganti baju, segera kembali ke meja makan berharap gadis kecilnya sudah selesai menyantap sarapannya. Ternyata si kecil masih menangis sesenggukan dan makannya belum selesai yang mengakibatkan dia ketinggalan bis sekolah, akhirnya si ayah harus mengantarkan si anak ke sekolah.

Sesampai di sekolah si anak tidak lagi melambaikan tangan seperti biasa di lakukan. Perjalanan ke arah kantor yang masih jauh membuat ayah ngebut dan kecepatan mobilnya melebihi kecepatan dan akhirnya mendapat tilang. Sesampainya di kantor dia harus presentasi kepada klien besar yang akan memberikan order besar, apa yang terjadi dokumen yang sudah disiapkan ternyata tertinggal di baju kotornya tadi, dia kehilangan klien besarnya. Hari yang benar-benar buruk!

Sepulang dari kantor sore itu dia mendapati hubungan dengan anak dan istri yang terganggu, seharian ini dimulai dari cara merespon yang tidak baik maka lengkaplah seluruh hari itu.

Apa yang salah?

Seandainya saja si ayah mengambil sikap yang berbeda, sekiranya hasil juga akan berbeda. Jika respon begini: "Nak lain kali lebih hati hati ya, lihat baju ayah jadi kotor. Ya sudah makannya diselesaikan supaya tidak ketinggalan bis sekolah. Ayah ganti baju ya."

Dengan emosi yang terkontrol si ayah ganti baju dan mengambil dokumen di sakunya. Si anak menyelesaikan makan dan pergi bersama bis sekolah, tidak lupa salam dengan kedua orang tuanya. Si ayah menyelesaikan sarapan dan pergi ke kantor dengan tidak terburu buru, sesampai di kantor bisa menyiapkan presentasi terbaik untuk kliennya.

Kejadian yang awalnya sama, tapi akhirnya beda. Semua itu dikarenakan bagaimana reaksi kita. Prinsip 90/10 dari Stephen Covey ini bisa mengubah hidup kita atau paling tidak mengubah cara kita menyikapi masalah. Apa yang dimaksud dengan Prinsip 90/10 ?

10% dari kehidupan kita ditentukan oleh apa yang terjadi pada kita, namun 90% lagi ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi (bersikap) terhadap suatu kejadian. Apa maksudnya? Kita tidak memiliki kendali atas 10% yang terjadi dalam hidup kita, tapi 90% lainnya ditentukan oleh bagaimana reaksi kita. Bukan soal benar atau salah, tetapi respon. Misalnya kita tidak bisa menduga ketika mobil kita tiba-tiba mogok, pesawat yang akan kita tumpangi ditunda keberangkatannya yang membuat jadwal kita berantakan, perusahaan tempat kita bekerja mengeluarkan kebijakan yang tidak bijaksana, dan sebagainya. Artinya kita tidak punya kuasa untuk mengendalikan 10% dari apa yang terjadi kepada kita. Namun berbeda dengan yang 90% lagi, kita yang menentukan 90% apa yang terjadi dalam hidup kita, artinya reaksi atau sikap kita yang menentukan apa yang terjadi pada kita selanjutnya.

Seringkali masalah menimpa kita bukan kerena masalah kita yang terlalu besar, tetapi cara kita menyikapi masalah itu yang menentukan besar atau kecilnya.
Dengan menerapkan prinsip 90/10, maka kita akan terhindar dari stres. Setiap kali kita menghadapi masalah yang terjadi di luar kendali kita, berusahalah untuk mengambil sikap yang positif. Ketika orang mengatakan sesuatu yang negatif tentang kita, maka bersikaplah bijak, karena tanggapan anda akan hal itu akan menentukan arah kehidupan anda ke depan.

Jika kita mengendalikan 90% kehidupan kita dan 10%-nya lagi kita serahkan kepada Tuhan, karena itu diluar kendali kita, maka kehidupan kita akan seperti yang kita inginkan.

Cerminan Diri

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, “Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati.”

Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”

“Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.

“Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku,” kata sang Guru.

“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” Pria itu menolak tawaran sang Guru.

“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”

“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”

“Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”

Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh sang Guru tadi. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik, “Sayang, aku mencintaimu.” Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, “Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, sayang.”

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?” Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut.

Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.

Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang, aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami.”

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?

Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi. “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan.”

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ia masih mengalir terus. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu hidup!

Lakukan Yang Terbaik

Ada seorang pemuda yang ingin menimba pengalaman dari seorang pengusaha sukses. Dia pun mendatangi pengusaha tersebut dan berkata, “Terus terang saya sangat ingin menimba pengalaman dari Bapak sehingga bisa sukses seperti Bapak.”

Mendengar permintaan itu, sang pengusaha tersenyum sejenak. Kemudian, ia pun meminta anak muda itu menengadahkan tangannya. Si pemuda pun terheran-heran. Namun, lantas si pengusahapun menjelaskan maksudnya.

“Biar aku lihat garis tanganmu. Dan, simaklah baik-baik apa pendapatku tentangmu sebelum aku memberikan pelajaran seperti yang kamu minta”

Setelah menengadahkan kedua tangannya, si pengusaha pun berkata, “Lihatlah telapak tanganmu ini. Di sini ada beberapa garis utama yang menentukan nasib. Di sana ada garis kehidupan. Kemudian, di sini ada garis rezeki dan ada pula garis jodoh. Sekarang, menggenggamlah. Di mana semua garis tadi?” 

“Di dalam telapak tangan yang saya genggam.” jawab pemuda tersebut.

“Hal itu mengandung arti, bahwa apapun takdir dan keadaanmu kelak, semua itu ada dalam genggamanmu sendiri. Kerja keraslah untuk mendapatkan semua itu. Tetapi coba lihat pula genggamanmu. Bukankah masih ada garis yang tidak ikut tergenggam? Sisa garis itulah yang berada di luar kendalimu. Karena di sanalah letak kekuatan Tuhan yang kita tidak akan mampu lakukan dan itulah bagianNya.”

Genggam dan lakukan bagianmu dengan kerja keras dan sungguh, dan bawalah kepada Tuhan bagian yang tidak mampu engkau lakukan!

Do The Best and Let God Do The Rest!

Berkat Atau Kutuk

Alkisah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja pun menginginkan kuda putihnya tersebut. Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda itu, tetapi orang tua itu selalu menolak, “Bagiku ia bukan kuda. Ia adalah sahabat. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat?”

Suatu pagi ia mendapati kudanya itu tidak ada di kandangnya. Orang-orang di desa datang mengejeknya, “Orang tua bodoh. Sudah kami peringatkan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Anda itu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Coba sebelumnya anda menjualnya. Harga setinggi apapun akan dibayar. Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan.”

Orang tua itu menjawab, “Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu. Apakah saya dikutuk atau tidak, bagaimana kalian dapat mengetahuinya? Bagaimana kalian dapat menghakimi?"

Orang-orang itupun protes, “Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Faktanya kudamu yang sangat berharga hilang adalah kutukan."

Orang tua itu berbicara lagi, “Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak tahu. Yang kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?”

Orang-orang itu tertawa. Menurut mereka orang tua itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia tolol, kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang kayu miskin, yang memotong kayu bakar di hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Kuda itu tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Kuda itu tidak hanya kembali, tetapi ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa mendatangi orang tua itu dan berkata, “Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami.”

Jawab orang tua itu, “Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia. Tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Kalian hanya melihat sepotong saja. Kalian belum mengetahui seluruh cerita. Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun kalian menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang kalian tahu hanyalah sepotong. Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu.”

“Barangkali orang tua itu benar,” mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu orang tua itu salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Kuda-kuda itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa datang dan menilai, “Anda benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya putramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi.”

Orand tua itu berbicara lagi, “Lagi-lagi kalian datang menilai dan menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutuk? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong.”

Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena kakinya patah. Orang-orang desa kembali mendatangi orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka mungkin tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.

“Kamu benar, orang tua. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya.”

Orang tua itu berbicara lagi, “Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan saja anak-anak kalian harus pergi berperang dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu.”

Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong kecil dari suatu rangkaian cerita. Tetapi kita seringkali langsung menarik kesimpulan. Padahal kita belum tahu seluruh isi cerita. Apa yang terjadi dalam kehidupan kita, hal baik maupun hal buruk, kengerian maupun kegembiraan, ini semua hanyalah satu halaman dari sebuah buku besar yang bernama kehidupan. Kita jangan terlalu cepat menilai dan menghakimi. Ini berkat atau kutuk. Kita harus simpan dulu penilaian kita sampai kita ketahui seluruh cerita.

“Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.”

Alasan Untuk Bersyukur

Seorang anak duduk bersila di sebuah tangga pintu masuk pada sebuah supermarket. Anak itu buta dan mengenakan baju yang lusuh. Dia duduk sambil mengharapkan belas kasihan dari para pengunjung yang berlalu lalang di depannya. Sebuah kaleng bekas berdiri tegak di depan anak itu dengan hanya beberapa keping uang receh di dalamnya, sedangkan kedua tangannya memegang sebuah papan yang bertuliskan “Saya buta, kasihanilah saya.”

Seorang pria kebetulan lewat di depan anak kecil itu. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa keping uang receh, lalu memasukkannya ke dalam kaleng anak itu. Sejenak, pria itu memandang dan memperhatikan tulisan yang terpampang pada papan. Seperti sedang memikirkan sesuatu, dahinya mulai bergerak-gerak. Lalu pria itu meminta papan yang dibawa anak itu, membaliknya, dan menuliskan beberapa kata di atasnya. Sambil tersenyum, priaitu kemudian mengembalikan papan tersebut, dan berkata "semoga sukses" lalu pergi meninggalkannya.

Sepeninggal pria itu, uang recehan pengunjung supermarket mulai mengalir lebih deras ke dalam kaleng anak itu. Kurang dari satu jam, kaleng anak itu sudah hampir penuh. Sebuah rejeki yang luar biasa bagi anak itu. Beberapa waktu kemudian pria itu kembali menemui si anak lalu menyapanya. Si anak berterima kasih kepada pria itu, lalu menanyakan apa yang ditulis sang pria di papan miliknya. Pria itu menjawab, “Saya menulis, ‘Hari yang sangat indah, tetapi saya tidak bisa melihatnya.’  Saya hanya ingin mengutarakan betapa beruntungnya orang masih bisa melihat. Saya tidak ingin pengunjung memberikan uangnya hanya sekedar kasihan kepada kamu. Saya ingin mereka memberi atas dasar terima kasih karena telah diingatkan untuk selalu bersyukur."

Seburuk apapun, selalu lihatlah suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan kita dari sisi baiknya. Karena di setiap titik kehidupan yang paling buruk sekalipun, pasti ada secercah cahaya di sana. Karena itu, ketika hidup memberimu 100 alasan untuk menangis, tunjukkanlah bahwa masih ada 1000 alasan untuk membuatmu tersenyum.

"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Roma 8:28)

Anak Katak Dan Hujan

Seekor anak katak sangat takut dan gelisah ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

"Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik." Anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu? " tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.

"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, jika TUHAN berkehendak pasti akan datang bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

Kebencian Hanya Menyakiti Hatimu Sendiri

Seorang anak laki-laki curhat kepada ayahnya tentang kebenciannya terhadap seorang teman yg menyakitinya.

Sang ayah berkata, "Maafkan aja dia, hilangkan kebencianmu."

"Tidak bisa ayah. Saya sangat membencinya." Anak itu bersikeras.

"Ya sudah sekarang tidurlah, besok pagi ada yang harus kita kerjakan," kata sang ayah.

Pagi hari sang ayah sudah menyiapkan sekarung kerikil yang digantung di pintu pagar belakang. "Coba kamu bayangkan karung ini sebagai perwujudan temanmu, kemudian pusatkan kebencianmu pada kepalan tanganmu dan pukulah sekeras dan sebanyak mungkin karung ini," kata sang ayah kepada anaknya.

Sang anak menuruti perintah ayahnya. Tetapi hanya 3 kali pukulan keras dia sudah kesakitan di tangannya, memar dan berdarah.

"Apakah teman yang kamu benci di sana merasakan sakit seperti yang kamu derita saat ini?" tanya sang ayah.

"Tentu tidak," kata sang anak.

Sang ayah mulai menasehati. "Begitulah yang terjadi pada hatimu, anakku. Kebencian hanya menyakiti hatimu sendiri, teman yang kamu benci tidak akan menderita melebihi deritamu. Bahkan bilapun kamu memukulnya, derita yang dia rasakan tidak akan melebihi derita hatimu.

"Mungkin dia luka oleh pukulanmu, namun luka luarnya akan cepat sembuh, sedangkan kebencianmu tidak akan berkurang, bahkan semakin besar menguasai hatimu. Itulah juga yang terjadi saat ada orang yang membencimu, kebenciannya tidak akan membuatmu menderita melebihi penderitaannya."

Tidak ada gunanya menyimpan kebencian di hati, karena hanya akan menyakiti diri sendiri. Tersenyumlah ketika hati kita tersakiti. Jangan biarkan kebencian bertumbuh di hati kita, karena ketika benih yang jahat itu tumbuh subur maka suatu saat benih itu akan menghancurkan hidup kita.

Kasihanilah dan doakan orang-orang yang membenci kita, karena sesungguhnya penderitaan di hati mereka jauh lebih dalam.

"Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran." (Amsal 10:12)

Gema Kehidupan

Seorang anak kecil dan ayahnya sedang berjalan di sebuah gunung. Tiba-tiba anak itu tergelincir dan menjerit, “Aaaaahhh!!!” Betapa kagetnya ia, ketika mendengar ada suara dari balik gunung, “Aaaaahhh!!!”

Dengan penuh rasa ingin tahu, ia berteriak, “Hai siapa kau?” Ia mendengar lagi suara dari balik gunung, “Hai siapa kau?”

Ia merasa dipermainkan dan dengan marah berteriak lagi, “Kau pengecut...!!!” Sekali lagi dari balik gunung terdengar suara, “Kau pengecut...!!!” Ia lalu menengok ke ayahnya dan bertanya, “Ayah, sebenarnya apa yang terjadi?”

Ayahnya tersenyum dan berkata, “Anakku, mari perhatikan ini.”

Kemudian ia berteriak sekuat tenaga pada gunung, “Aku mengagumimu...!!!” Dan suara itu menjawab, “Aku mengangumimu...!!!” Sekali lagi ayahnya berteriak,”Kau adalah sang juara...!!!” Suara itu pun menjawab lagi,”Kau adalah sang juara...!!!”

Anak itu merasa terheran-heran, tapi masih juga belum memahami. Kemudian ayahnya menjelaskan, “Nak, orang-orang menyebutnya gema, tetapi sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan hidup itu. Ia akan mengembalikan padamu apa saja yang kau lakukan dan katakan.”

Hidup kita ini hanyalah refleksi dari tindakan kita. Bila kita ingin mendapatkan lebih banyak cinta kasih di dunia ini, maka berikanlah cinta kasih dari hatimu. Bila kita ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain, maka berikanlah kebaikan dari dirimu. Hal ini berlaku pada apa saja dan pada semua aspek dalam hidup. Hidup akan memberikan apa yang telah kamu berikan padanya. Maka, sebenarnya hidup ini bukan suatu kebetulan. Hidup adalah pantulan dari dirimu; gema dirimu.

Monyet Dan Angin

Seekor monyet sedang bersantai di pucuk pohon kelapa. Dia tidak menyadari bahwa 3 angin besar sedang mengintipnya: Angin Topan, Angin Puting Beliung dan Angin Tornado. Ketiga angin itu rupanya sedang berdiskusi, siapa gerangan yang bisa paling cepat menjatuhkan si monyet dari pohon kelapa. Angin Topan bilang, cuma perlu waktu 45 detik. Angin Puting Beliung tidak mau kalah, 30 detik! Angin Tornado dengan sombongnya berkata,"15 detik!"

Akhirnya satu persatu angin itu maju. Angin Topan mulai duluan, dia bertiup sekencang-kencangnya. "Wuuusss."

Merasa ada angin besar datang, si monyet langsung memegang batang pohon kelapa dengan sekuat-kuatnya. Beberapa menit lewat, si monyet tidak jatuh juga. Angin Topan pun menyerah.

Giliran Angin Puting Beliung. "Wuuusss… wuuusss…" Dia bertiup sekencang-kencangnya. Si monyet tidak jatuh-jatuh pula. Angin Puting Beliung menyerah juga.

Terakhir, Angin Tornado. Lebih kencang lagi dia bertiup, ingin mengalahkan 2 angin sebelumnya. "Wuuuss… wuuuss… wuuuss…" Si monyet malah semakin kuat berpegangan.

Ketiga angin besar itu akhirnya mengakui, si monyet memang jagoan. Tangguh, daya tahannya luar biasa.

Tidak lama kemudian, datanglah Angin Sepoi-Sepoi. Dia pun mau ikut menjatuhkan si monyet. Keinginan itu ditertawakan oleh tiga angin lainnya. Yang besar saja tidak mempan, apalagi yang kecil. Tanpa banyak bicara, Angin Sepoi-Sepoi langsung meniup ubun-ubun si monyet. "Psssss… psss..." Tidak lama kemudian, si monyet merasa mengantuk, dan akhirnya ia ketiduran dan lepaslah pegangannya. Alhasil, jatuhlah si monyet! Ketiga angin besar pun merasa malu karena telah mengejek Angin Sepoi-Sepoi.

Pada saat kita sedang mengalami kesusahan atau sedang mengalami pergumulan, kita akan merasa kita semakin kuat melewatinya. Namun ketika kita diberikan kenikmatan, kesenangan dan penuh kelimpahan, apa yang terjadi? Kita sering terbuai dan terlebih lagi kita melupakan Tuhan.

Lemah Tetapi Kuat

Ada 2 benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air. Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombongkan diri kepada sahabatnya, "Lihat ini aku, kuat dan keras. Aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak."

Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya. Dalam hatinya ia merasa apa yang dikatakan sahabatnya itu benar. Ia pun merasa rendah diri karena lemah dan tidak bisa seperti besi.

Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana. Aturannya : barangsiapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang.

Besi dan airpun mulai berlomba. Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya. Ia menabrakkan dirinya ke batu-batuan itu.Tetapi karena kekerasannya, batu-batuan itu mulai runtuh menyerangnya dan besipun banyak terluka di sana sini karena melawan batu-batuan itu.

Air melakukan tugasnya ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu. Ia lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya tidak terganggu dan tidak menyadarinya. Ia hanya melubangi seperlunya saja untuk lewat tetapi tidak merusak lainnya. Skor air dan besi 1-0 untuk rintangan ini.

Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua. Besi merasakan kekuatannya, ia mengubah dirinya menjadi mata bor yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu ternyata cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia berputar memang celah itu semakin hancur tetapi iapun juga semakin terluka. Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu dan tiba dengan cepat di dasar gua. Skor air dan besi 2-0.

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan tiba di luar gua yang ada di seberang. Besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia berkata kepada air, "Skor kita 2-0, aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini!"

Airpun segera menggenang. Sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi rintangan ini, tetapi kemudian ia membiarkan sang matahari membantunya untuk menguap. Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian ia meminta bantuan angin untuk meniupnya kesebarang dan mengembunkannya. Maka air turun sebagai hujan. Air menang telak atas besi dengan skor 3-0.

Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang merasa hebat janganlah sombong. Yang merasa lemah janganlah rendah diri. Tuhan memberikan kepada kita semua talenta masing-masing. Tidak perlu meminta talenta yang besar, namun kerjakan seberapa talenta yang Tuhan beri dengan sebaik-baiknya. Tuhan senang orang yang mempergunakan talentanya dengan baik dan dengan senang hati akan melimpahkannya. Tidak perlu fokus pada talenta orang lain yang mungkin lebih besar, kembangkanlah talentamu hingga berlimpah. Barangsiapa setia terhadap perkara kecil, kepadanya akan dipercayakan perkara yang lebih besar.

Sikap Yang Berubah

Seorang lelaki yang baru menikah tinggal menumpang di rumah mertuanya. Beberapa saat tinggal bersamanya, akhirnya ia demikian kesal dengan ibu mertuanya yang menurutnya sangat brengsek, cerewet dan angkuh sekali. Setelah 2 tahun, baginya cukup sudah penderitaan itu. Ia memutuskan untuk mengakhiri dengan berencana membunuh ibu mertuanya.

Setelah memutar otak, ia pergi mendatangi petapa tua yang paling sakti di daerahnya. Usai ia bercerita dengan penuh kegeraman, sang petapa tersenyum dan mengangguk-angguk. Diberinya sebotol cairan yang menurut petunjuk sang petapa adalah racun yang sangat mematikan. Syaratnya harus diberikan sedikit demi sedikit selama 2 bulan, dan dalam memberikan ia diharuskan bersikap manis, berkata lebih sopan, serta selalu tersenyum. Hal ini untuk membuat si mertua supaya tidak mencurigainya. Dengan penuh kesabaran, hari demi hari ia mulai meracuni si mertua, tentunya dengan sikap manis, tutur kata yang lebih santun serta senyum yang tidak lepas dari mulutnya. Perlahan namun pasti ia mulai melihat perubahan pada mertuanya.

Ada satu hal yang membuatnya bingung, setelah satu bulan ia meracuni mertuanya, kelakuan mertua ini justru berubah menjadi demikian baik padanya. Sikapnya berubah 180 derajat dari sebelumnya, ia mulai menyapa lebih dahulu setiap kali ketemu. Pikirnya, ini pasti akibat awal dari racun itu, yakni adanya perubahan sikap sebelum akhirnya meninggal. Mendekati hari ke-40 sikap mertua semakin baik dan hubungan dengannya semakin manis, ia mulai membuatkan minum teh di pagi hari, menyediakan pisang goreng dan seterusnya. Sebuah perilaku mertua yang dulu tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.

Puncaknya pada hari ke-50 mertua memasakkan makanan yang paling ia sukai, bahkan di pagi harinya ia terkejut saat mendapati bajunya sudah dicuci bahkan diseterika oleh si mertua. Tak ayal lagi, hati kecilnya mulai memberontak. Muncullah rasa bersalah yang makin hari makin menguat. Pada hari ke-55, sudah tak terbendung lagi penyesalan itu, karena melihat perubahan si ibu mertua yang menjadi sedemikian sayang padanya. Akhirnya pergilah ia ke petapa itu lagi, dengan terbata-bata penuh penyesalan dan rasa berdosa ia memohon-mohon untuk dibuatkan penangkal racun yang pernah diberikan sang petapa padanya.

Dengan senyum bijaksana, petapa itu berkata “Cairan yang kuberikan padamu dulu itu bukanlah racun, namun air biasa yang kuberi warna saja. Sikap mertuamu yang berubah menjadi sayang padamu, disebabkan karena sikap dirimu yang terlebih dahulu berubah menjadi lebih ramah, lebih santun dan selalu senyum padanya."

Apakah kita sering merasa kesal dengan sikap orang lain terhadap kita? Mungkin kita perlu mengoreksi diri kita sendiri, karena sikap orang lain terhadap kita adalah cerminan dari sikap kita terhadap orang lain.

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 7:12)

Mendengar Suara Tuhan

Seorang pemuda yang baru saja kehilangan pekerjaan datang ke rumah seorang pendeta tua. Sang pemuda bersahabat baik dengan pendeta tua tersebut. 

Pemuda itu berteriak-teriak memanggil pendeta sambil mengeluh mengenai masalah yang menimpanya.

“Pendeta! Pendeta! Aku banyak mengalami masalah dalam hidupku dan sekarang aku hehilangan pekerjaan. Mengapa bisa begini?”

Karena pendeta yang sedang belajar di dalam ruangan tidak mendengar suaranya, maka si pemuda menjadi kalap.

Ia mengepalkan tinjunya sambil berteriak, “Pendeta bilang Tuhan akan selalu menolong! Tetapi mengapa aku seperti ini?”

Mendengar ada suara ribut-ribut di luar, pendeta tua pun berjalan keluar. Ia mengucapkan sesuatu dan menanti tanggapan si pemuda. Tetapi si pemuda itu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh pendeta tua. 
 
Masih diam di tempatnya, si pemuda bertanya, “Pendeta bilang apa?"”
 
Sambil duduk di sebuah bangku kayu, pendeta itu mengucapkan sesuatu, tetapi si pemuda masih belum bisa mendengar apa yang dikatakannya. Akhirnya ia pun mendekati pendeta  dan duduk di sampingnya. 
 
Pendeta menepuk pundaknya dengan lembut sembari berkata, “Anakku, di dalam kekalapan karena masalah hidup, terkadang kita tidak bisa mendengar suara Tuhan, seolah-olah Dia tidak peduli terhadap kita, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Tuhan kadang berbisik, sehingga kita perlu mendekat kepada-Nya untuk bisa mendengarkan suara-Nya.”
 
Pemuda itu tertegun mendengar kata-kata pendeta dan akhirnya ia pun mengerti.

Setia Mengikuti Perintah

Setia Mengikuti Perintah

Mazmur 119:1-16

Setiap orang percaya dituntut untuk setia mengikuti perintah Allah, ketetapan dan firman-Nya, sebagai pedoman hidup. Dengan melakukan hal itu, sesungguhnya kita telah memuliakan Allah.

Dalam mazmur ini, kita melihat adanya sikap ketaatan dan kesetiaan untuk mengikuti perintah Allah (1-2). Taat dan setia merupakan sikap iman seseorang dalam menghayati dan melakukan kehendak Allah agar ia terhindar dari kejahatan dan perilaku yang cela. Allah sendiri telah menunjukkan titah-Nya dengan tujuan agar ketetapan-Nya itu dipegang dengan sepenuh hati sebagai perintah yang harus diikuti dengan tekun dan setia. Sebab Ia mengatakan, "Berbahagialah orang yang setia melakukan kehendak-Nya dan bersyukur karena setia belajar hukum-hukum-Nya yang adil" (3-7).

Pemazmur juga berseru agar Allah tidak meninggalkannya. Sebab ia mau belajar taat dan setia dengan belajar melakukan ketetapan Allah. Pemazmur menyadari bahwa ketetapan Allah itu sulit dipahami dan dilakukan. Karena itu, ia membutuhkan tuntunan Tuhan untuk mengarahkan hidupnya secara benar. Hanya dengan cara itu, ia bisa setia, tidak mudah kehilangan harapan, mampu menjaga kemurnian hidup, dan selalu mengingat berbagai janji Tuhan sebagai kekuatannya (8-11). Semuanya itu menolong pemazmur bisa menjaga perilakunya yang bersih, tidak berdosa terhadap Allah, dan tidak menyimpang dari perintah-Nya.

Karena itu, pemazmur menaikkan pujian kepada Allah. Dengan kesungguhan hati, ia memohon Tuhan mau mendidiknya sehingga ia dapat menceritakan segala kebesaran dan kedahsyatan hukum Allah. Melalui bimbingan dan teguran Allah semakin membuat pemazmur beria-ria seolah-olah ia telah mendapatkan harta yang tidak ternilai harganya. Hal itu yang membuat pemazmur senantiasa merenungkan firman Allah sebagai makanan rohaninya. Segala perenungan atas kebenaran Allah itu disimpannya dalam hati (12-16).

Firman Allah sepatutnya menjadi inspirator kita untuk melakukan ketetapan-Nya. Karena itu, kita harus bersyukur dan memuliakan Allah. [BW]

Poin Untuk Masuk Sorga

Seorang pria meninggal dunia dan rohnya pergi ke sorga. Di gerbang sorga ia disambut oleh Petrus.

Petrus berkata, “Inilah syarat untuk masuk ke sorga. Engkau memerlukan 100 poin untuk masuk. Caranya, sebutkan semua perbuatan baik yang telah engkau lakukan semasa hidupmu. Tiap-tiap perbuatan baik akan diberi poin sesuai dengan derajat kebaikannya. Kalau engkau sudah mencapai 100 poin maka engkau berhak menjadi penghuni sorga.”

“Baiklah,” kata orang tersebut, “saya telah menikah selama 50 tahun dan tidak pernah berselingkuh maupun berbohong terhadap istriku walau di dalam pikiran sekalipun.”

“Itu bagus,” kata Petrus, “nilainya 3 poin”

“Tiga poin?” kata orang itu dengan sedikit kecewa. “Baiklah, saya selalu hadir dalam setiap kebaktian Minggu selama hidup saya. Saya selalu membayar perpuluhan dan mendukung penuh pelayanan pekerjaan Tuhan di gereja.”

“Luar biasa!” kata Petrus. “Hal ini sudah pasti menghasilkan 1 poin.”

“Satu poin? Keluhnya. Sekarang ia benar-benar merasa cemas."

“Saya menjadi pelopor dapur umum untuk orang-orang miskin di kota saya dan saya bekerja di tempat penampungan untuk para veteran perang yang tidak punya rumah.”

“Hebat! Itu berarti engkau memiliki tambahan 2 poin lagi,” kata Petrus

“Dua poin?” orang itu berteriak. ”Dengan sistem penilaian seperti ini, satu-satunya cara untuk dapat masuk ke sorga hanyalah dengan kasih anugerah Tuhan!”

Petrus mengangguk dan berkata, “Tepat, 100 poin untuk engkau! Masuklah anakku.”

Kesabaran Yang Membawa Pada Pengharapan

Ada sebuah keluarga yang terdiri suami, istri, anak berumur 6 tahun dan kakek yang telah renta. Begitu rentanya ia sehingga tangannya selalu gemetaran bila memegang sesuatu sehingga seringkali berantakan. Penglihatannya pun buram.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang kakek ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Hal ini mendatangkan kejengkelan suami istri tersebut. Tak jarang mereka mengomel dan marah-marah. Itulah sebabnya mereka membuatkan meja kayu dan menempatkan di pojok rumah sebagai tempat kakek makan agar tidak mengganggu suasana makan mereka. Setiap kali makan, kakek ini berlinangan air mata, tetapi ia tidak berani menggugat anak dan menantunya itu.

Suatu ketika suami istri ini tertarik melihat apa yang dilakukan oleh anak mereka. Tampak anak tersebut mengumpulkan kayu dan berusaha membuat sesuatu dari bahan kayu. Lalu mereka mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Sedang apa nak?”

“Aku sedang membuat meja kayu buat papa dan mama makan untuk besok kalau aku sudah besar. Seperti yang papa dan mama buatkan untuk kakek” kata anak itu.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Anak-anak adalah cerminan dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak.

Maka dari itu, jadilah cerminan yang baik bagi anak-anak. Sadarilah, bahwa untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Kisah Penebang Kayu

Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin. Saat mulai bekerja, majikan memberi sebuah kapak dan menunjukkan area yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.

Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, majikan terkesan dan memberi pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu luar biasa. Saya kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.

Sangat termotivasi pujian, keesokan hari penebang bekerja lebih keras, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Makin hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan.

“Sepertinya aku kehilangan kemampuan dan kekuatan, bagaimana aku mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke majikan, minta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”

“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.

“Itulah masalahnya. Ingat, hari pertama kau kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan luar biasa. Hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.

Sambil menganggukkan kepala dan mengucap terimakasih, penebang berlalu dari majikannya untuk mulai mengasah kapak.

Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga sering melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan terutama menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Tuhan. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan, selalu baru dan pasti akan diberkati Tuhan.

Bunga Dan Kupu-Kupu

Seorang anak berdoa kepada Tuhan agar diberikan bunga dan kupu-kupu. Namun Tuhan memberikannya kaktus dan ulat. Anak ini sedih dan tidak paham mengapa pemberian-Nya berbeda dari permintaannya. Kemudian dia berpikir, Tuhan mempunyai banyak umat untuk di urus. Dan dia memutuskan untuk tidak mempersoalkannya.

Selepas beberapa waktu, anak ini memikirkan semula permohonan doanya yang telah lama dilupakannya. Anak ini sangat terkejut ketika melihat dari pohon kaktus yang buruk dan berduri itu tumbuh bunga yang cantik. Dan dari ulat yang terselubung telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik.

Anak itupun sangat bahagia karena sekarang dia telah memiliki bunga dan kupu-kupu, seperti yang diinginkannya dulu.

Tuhan selalu melakukan semua perkara dengan benar! Cara Tuhan selalu yang terbaik, walaupun kelihatannya semuanya salah.

Apa yang diterima tidak selalu apa yang dibutuhkan! Tuhan tidak akan gagal mengabulkan permintaan, teruslah berdoa tanpa ragu dan mengeluh.

Ketika kita berdoa meminta sesuatu dan Tuhan mengatakan “ya“ , yakinlah bahwa Tuhan sedang menguatkan iman percayamu kepadaNya. Ketika kita berdoa meminta sesuatu dan Tuhan mengatakan “tunggu“ , percayalah bahwa Tuhan sedang menguji kesabaran dan ketekunan kita terhadap janjiNya. Ketika berdoa meminta sesuatu dan Tuhan mengatakan “tidak“ , ketahuilah bahwa Tuhan menyediakan sesuatu yang lain yang lebih baik dari apa yang kita minta.

Tuhan selalu memberikan yang terbaik kepada mereka yang menyerahkan semua hal kepada-Nya.

Tempayan Yang Retak

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari, si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, “Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu.”

“Kenapa?” tanya si tukang air, “Kenapa kamu merasa malu?”

“Karena selama dua tahun ini, saya hanya mampu membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi,” kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, “Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan itu membuatnya sedikit terhibur. Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.

Si tukang air berkata kepada tempayan itu, “Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu? Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”

Setiap dari kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghiasi meja BapaNya. Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma.

Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.

Kisah Anak Kerang

Pada suatu hari, seekor anak kerang di dasar laut mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.

"Anakku," kata sang ibu dengan lembut, "Tuhan tidak memberikan kita bangsa kerang sebuah tangan pun sehingga ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Kerahkan semangatmu melawan rasa pedih dan sakit yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat."

Maka si anak kerang pun melakukan nasihat ibunya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Makin lama mutiaranya makin besar. Rasa sakit menjadi terasa wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada seribu ekor kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Kekecewaan dan penderitaan akan selalu ada dalam hidup kita. Seakan-akan Tuhan selalu mengambil kebahagiaan yang ada pada kita. Tidak...tidak seperti itu. Kita hanya harus bersabar terhadap segala sesuatu yang menimpa kita dan menanti ketetapan Tuhan. Dan semuanya akan berakhir dengan indah. Karena segala sesuatu yang baik akan selalu mengarah pada kebaikan.

Kekecewaan dan penderitaan telah membuat seekor kerang biasa menjadi kerang luar biasa. Kekecewaan dan penderitaan pun akan dapat mengubah orang biasa menjadi orang luar biasa.

Kisah Pemburu Dan Peternak Domba

Alkisah, pada zaman dahulu di sebuah desa, hiduplah keluarga pemburu dan keluarga peternak yang saling bertetangga. Untuk membantu saat berburu, si pemburu memiliki anjing-anjing peliharaan yang galak namun kurang terlatih. Celakanya, saat di rumah, anjing-anjing itu sering melompati pagar dan melukai domba-domba si peternak. Walaupun sudah diperingatkan untuk menjaga anjing-anjingnya, si pemburu tidak mau peduli. Hingga suatu hari, kembali salah satu domba diserang dan terluka cukup parah.

Habislah kesabaran si peternak! Setelah berpikir lama, ia memutuskan pergi ke kota untuk menemui seorang hakim yang bijaksana. Setelah sang hakim mendengarkan cerita si peternak itu, dia berkata bijak, "Peternak yang baik, saya sebagai hakim, terhadap aduanmu, bisa saja menghukum si pemburu untuk mengganti kerugianmu dan memerintahkan dia untuk merantai atau mengurung anjing-anjingnya. Tetapi, bila itu saya lakukan, kamu akan kehilangan seorang teman. Mana yang lebih kamu inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?"

"Pak Hakim, jujur saja, walapun saya merasa dirugikan secara materi, tetapi saya tidak ingin punya musuh, apalagi tetangga yang telah menjadi kawan saya sedari kecil," kata si peternak dengan suara murung.

"Jawaban yang baik dan bijak! Jika kamu ingin domba-dombamu aman tetapi tetanggamumenjadi teman yang baik, saya berikan sebuah saran…silakan kamu jalankan." Setelah mendengar saran sang hakim, si peternak langsung setuju.

Sesampainya di rumah, peternak itu segera menuju ke kandang dan memilih sepasang anak domba yang sehat, kemudian menghadiahkannya kepada anak-anak tetangganya. Keluarga si pemburu menerima hadiah itu dengan penuh sukacita. Tak lama, anak-anak pun asyik bermain dengan domba-domba kecil yang lucu dan keesokan harinya mulai berkunjung ke rumah si peternak untuk belajar merawat domba-domba tersebut.

Melihat kebahagiaan anak-anaknya, tanpa diminta, si pemburu dengan sukarela mengurung anjing-anjingnya agar tidak mengganggu domba-domba kecil kesayangan anak-anaknya. Dan sejak saat itu pula, domba-domba si peternak pun menjadi aman. Untuk membalas kebaikan si peternak, si pemburu selalu membagi hasil buruannya ke si peternak. Si peternak membalasnya dengan mengirimkan susu dan keju dari hasil dari peternakannya.

Akhirnya…singkat cerita, si pemburu dan si peternak pun kembali bertetangga dengan bahagia.

Cara terbaik untuk "mengalahkan" dan mempengaruhi orang adalah dengan kebajikan dan belas kasih. Seperti dicontohkan pada cerita di atas, saat keburukan dan sifat ego dibalas dengan kebaikan, ternyata hasilnya membawa manfaat dan kebahagiaan bersama.

Memilih Hidup Sekali Lagi

Alkisah, Tuhan ingin sekali tahu bagaimana jika para makhluk ciptaan-Nya diberi kesempatan memilih hidup sekali lagi, ingin menjadi apakah masing-masing dari mereka? Maka, Ia membagikan pertanyaan kepada para makhluk ciptaan-Nya.

Tikus dengan cepat menjawab, "Jika diberi kesempatan memilih, aku ingin menjadi kucing. Enak ya jadi kucing, bisa bebas merdeka berada di dapur bahkan disediakan makanan, susu, dan dielus-elus oleh manusia."

Kucing pun dengan sigap menjawab, "Kalau bisa memilih, aku ingin jadi tikus. Kepandaian tikus mengelilingi lorong-lorong rumah bisa membuat orang serumah kewalahan. Tikus bisa mencuri makanan yang tidak bisa aku santap. Hebat sekali menjadi seekor tikus."

Saat pertanyaan yang sama disampaikan ke ayam, begini jawabnya, "Aku ingin menjadi seekor elang. Lihatlah elang di atas sana! Wah, ia tampak begitu perkasa mengepakkan sayapnya yang indah di angkasa luas, membuat semua makhluk iri dan ingin menjadi seperti dirinya. Tidak seperti diriku, setiap hari mengais makanan, terkurung dan tidak memiliki kebebasan sama sekali."

Sebaliknya, si elang segera menjawab, "Aku mau menjadi seekor ayam. Ayam tidak perlu bersusah payah terbang kesana-kemari untuk mencari mangsa. Setiap hari sudah disediakan makanan oleh petani, diberi suntikan untuk mencegah penyakit, dan ayam begitu terlindung di dalam kandang yang nyaman, bebas dari hujan dan panas."

Beda lagi jawaban yang diberikan oleh manusia. Si perempuan menjawab, "Saya ingin menjadi seorang laki-laki, kemudian menjadi pemimpin besar dan yang hebat! Menjadi perempuan sangatlah menderita. Harus bisa melayani, bertarung nyawa melahirkan anak, kemudian membesarkan mereka. Ini adalah pekerjaan yang sangat melelahkan."

Tapi laki-laki menjawab, "Aku mau jadi perempuan. Betapa indah rupanya dan halus budi bahasanya. Kelihatannya, ia selalu disayang, dilindungi dan dimanjakan. Selain itu, tidak ada pahlawan yang lahir tanpa seorang perempuan. Surga saja ada di telapak kaki ibu atau wanita."

Setelah mendengar semua jawaban para mahluk ciptaan-Nya, Tuhan pun memutuskan tidak memberi kesempatan untuk memilih lagi. Alias, setiap makhluk akan kembali menjadi makhluk yang sama.

Pepatah mengatakan, "Rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan dengan rumput di kebun sendiri." Manusia selalu memikirkan kelebihan, kebahagiaan, dan kesuksesan orang lain sehingga mengabaikan apa yang sudah dimilikinya. Membandingkan diri dengan orang lain, secara terus-menerus, bisa membuat hidup kita menderita. Padahal orang yang kita pikirkan mungkin berpikir sebaliknya!

Mampu menerima dan bersyukur apa adanya atas apapun yang kita miliki adalah kebijaksanaan. Bisa ikut berbahagia melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain adalah kekayaaan mental.

Jadilah diri sendiri! Mari mencintai apa yang kita miliki, maka hidup kita pasti akan penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan.

Dua Kantong Yang Berbeda

Alkisah, ada seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan dan ketenangan di dalam hidupnya. Orang tersebut mempunyai dua kantong. Pada kantong yang satu terdapat lubang di bawahnya, tapi pada kantong yang lainnya tidak terdapat lubang.

Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya seperti makian dan sindiran, ditulisnya di sebuah kertas, digulung kecil, kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang berlubang. Tetapi semua yang indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya di sebuah kertas kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang tidak ada lubangnya.

Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam saku yang tidak berlubang, membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah diperolehnya sepanjang hari itu. Kemudian ia merogoh kantong yang ada lubangnya, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Maka ia pun tertawa dan tetap bersukacita karena tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.

Itulah yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan semua yang baik di “kantong yang tidak berlubang”, sehingga tidak satupun yang baik yang hilang dari hidup kita. Sebaliknya, simpanlah semua yang buruk di “kantong yang berlubang”. Maka yang buruk itu akan jatuh dan tidak perlu kita ingat lagi.

Namun sayang sekali. Masih banyak orang yang melakukan dengan terbalik! Mereka menyimpan semua yang baik di “kantong yang berlubang”, dan apa yang tidak baik di “kantong yang tidak berlubang” atau dengan kata lain memelihara pikiran-pikiran jahat dan segala sesuatu yang menyakitkan hati. Maka, jiwanya menjadi tertekan dan tidak ada gairah dalam menjalani hidup.

Oleh karena itu, agar bisa menikmati kehidupan yang bahagia dan tenang: jangan menyimpan apa yang tidak baik di dalam hidup kita. Mari mencoba, menyimpan hanya yang baik dan bermanfaat.

Kisah Bunga Mawar Dan Pohon Bambu

Di sebuah taman, terdapat taman bunga mawar yang sedang berbunga. Mawar-mawar itu mengeluarkan aroma yang sangat harum. Dengan warna-warni yang cantik, banyak orang yang berhenti untuk memuji sang mawar. Tidak sedikit pengunjung taman meluangkan waktu untuk berfoto di depan atau di samping taman mawar. Bunga mawar memang memiliki daya tarik yang menawan, semua orang suka mawar, itulah salah satu lambang cinta.

Sementara itu, di sisi lain taman, ada sekelompok pohon bambu yang tampak membosankan. Dari hari ke hari, bentuk pohon bambu yang begitu saja, tidak ada bunga yang mekar atau aroma wangi yang disukai banyak orang. Tidak ada orang yang memuji pohon bambu. Tidak ada orang yang mau berfoto di samping pohon bambu. Maka tak heran jika pohon bambu selalu cemburu saat melihat taman mawar dikerumuni banyak orang.

“Hai bunga mawar,” ujar sang bambu pada suatu hari. “Tahukah kau, aku selalu ingin sepertimu. Berbunga dengan indah, memiliki aroma yang harum, selalu dipuji cantik dan menjadi saksi cinta manusia yang indah,” lanjut sang bambu dengan nada sedih.

Mawar yang mendengar hal itu tersenyum, “Terima kasih atas pujian dan kejujuranmu, bambu,” ujarnya. “Tapi tahukah kau, aku sebenarnya iri denganmu,”

Sang bambu keheranan, dia tidak tahu apa yang membuat mawar iri dengannya. Tidak ada satupun bagian dari bambu yang lebih indah dari mawar. “Aneh sekali, mengapa kau iri denganku?”

“Tentu saja aku iri denganmu. Coba lihat, kau punya batang yang sangat kuat, saat badai datang, kau tetap bertahan, tidak goyah sedikitpun,” ujar sang mawar. “Sedangkan aku dan teman-temanku, kami sangat rapuh, kena angin sedikit saja, kelopak kami akan lepas, hidup kami sangat singkat,” tambah sang mawar dengan nada sedih.

Bambu baru sadar bahwa dia punya kekuatan. Kekuatan yang dia anggap biasa saja ternyata bisa mengagumkan di mata sang mawar. “Tapi mawar, kamu selalu dicari orang. Kamu selalu menjadi hiasan rumah yang cantik, atau menjadi hiasan rambut para gadis,”

Sang mawar kembali tersenyum, “Kamu benar bambu, aku sering dipakai sebagai hiasan dan dicari orang, tapi tahukah kamu, aku akan layu beberapa hari kemudian, tidak seperti kamu,”

Bambu kembali bingung, “Aku tidak mengerti,”

“Ah bambu..” ujar mawar sambil menggeleng, “Kamu tahu, manusia sering menggunakan dirimu sebagai alat untuk mengalirkan air. Kamu sangat berguna bagi tumbuhan yang lain. Dengan air yang mengalir pada tubuhmu, kamu menghidupkan banyak tanaman,” lanjut sang mawar. “Aku jadi heran, dengan manfaat sebesar itu, seharusnya kamu bahagia, bukan iri padaku,”

Bambu mengangguk, dia baru sadar bahwa selama ini, dia telah bermanfaat untuk tanaman lain. Walaupun pujian itu lebih sering ditujukan untuk mawar, sesungguhnya bambu juga memiliki manfaat yang tidak kalah dengan bunga cantik itu. Sejak percakapan dengan mawar, sang bambu tidak lagi merenungi nasibnya, dia senang mengetahui kekuatan dan manfaat yang bisa diberikan untuk makhluk lain.

Terkadang kita seperti bambu di atas. Kita seringkali kecewa dan merasa rendah diri karena berbeda dengan orang lain. Kita seringkali tak menyadari bahwa ketika kita berbeda dengan yang lainnya, Tuhan memiliki rencana yang besar di dalam hidup kita. Percayalah, bahwa apapun yang terjadi di dalam hidupmu, semuanya akan mendatangkan kebaikan dan harapan di dalam hidupmu dan juga hidup orang lain.

Daripada menghabiskan tenaga dengan iri pada orang lain, lebih baik bersyukur atas kemampuan diri sendiri, apalagi jika berguna untuk orang lain.

Kisah Si Anjing Kecil

Seekor anak anjing yang kecil mungil sedang berjalan-jalan di ladang pemiliknya. Ketika dia mendekati kandang kuda, dia mendengar binatang besar itu memanggilnya. “Kamu pasti masih baru di sini, cepat atau lambat kamu akan mengetahui kalau pemilik ladang ini mencintai aku lebih dari binatang lainnya. Karena aku bisa mengangkut banyak barang untuknya, aku kira binatang sekecil kamu tidak akan bernilai sama sekali baginya”, ujarnya dengan sinis.

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dan pergi. Tapi, dari kandang sebelah ia mendengar suara seekor sapi. “Aku adalah binatang yang paling terhormat di sini sebab nyonya di sini membuat keju dan mentega dari susuku. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini”, dengan nada mencemooh.

Belum lagi kesedihannya hilang, ia mendengar teriakan domba. “Hai sapi, kedudukanmu tidak lebih tinggi dariku. Aku memberi mantel bulu kepada pemilik ladang ini. aku memberi kehangatan kepada seluruh keluarga. Tapi omonganmu soal anjing kecil itu, memang benar. Dia sama sekali tidak ada manfaatnya di sini.”

Satu demi satu binatang di situ ikut mencemooh anjing kecil itu, sambil menceritakan betapa tingginya kedudukan mereka di ladang tersebut. Ayam pun berkata bagaimana dia telah memberikan telur, kucing bangga bagaimana dia telah mengenyahkan tikus-tikus pengerat dari ladang itu. Semua binatang sepakat kalau si anjing kecil itu adalah mahluk tak berguna dan tidak sanggup memberikan kontribusi apapun kepada keluarga itu.

Terpukul oleh perkataan binatang-binatang lain, anjing kecil itu pergi ke tempat sepi dan mulai menangis menyesali nasibnya. "Sedih rasanya, sudah yatim piatu, dianggap tak berguna, disingkirkan dari pergaulan pula…," kata si anjing kecil dengan nada sedih.

Ada seekor anjing tua di situ mendengar tangisan tersebut, lalu menyimak keluh kesah si anjing kecil itu. Annjig kecil itu berkata, “Aku tidak dapat memberikan pelayanan kepada keluarga di sini, akulah hewan yang paling tidak berguna di sini…”

Terharu, anjing tua berkata, “Memang benar bahwa kamu terlalu kecil untuk menarik pedati. Kamu tidak bisa memberikan telur, susu ataupun bulu. Tetapi bodoh sekali jika kamu menangisi sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Kamu harus menggunakan kemampuan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk membawa kegembiraan.”

Malam itu ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak amat lelah karena perjalanan jauh di panas terik matahari, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, pemilik ladang dan anjing kecil itu berguling-guling di rumput disertai tawa ria. Akhirnya pemilik ladang itu memeluk dia erat-erat dan mengelus-elus kepalanya, dan berkata, “Meskipun aku pulang dalam keadaan letih, tapi rasanya semua jadi sirna, bila kau menyambutku semesra ini. Kamu sungguh yang paling berharga di antara semua binatang di ladang ini. Kamu kecil, tapi sangat mengerti artinya kasih.”

Jangan sedih ketika kamu tidak dapat melakukan sesuatu seperti orang lain karena memang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi apa yang kamu dapat lakukan, kerjakan itu dengan sebaik-baiknya.

Kisah Sebatang Pensil

Seorang anak lelaki memandangi ibunya yang sedang menulis surat, lalu bertanya, “Apakah mama sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita ini tentang aku?”

Sang ibu berhenti menulis surat dan berkata kepada anaknya, “Mama memang sedang menulis tentang dirimu, tetapi ada yang lebih penting daripada kata-kata yang sedang mama tulis, yakni pensil yang mama gunakan. Mudah-mudahan kamu menjadi seperti pensil ini, kalau kamu sudah dewasa nanti.”

Si anak lelaki merasa heran, diamatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja.

“Tapi pensil itu sama saja dengan pensil-pensil lain yang pernah kulihat!”

“Itu tergantung bagaimana kamu memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kamu berhasil menerapkannya, kamu akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.”

Pertama : Kamu sanggup melakukan hal-hal yang besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya.

Kedua : Sesekali mama mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kamu harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.

Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa-apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita lakukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan.

Keempat : Yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu.

Dan yang Kelima : Pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kmu lakukan. Kamu harus tahu bahwa segala sesuatu yang kamu lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusahalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu dan tinggalkanlah bekas yang baik.

Kepompong Kupu-Kupu

Seorang anak menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Anak itu duduk dan mengamati dalam beberapa jam ketika kupu-kupu itu berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya kupu-kupu itu telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.

Akhirnya anak tersebut memutuskan untuk membantunya. Diambilnyalah sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut pun keluar dengan mudahnya. Namun, kupu-kupu itu mempunyai tubuh gembung dan kecil serta sayap-sayap mengkerut. Anak itu terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuh si kupu-kupu.

Sayang, semuanya tak pernah terjadi. Kenyataannya kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Kupu-kupu itu tak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti anak itu adalah bahwa kepompong yang menghambat kupu-kupu itu untuk melewati lubang kecil adalah untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga kupu-kupu akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.

Perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, mungkin itu akan “melumpuhkan” kita. Kita mungkin tidak sekuat yg semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak akan pernah dapat “terbang”. Selalu ada rencana terbaik di balik setiap ujian hidup yang Tuhan izinkan menimpa kita. Hidup kita ibarat emas dan begitu berharga di mata Tuhan. Jika Tuhan "membakar" hidup kita, Dia tidak bermaksud menghancurkannya. Sebaliknya, Dia ingin mendapati kualitas iman yang teruji, yang murni, sebuah kehidupan yang tanpa cela di hadapan-Nya.

Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. (Ayub 23:10)

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...