Skip to main content

Berbagi Keajaiban

Kabar buruk itu sampai juga di telinga Doni. Dia divonis kanker paru-paru oleh dokter. Kisah kehidupannya yang sebelumnya sering dia bangga-banggakan kini serasa hancur tiada arti lagi. Doni tahu kanker paru-paru merupakan penyebab kematian paling utama dibandingkan kanker-kanker lainnnya. Namun tak ingin lama-lama tenggelam dalam kesedihan, dicobanya segala cara untuk menyembuhkan penyakit yang tengah menggerogoti tubuhnya itu, bahkan dia tak segan-segan mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan perawatan terbaik di salah satu rumah sakit ternama di luar negeri. Berbagai pengobatan dan sesi kemoterapi telah dilaluinya. Namun keberuntungan tak berpihak padanya. Keadaannya tak kunjung membaik, bahkan hanya semakin memburuk. Kanker stadium IV kini bercokol di paru-parunya. Keluarganya mencoba untuk memberikan motivasi dan semangat agar dia tak menyerah.

Satu ketika dia menemukan alamat seseorang yang konon katanya mampu menyembuhkan kanker ganas sekalipun. Doni mendatangi kediaman orang tersebut, diceritakannya tentang riwayat penyakitnya kepada Pak Syukur, nama orang itu, yang berjanji akan berusaha untuk menyembuhkan Doni.

Waktu berlalu, meskipun kondisi Doni mulai agak membaik tapi kanker itu masih bersarang di tubuhnya. Doni menyadari waktunya yang semakin menipis.

”Tak adakah pengobatan lain yang bisa membantuku, Pak?” tanya Doni saat rasa ketakutan akan kematian mulai menguasai benaknya. ”Aku sering mendengar tentang keberhasilan anda dalam menyembuhkan pasien-pasien lainnya... Lalu apa yang terjadi denganku?”

Pak Syukur menghembuskan napas, dan mencoba untuk menyabarkan Doni, ”Nak Doni, aku hanyalah seorang manusia biasa yang hanya bisa berupaya untuk memberikan pengobatan terbaik untuk pasien-pasienku.”, ”Aku mungkin telah membantu meringankan sakit itu, namun keajaibanlah yang telah menyembuhkan mereka.” tambahnya pelan.

”Keajaiban?” sesaat Doni tertegun. ”Seandainya di dunia ini ada dijual keajaiban, aku rela membayar berapa pun meski harus menghabiskan seluruh hartaku.” sahut Doni lemah meratapi ketidakberuntungannya.

Pak Syukur berpikir sejenak lalu beliau mulai menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Doni. ”Datangilah tempat ini, Nak Doni.”, ”Tempat dimana mungkin kamu bisa membeli keajaiban itu.”

”Be.. benarkah?” tanya Doni ragu, ia takkan mudah percaya hal mustahil seperti itu.

”Cobalah kau datangi, tak ada salahnya kan?”

”Seandainyapun tempat ini memang benar menjual keajaiban, lalu dengan apa aku bisa membelinya, Pak?”

Kembali Pak Syukur menyerahkan selembar catatan yang lain. ”Bacalah setibanya engkau di tempat itu.”

Pada awalnya Doni tidak memperdulikannya, namun berselang beberapa hari akhirnya dia mendatangi juga tempat yang dimaksud oleh Pak Syukur.
Akan tetapi betapa terkejutnya Doni setelah mendapatkan tempat yang menjadi tujuannya ternyata adalah sebuah masjid kecil yang indah. Doni mengambil lembaran kertas yang satu lagi dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya.

.....Sesungguhnya kamu bisa mendapatkan keajaiban itu dimana saja dan kapan saja. Tetapi alangkah baiknya jika engkau mencarinya langsung di rumahNya... Dan untuk bayarannya? Sekarang berbaliklah dan cobalah memposisikan dirimu sebagai seseorang yang hendak menikmati sebuah karya seni yang tak sedikitpun bagian akan terlewatkan oleh pandanganmu... Bukalah matamu, nak...

Doni membalikkan tubuhnya, dilihatnya sebuah panti untuk penderita cacat berdiri tepat di seberang jalan. Beberapa pengemis dan anak jalanan di sepanjang jalan tak luput pula dari perhatiannya, mereka mencoba menghampiri beberapa orang yang berseliweran demi meminta sedikit rejeki untuk sesuap nasi. Kembali Doni melanjutkan membaca catatan Pak Syukur.

.....Berdoa, memohonlah dengan tulus kepada Sang Pemberi Keajaiban dan lakukanlah kebaikan dalam hidupmu, anakku. Begitulah harga yang mungkin bisa kau berikan untuk mendapatkan keajaiban yang kau cari. Dan niscaya bila Dia berkehendak, keajaiban itupun akan datang...

Masih terus dibacanya pesan yang tertulis di kertas itu. Dan tanpa Doni sadari, setetes dua tetes air mata kini membasahi pipinya. Dia mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali dia bersujud menghadapNya? Akh... Tak bisa diingatnya lagi... Dan diapun menyadari betapa alpanya dia selama ini.

Doni mulai mengisi hari-hari tak lagi hanya untuk mengobati penyakit yang menderanya, kini diapun taat melaksanakan ibadah dan banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia tak lagi hanya peduli akan dirinya sendiri, melainkan mulai melihat orang-orang lain di sekitarnya. Beberapa hal yang terabaikan olehnya selama bertahun-tahun.

Hari berganti minggu... Minggu berganti bulan...

Di suatu hari yang cerah, lima bulan semenjak Doni menginjakkan kakinya pertama kali di masjid kecil itu... Kini ia terbaring lemah di sebuah pembaringan rumah sakit, sudah tiga hari ini kondisi kesehatannya benar-benar menurun. Bayangan peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir berkelebat di benaknya.

Doni memandang Pak Syukur yang duduk di sisi tempat tidur, Doni memang sengaja memintanya datang. Ia tersenyum,

”Bapak masih ingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku bertanya-tanya apakah aku bisa menemukan sebuah keajaiban yang dapat menghilangkan penyakitku?” Pak Syukur mengangguk pelan, ”Menemukan mesjid yang indah dan tenteram itu, telah membuka mataku betapa lalainya aku selama ini. Sejak hari itu aku mendekatkan diri padaNya, aku banyak berdoa, memohon ampunan dan rahmatNya. Tak lupa aku menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuan.” sesaat Doni terdiam, ia mencoba meredam rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. ”Untuk semua yang telah aku lakukan, telah aku berikan beberapa bulan ini, Allah ternyata masih tak berkenan memberikan keajaiban itu untukku.” ujarnya dengan nada getir.

Doni kembali memandang lelaki tua bersahaja yang masih setia menemaninya, ”Tapi aku tak bersedih, pak...” lanjutnya, ”Aku tak marah atas apa yang menimpaku, dan aku tak menyesal telah berbuat kebaikan pada mereka meskipun awalnya aku mengharapkan sebuah kesembuhan dari Allah sebagai balasannya. Kini aku merasa lebih tenang, lebih bahagia, dan lebih dekat padaNya.”

Meskipun terlihat pucat namun di wajahnya terpancar senyum kebahagiaan itu, ”Pesan terakhir bapak di catatan yang aku baca lima bulan lalu, lagi-lagi membuka mataku untuk yang kedua kalinya...”

Sore itu, dengan didampingi istri dan anaknya, Doni mengehembuskan nafas terakhir dengan tenang.

.......Dan pesanku yang terakhir, nak. Tak semua orang cukup beruntung bisa mendapatkan keajaiban dariNya. Dan bila engkau termasuk di antara yang tak beruntung itu, janganlah bersedih, janganlah kecewa. Karena engkau sendiri pun akan memberikan keajaiban-keajaiban untuk kaum-kaum tak mampu yang membutuhkan begitu banyak keajaiban demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dan itu, tak kalah berharganya...

Sebaiknya kita memberi sama halnya seperti kita akan menerima, dengan riang, cepat, dan tanpa keraguan;
Karena sesungguhnya tidak ada karunia dari manfaat yang menempel pada jari-jari kita.

Comments

Popular posts from this blog

The Painting of Destiny

"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...

Good Morning America is a popular

Good Morning America is a popular morning news show that airs on ABC. It has been a staple in American households since its debut in 1975. The show covers a wide range of topics including news, entertainment, lifestyle, and pop culture. With its team of talented hosts and reporters, Good Morning America provides its viewers with the latest updates on current events and trending stories. One of the things that sets Good Morning America apart from other morning shows is its lively and energetic atmosphere. The hosts, including Robin Roberts, George Stephanopoulos, Michael Strahan, and Lara Spencer, bring a sense of fun and camaraderie to the show. They engage with their audience and each other in a way that feels genuine and relatable. In addition to its engaging hosts, Good Morning America also features a variety of segments that cater to a diverse audience. From cooking demos and fashion tips to celebrity interviews and human interest stories, the show offers something for everyone. Wh...

The liz hatton

The liz hatton is a unique piece of headwear that has been gaining popularity in recent years. This hat is characterized by its wide brim and low crown, which gives it a distinctive and fashionable look. The liz hatton is often made of materials such as wool, felt, or straw, making it a versatile accessory that can be worn in various seasons. One of the key features of the liz hatton is its versatility. This hat can be dressed up or down, making it suitable for a range of occasions. Whether you're going for a casual look or a more formal outfit, the liz hatton can easily complement your ensemble. Additionally, the wide brim of the hat provides excellent sun protection, making it ideal for outdoor activities such as picnics or garden parties. In terms of style, the liz hatton can be compared to other types of hats such as the fedora or the boater. While these hats may have similar silhouettes, the liz hatton stands out for its unique shape and design. The low crown and wide brim of ...