Cerpen Sahabat Selamanya

Sudah sekian tahun aku berpisah dengan sahabatku, Dani. Berapa tahun, ya? Biar ku hitung. Hmm, sembilan tahun. Waktu yang lama sekali. Aku berpisah dengan Dani saat kami lulus TK. Dia harus pindah ke Medan untuk mengikuti orangtuanya yang bekerja di sana. Maksudku papanya. Tante Maya, mama Dani tetap dengan usaha butiknya. Dulu, ketika Dani masih tinggal di Bandung sini, di rumahnya yang ada di depan rumahku, aku sering main ke rumahnya dan kadang-kadang aku diberi pakaian yang ada di butiknya. Gratis, tis. Mama sampai nggak enak hati, tapi Tante Maya terus saja memberiku barang-barang dari butiknya. Tidak hanya baju, sih. Tante Maya juga melarang Mama untuk membayar semuanya. "Anggap aja kita ini keluarga, Han" katanya ketika Mama hendak membayar pakaian yang diberikannya untukku. Hmm, sekarang aku kangen Dani. Gimana ya, kabar dia sekarang? Apakah masih gendut seperti dulu dengan rambut batok kelapanya? Aku mengingat-ingat saat aku bermain sepeda dengannya, main ayunan, kejar-kejaran. Dia beda, nggak seperti anak cowok yang pemalu tapi mau. Tapi entahlah, bisa jadi sekarang dia telah berubah. Tentu saja, sekarang aku masuk SMA, begitupun juga Dani, pastinya.

Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baruku, SMA Bakti Nusa. Setelah menjalani MOS tiga hari yang melelahkan, akhirnya aku resmi menjadi siswi di sekolah populer ini. Aku memasuki kelasku, X-1. Banyak sekali yang belum ku kenal, hanya beberapa. Ada Nia, teman sekelas waktu MOS. Ada Gio, dulu satu SMP denganku, tapi nggak pernah sekelas. Aku mengenalnya karena kami mengikuti ekskul yang sama, karate. Iya, aku suka karate, seperti idolaku yang ada di Spongebob Squarepants, Sandy Chic. Nggak, tapi SMA ini aku nggak akan ikut karate lagi. Ilmu beladiriku sudah cukup sepertinya. Oke, keluar dari topik ekskul. Sekarang, aku mengamati seseorang yang duduk di bangku pada baris keempat deret ketiga. Aku seperti mengenalnya. Yap, nggak salah lagi, itu Dani. Aku hafal betul wajahnya. Dia memang telah berubah, sedikit. Rambutnya sekarang lebih keren, rambutnya mirip landak. Apalah itu sebutannya, aku kurang paham sama fashion. Dia tidak gendut seperti dulu. Kalau boleh ku akui dia semakin cakep, kece abis. Aku mendekatinya dan menyapa, "Hai, kamu Dani, 'kan? Masih inget aku dong, Dan". Dani mengamatiku sebentar, seperti menginterogasi, aku khawatir dia lupa padaku. Awas aja sampai dia lupa, aku akan menghapuskan dia dari lembar kehidupanku. Haha, okelah ini terlalu berlebihan karena ternyata dia masih mengenaliku. Yuhuuu. "Silvi kan? Tambah cantik ya, hehe. Rambutnya makin panjang aja. Nggak pengen tuh dipendekin lagi kaya dulu?". Wah, ternyata dia masih ingat masa-masa rambutku yang pendek, potongan seperti anak cowok dan suka memakai gel rambutnya Bang Angga, kakakku yang sekarang sudah menikah dan tinggal di Jogja. "Nggak, ah. Lagi pengen aja rambut panjang. Biar tambah kece," jawabku ngasal.

Lalu kami bercakap-cakap dengan serunya. Kami saling berbagi pengalaman, mengenang masa-masa kecil yang aneh banget seperti waktu kami membuat pesta minum teh bersama boneka-boneka, dan kami mulai tersadar, kenapa dulu Dani mau diajak main boneka? Dani juga bercerita ketika di Medan dia sempat mempunyai pacar, namanya Ratu, dia cantik katanya. "Tapi nggak lebih cantik dari kamu, Sil," katanya disela-sela cerita. Hih, bisa-bisanya dia bilang gitu, "Huuu, gombal gombaaal". Kembali ke cerita, dia pernah sekali datang ke rumah Ratu untuk mengajaknya nge-date. Ketika mengetuk pintu rumah, ternyata ayahnya Ratu yang membukakan pintunya. Ayahnya galak banget, kumisnya itu lho, mirip Pak Raden. Dani berlari karena takut. Keesokannya, dia mutusin Ratu karena alasan takut dengan ayahnya. "Yaelah, Dan... Gimana sih? Eh, tapi bener juga sih, bisa aja tuh kalau kamu nggak mutusin Ratu, besoknya kamu udah dijadiin gule sama ayahnya," kataku sambil menahan tertawa. Oke, mungkin ceritanya tidak terlalu lucu, tetapi ekspresi Dani membawakan ceritanya membuatku tertawa. Apalagi cara dia berbicara seperti ada sedikit aksen bataknya. Udah kebiasaan kali, ya, di Medan.

Bel jam pelajaran pertama berbunyi, aku memutuskan untuk duduk dekat Dani. Oh iya, belum kuceritakan bahwa sebenarnya Dani pindah ke Bandung sudah sekitar satu bulan yang lalu. Dia tidak mengikuti MOS karena dia baru masuk hari ini. Hmm, nggak masalah deh, yang penting aku bertemu dengan sahabat kecilku ini.
"Dani, jadi kamu sekarang tinggal dimana? Kok nggak di rumahmu yang dulu itu?" kataku ketika makan siomay di kantin bersama Dani. Sekarang jam sudah jam istirahat, tentu saja. "Aku sama Mama dan Papa nyewa rumah dulu soalnya sibuk ngurus sekolahku. Tapi besok atau lusa kami akan pindah ke rumah kami yang dulu." Aku senang mendengarnya dan setengah tidak percaya. Nggak sia-sia aku nungguin selama 9 tahun. Dulu, waktu Dani mau pindah, aku menangis keras banget. Aku tidak suka perpisahan, dan semua juga tidak menyukainya. "Beneran, Dan? Jadi rumah kita deketan lagi dong. Asyiiik!" Dani tersenyum dan mengangguk. Sebentar, tunggu, aku mengamati ada yang berbeda di raut wajah Dani. Kenapa dia seperti ketakutan gitu? Tubuhnya gemetar. Aku memegang tangannya. Dingin. Berkeringat. Lalu aku melihat keringat juga mengucur di pelipisnya, Apakah Dani sakit? Di hari pertama masuk sekolah? Ini nggak mungkin. "Dani, kamu...", "Sebentar ya, Sil. Aku ke kamar mandi dulu". Dani memotong pertanyaanku dan berlari ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Semoga Dani baik-baik aja, batinku.

Pulang sekolah. Hari ini begitu menyenangkan. Ya, memang karena itu. Karena pertemuanku dengan Dani, sahabat baikku. Tidak lama setelah aku keluar dari gerbang, Pak Ucup datang menjemputku. Aku segera masuk mobil dan pulang. Habis ini, tidur ah.. pikirku. Lagian capek juga hampir seharian di sekolah. Capek juga cerita-cerita sama Dani, sampai kering, nih, mulut. Tak lama kemudian, sampai rumah juga. Aku menghampiri Mama di dapur dan mencomot beberapa kue buatannya. Kemudian kuceritakan pertemuanku dengan Dani. Aku juga tidak lupa bilang bahwa Dani akan pindah ke rumah lamanya. Setelah itu aku berlari ke kamarku di lantai dua, dan langsung saja aku membaringkan badan di kasurku yang empuk ini. Ketika hampir sampai di alam mimpi, yah maksudku terlelap, terdengar nada dering SMS dari handphoneku."Hai, Silvi" itu yang tertulis di layar handphoneku.Siapa nih SMS? Nggak ngasih identitas lagi, hanya nomor yang tak ku kenal. Aku menanyakan identitas kepada orang yang mengirimkan SMS ini. Beberapa detik kemudian, balasan sudah muncul dan aku tersenyum. Ternyata orang itu adalah Dani. Tentu saja aku bingung bagaimana dia bisa dapat nomorku. Kemudian dia bilang bahwa dia tahu dari Facebook-ku. Aku baru teringat ternyata aku mencantumkan nomor HP di Facebook. Ya sudahlah, tidak terlalu masalah. Sekarang aku SMS-an sama Dani dan tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ya ampun berarti udah dua jam aku SMS-an sama dia. Oke, tanganku udah pegel dan kayaknya pulsaku juga mulai menipis. Akhirnya, aku bilang kepada Dani lewat SMS terakhirku,"Dan, udahan ya. Pulsaku udah sekarat nih kayaknya. Besok ketemu di kelas, Daaa". Lalu aku melempar handphoneku ke kasur dan keluar untuk mandi dan membantu Mama menyiapkan makan malam karena Papa akan pulang dari Manado malam ini.

Hari ini, aku bersemangat karena Dani akan kembali tinggal di rumahnya yang dulu. Yap, rumah yang terletak tepat di depan rumahku, seperti yang sudah ku bilang. Katanya waktu SMS an kemarin, dia akan pindah sekitar jam 4 sore, setelah pulang sekolah. Sebelum berangkat, aku minta izin ke Mama dan Papa kalau nanti pulang sekolah aku akan mampir dulu ke rumah Dani untuk membantunya beres-beres. Aku kan sahabat yang baik hati dan suka mEnolong."Hai, Dan.. ntar aku ke rumahmu ya. Aku bantuin beres-beres deh, lagian aku juga kangen sama mama papamu," kataku ketika sampai di kelas. Aku langsung mengambil tempat di deket Dani, seperti kemarin. "Oh, gitu. Sama aku nggak kangen? Mending gak usah balik ke Bandung, deh. Aku balik ke Medan, deh," kata Dani cemberut. "Lho? Bukan gitu sih, Dan. Yah, aku juga kangen kok sama kamu. Banget malah," kataku panik. Dani langsung ketawa puas banget. Tuh kan, ternyata bercanda. Aku mencubit pinggang Dani berkali-kali, biarin deh. Enak aja gitu ngerjain aku. Tapi, bercandaan kami terhenti ketika guru pelajaran jam pertama masuk. Agak killer nih gurunya, membunuh. Bisa-bisanya awal masuk udah diajar guru yang seperti ini. Guru fisika, lagi. Aku dan Dani tidak berani macam-macam. Bukan hanya kami sih, teman-teman yang lain juga langsung diam. Sepi, hening. Setelah berdoa, pelajaran jam pertama dimulai.
Pelajaran hari ini berjalan dengan sukses, sepertinya. Aku pulang barengan Dani. "Yuk, pulang Dan. Kita kan mau beres-beres," kataku sambil menarik-narik tangan Dani dengan semangat. "Iya iya, Neng, sabar. Masih masuk-masukin buku, nih. Keburu amat sih?". Aku tidak menjawab, malah memperhatikan mata Dani. Matanya merah, berair juga, seperti kurang tidur. "Dani, kemarin tidur jam berapa? Mata kamu merah, tuh," kataku penasaran. Pasti Dani tidurnya malem banget. "Oh ya? Aku kemarin tidur jam 9 kok. Oh, kelilipan mungkin," katanya seperti mencoba meyakinkanku, lebih tepatnya seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Tidak mungkin, kenapa aku merasa ada yang tidak beres dengan Dani? Tadi, selama pelajaran Dani juga menguap berkali-kali. Tapi, aku nggak mau membesar-besarkan masalah. Dia sahabatku, aku tidak mau berpikiran buruk tentangnya. Aku nggak mau persahabatan ini, yang sudah 12 tahun lamanya rusak hanya karena prasangka buruk atau semacamnya.

Tak lama kemudian, Dani selesai beres-beres. Kami menuju parkiran, setelah Dani mengeluarkan sepeda motornya, kami langsung menuju rumah Dani. "Dan, awas ada mobil tuh. Hei, kamu ngantuk, ya? Udah, udah kamu minggirin aja deh motornya. Biar aku aja yang nyetir". Aku sudah berkali-kali mengingatkan Dani, dia seperti tidak konsentrasi. Sepeda motornya kadang oleng, dia juga tidak memperhatikan apapun yang ada di jalan. Pikiran seperti kemana-mana. Daripada kami kenapa-napa, aku pun mengambil alih kendali sepeda motor. Untung saja aku bisa mengendarai kendaraan yang satu ini. "Dan, kamu kayaknya mengalami masalah kesehatan yang serius, deh. Kamu yakin pindahan hari ini? Aku nggak maksa deh, besok juga nggak apa-apa kok". Jujur ya, saat ini aku khawatir dengan keadaannya, walaupun aku nggak tahu masalah apa yang dihadapi olehnya. Bener-bener nggak tahu. "Aku nggak apa-apa dan nggak kenapa-napa, Sil". Berkali-kali dia mengatakan itu. Ya sudahlah, mungkin aku terlalu berlebihan kali, ya? Tapi entahlah, berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja dan itu tidak berhasil membuatku yakin 100%. Aku tetap bersikeras, beranggap bahwa telah terjadi sesuatu dengan Dani. Apakah dia punya penyakit bawaan atau semacamnya? Aku segera menepis anggapan itu. Aku takut pikiran burukku itu benar-benar terjadi. Aku menambah kecepatan sepeda motor agar cepat sampai rumah Dani. Lebih cepat lebih baik.

Akhirnya 15 menit kemudian, kami sudah selesai beres-beres. Tanpa buang-buang waktu, keluarga Dani dan aku segera berangkat. Aku yang mengendarai motor Dani, sedangkan Dani tidur di mobil, aku yang menyuruh. Maunya sih tadi aku dibonceng sama dia, tapi kan dia sakit gitu. Aku nggak tega lah, akhirnya dia mengerti kekhawatiranku dan dia menurut saja. Aku kan sahabat yang baik. Pokoknya Dani nggak rugi, deh, punya sahabat sepertiku. Baik dan perhatian, sebagai sahabat. Tidak, jangan mengira aku menganggap Dani lebih dari sahabat. Dani pun begitu, dia juga tidak menganggapku lebih dari sahabat. Tentu saja, agar persahabatan kita awet selamanya. Aku nyaman dengan persahabatan kami, aku tidak mau persahabatan yang mulai kecil ini rusak karena cinta atau apalah. Lagian, aku juga sudah punya pacar, namanya Dicky. Aku jadian sama dia waktu mau kelulusan. Yang ini nggak usah diceritakan, deh. Cukup tau saja ya, kalau aku nggak jomblo hehe.

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah minimalis yang bercat kuning ini. Tepat di depan rumah ini, mama dan papaku keluar memberi sambutan kepada tetangga baru kami. Sebenarnya bukan tetangga baru sih, tetapi karena telah berpisah sekian lama, jadi kesannya seperti tetangga baru saja. Mama dan Tante Maya cipika-cipiki, biasalah ibu-ibu. Aku membayangkan kalau nanti aku akan seperti itu juga, aku tertawa dalam hati. "Silvi, tante minta tolong, ya, kamu anter Dani ke kamarnya. Sudah di beresin, kok, sama Mbak Sri," kata Tante Maya padaku. "Siap kerjakan, Tante," kataku sambil hormat. Lalu, aku memapah Dani ke kamarnya dibantu Mbak Sri, pembantu mereka yang rajin itu. Duh, berat banget nih anak. Padahal nggak gendut-gendut amat. Akhirnya sampai juga di kamarnya, aku dan Mbak Sri membaringkannya di kasur. "Kalian keluar aja, aku mau istirahat", kata Dani. Bentar, cara ngomongnya nggak seperti Dani yang biasanya, nadanya datar. Apa dia marah sama aku? Apa sebenarnya dia nggak suka pindah lagi ke sini? Tuh, kan, selalu saja aku berpikiran buruk. Ya sudahlah, aku mengerti mungkin Dani benar-benar butuh istirahat. Aku segera keluar dan tidak tahu apa yang Dani lakukan di kamarnya.

Tak terasa, sudah hampir setengah tahun aku sekolah di SMA. Sebulan lagi UTS, tapi sekarang aku sudah mulai belajar untuk persiapan ujian supaya agak ringan belajarnya. aku tidak suka hal-hal yang memberatkanku. Sekarang saja, walaupun hari Minggu, buku Fisika, Matematika, Biologi dan Kimia menumpuk di depanku. Aku ingin masuk ke jurusan IPA, lalu kuliah di farmasi, entah di universitas mana, aku belum memikirkannya. Aku masih berkutat dengan soal fisika yang entahlah soal dari planet mana yang kukerjakan ini. Sulit banget. Tiba-tiba, mama memanggilku dari bawah, "Silvi, tolong antarkan kue ke rumah Tante Maya". "Oke, Ma," teriakku dari kamar dan segera turun ke dapur. Oh iya, siang nanti ada arisan ibu-ibu di rumahku dan Mama membuat muffin yang enak sekali. Mamaku memang berbakat sekali dalam hal membuat kue. Aku mencium tangan mama lalu berlari keluar menuju pintu. "Jangan lari, sayang, nanti kuenya jatuh," teriak Mama dari dalam rumah. "Oke, Ma. Assalamualaikum."

Aku menyeberang ke rumah Tante Maya, kemudian mengetuk pintu. Aku terkejut Tante Maya membukakan pintu dengan menangis. "Lho, Tante, ada apa?" aku bertanya pada beliau. "Dani... overdosis," kata Tante Maya pelan tapi berhasil membuatku serasa tersambar petir. Overdosis? Apa selama ini...? Aku masih belum bisa mempercayai pendengaranku. Pertanyaanku menggantung di langit-langit. Aku menjatuhkan begitu saja piring plastik berisi muffin buatan mama dan berlari ke kamar Dani. Ketika itu aku melihat Dani di gendong Pak Wawan. Tanpa sadar, aku menjerit histeris, dan menangis. Aku benar-benar melihat keadaan Dani yang, hmm aku tak bisa menjelaskannya. Kejang-kejang, keluar keringat, seperti itu. "Tante, aku ikut ke rumah sakit ya. Aku mohon, Tante," kataku disela-sela tangisku. "Iya, iya. Tapi kamu harus izin mama kamu ya", "Iya, Silvi bawa handphone, kok. Sekarang berangkat langsung aja." Kali ini aku benar-benar merasakan kekhawatiran yang amat sangat.

Mobil sedan hitam ini pun melaju cepat menuju rumah sakit. Tante Maya tidak berhenti-berhentinya membacakan doa untuk Dani. Aku pun juga membantu berdoa. Ya Tuhan, aku nggak mau kehilangan sahabatku yang satu ini. Selamatkan dia, ampuni dosanya. Aku tak berhenti berdoa di sela-sela tangisku.
Akhirnya sampailah kami di rumah sakit, di bagian UGD. Dani segera dibawa ke ruang penanganan. Hatiku kalut, perasaanku saat ini nggak jelas. Entah apa yang ku rasakan sekarang. Sedih, kesal, marah, menyesal, khawatir, dan perasaan lain yang tak bisa ku jelaskan. Jangan-jangan, firasatku selama ini benar bahwa sahabatku itu pemakai nark*ba. Tapi mana mungkin, dia kelihatan baik anaknya dan tidak punya masalah apapun, termasuk masalah keluarga sekalipun. Dia tidak pernah mempermasalahkan papanya yang sering keluar kota, itu yang pernah dia katakan padaku. Saat ini bahkan aku belum bisa meyakini pemikiranku sendiri. Pandanganku tertuju pada Tante Maya yang berada di sebelahku, perempuan itu tidak berhenti menangis dan terus menggumamkan doa. Aku mencoba menenangkannya, dengan beribu pertanyaan terngiang di kepalaku. Seperti mengerti apa yang sedang ku pikirkan, tiba-tiba Tante Maya memulai ceritanya, "Sebenarnya Dani sudah mulai memakai nark*ba ketika kami di Medan. Waktu kelas 9, dia terpengaruh pergaulan teman-temannya di sana. Waktu itu kami juga nggak sempat memperhatikannya karena kesibukan kami yang menumpuk. Dani hampir nggak lulus, Sil. Tetapi kami tidak mau itu terjadi. Tante dan papanya Dani sudah membawanya ke rehabilitasi yang ada di sana. Tante juga kaget dan baru mengetahui kalau Dani make lagi, ya, tadi pagi itu. Maafin Dani ya, Sil. Tante tau, kamu agak kesal sama dia." Aku mendengarkannya dengan seksama. Perasaan campur aduk itu datang lagi, tapi agak berkurang kadarnya. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai pendengaranku. "Nggak, Tante, nggak. Aku nggak kesal sama Dani. Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, kan? Tante sabar aja ya, semoga Dani baik-baik saja dan tidak melakukan kesalahan ini lagi." Tentu saja, setiap manusia pernah melakukan kesalahan, begitupun Dani. Tiba-tiba, Tante Maya memelukku dan menangis di pundakku. "Terima kasih, Sil. Dani nggak akan pernah menyesal punya sahabat seperti kamu," bisiknya.

Tak lama kemudian, seorang dokter yang menangani Dani keluar dari ruangan dan menghampiri kami, "Keluarga Dani Fahreza, silahkan melihat keadaan pasien. Keadaannya sudah agak membaik, untung saja penanganannya tepat. Tapi untuk beberapa hari, pasien harus menjalani rawat inap." Aku dan Tante Maya berdiri dengan wajah gembira, syukurlah. "Terimakasih, Dokter," ucapku dan Tante Maya hampir bersamaan. Setelah itu kami menuju ke kamar Dani.

Di kamar bercat dinding putih ini, aku melihat Dani terbaring lemas di tempat tidur bersprei hijau khas rumah sakit. "Hai, Dan..." sapaku saat memasuki kamar tempat Dani dirawat. "Sil, maafin aku. Aku udah ngecewain kamu sebagai sahabatku, kamu pasti malu punya sahabat yang pecandu nark*ba sepertiku. Maaf, Sil, maaf," ucapnya ketika aku duduk di samping tempat tidurnya.

"Nggak, Dan. Kamu jangan mikir seperti itu, dong. Aku nggak nyesel kok, aku nggak malu. Aku cuma pingin, habis keluar dari rumah sakit, kamu harus buang barang-barang haram itu, janji ya?" kataku setengah terisak. Dani mengangguk dan tersenyum. Senyumnya membuatku yakin bahwa dia benar-benar ingin sembuh dan meninggalkan nark*ba yang sering disebut-sebut sebagai tiket ke neraka itu. "Ma, maafin Dani ya, udah ngecewain Mama," Dani berkata sambil memandang Tante Maya dengan penuh penyesalan. "Iya, sayang. Kamu janji sama mama ini yang terakhir kalinya." Lalu ibu dan anak itu saling berpelukan. Aku terharu dengan suasana ini, air mataku yang bandel ini menetes lagi. Kemudian pelan-pelan aku meninggalkan kamar. Aku berharap semua berakhir bahagia.

Hari Minggu ini adalah hari yang buruk bagiku. Bahkan langit Bandung yang biasanya cerah, hari ini menjadi suram alias mendung. Ya, perpisahan lagi. Hari ini keberangkatan Dani menuju Surabaya untuk menjalani rehab untuk yang kedua kalinya. Setelah dia pulang dari rumah sakit, orangtuanya memutuskan agar Dani direhab lagi agar benar-benar sembuh. Baru dua bulan pertemuanku dengan Dani dan kini kami harus berpisah lagi. Sedih rasanya, tapi kali ini aku paham, ini untuk kebaikan Dani. Untuk kebaikan semuanya, termasuk aku. "Dan, cita-citamu apa?" tanyaku sebelum Dani berangkat. "Dokter," jawabnya singkat tapi mantap. "Dokter... Waaaah, kita bisa kerja sama, dong. Jadi kamu buka klinik, nanti aku yang buka toko obatnya, gimana?" ucapku dengan ekspresi ceria. Ceria yang dibuat-buat tentunya, karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan Dani. Untuk yang kedua kalinya juga. "Ide bagus, tuh, Sil. Kamu harus belajar baca tulisan aku dulu, dong, kalau gitu. Jangan sampai kamu salah ngasih obat, ntar ada orang sakit perut, kamu kasih obat sakit mata. Hahaha," katanya sambil ketawa puas. "Oooh, meremehkan Silvia Juwita, nih? Awas ya, aku bakal melakukan yang terbaik, tau," kataku gemas sambil menggelitiki pinggang Dani. Kami tertawa lepas pagi itu. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi perpisahan. Tetapi yang terjadi sebenarnya adalah aku nggak mau kelihatan sedih di mata Dani. "Dan, perpisahan ini sementara, 'kan? Kamu janji bakal balik lagi ke Bandung, 'kan? Terus setelah itu nggak akan ada perpisahan lagi, iya 'kan?" tanyaku. "Iya, Sil, janji. Kalau aku sudah sembuh aku balik lagi ke Bandung. Doakan, ya." Aku mengangguk dan tersenyum, kami mengaitkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Akhirnya tiba saat perpisahan itu. Aku melepas kepergian sobatku itu dengan tersenyum, aku sudah tenang sekarang. Mataku mengikuti mobil sedan yang terus melaju meninggalkan kompleks perumahan ini sampai akhirnya hilang dari pandanganku.

Waktu seakan berjalan cepat. Menciptakan sejarah-sejarah yang tak akan terlupakan oleh siapapun yang terlibat di dalamnya. Sudah beberapa bulan terlewati sejak perpisahanku dengan Dani. Aku akan naik ke kelas 11. Ujian Kenaikan Kelas sudah aku lalui dengan penuh tantangan dan syukurlah tidak ada nilai remidi atau semacamnya, termasuk Fisika yang kuanggap sulit itu. Aku tinggal menunggu hasil, semoga tidak mengecewakan dan sesuai dengan harapanku.

Sore ini, aku menikmati suasana yang santai. Membaca novel sambil duduk di atas ayunan yang ada di taman samping rumahku. Suasana sore ini sangat cerah. Langitnya terlihat bagus, semburat-semburat cahaya matahari yang hampir tenggelam turut mewarnai indah langit sore yang selalu kusukai ini. Novel yang kubaca ini menceritakan tentang sahabat yang sudah lama berpisah kemudian bertemu kembali, tetapi sayangnya salah satu dari mereka mengalami kejadian yang membuatnya lupa ingatan. Ketika ingatannya sudah pulih, dia harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya telah meninggalkannya untuk selamanya karena suatu penyakit. Miris banget, batinku. Jangan sampai aku mengalami kejadian semacam itu. Aku jadi teringat Dani, kapan dia akan kembali? Aku merindukannya. Aku berharap dia masih ingat akan janjinya bahwa dia akan kembali, aku berharap dia kembali secepatnya, aku berharap sekarang dia berdiri di depanku... "Ehem." Suara itu sepertinya aku kenal. Aku menurunkan novel yang menutupi wajahku. Entahlah, tapi sepertinya ketika aku berharap tadi ada bintang jatuh atau semacamnya sehingga harapanku terkabul. "Dani? Hai, Daaan..." aku berdiri dari ayunan dan melompat girang. Tanpa sadar aku memeluk Dani. "Hai, eh... Waaah, lagi mikirin aku, ya?" Aku tidak menjawab sampai akhirnya aku melepaskan pelukanku. Anak ini tambah tinggi, atau mungkin aku yang semakin menyusut. Selain itu, dia juga tambah kurus. Terserah yang penting aku bertemu lagi dengannya. Ini benar-benar di luar dugaanku. Aku kira rehab butuh waktu setahun atau dua tahun atau bertahun-tahun. Ketika aku bertanya hal itu pada Dani, dia menjelaskan bahwa kata pihak rehab, sebenarnya dia belum termasuk pecandu berat. Waktu itu dia seperti mendapatkan sugesti untuk memakai lagi. Jadi, dia hanya perlu menghilangkan sugesti-sugesti yang seringkali muncul itu. Aku nggak pernah salah beranggapan bahwa Dani itu anak baik, hanya lingkungannya yang tidak mendukung. "Terus kamu dapet barangnya dari mana?" tanyaku. "Aku dikasih sama anak kelas kita, Ody. Dia itu pemakai dan pengedar. Dia juga mengedarkan ke anak-anak lain." Ody? Oh, pantesan. Seminggu sebelum UKK, ada polisi datang ke kelas dan menanyakan keberadaan Ody. Dia memang bandel banget, sering bolos pelajaran dan tidur di kelas. Biar tahu rasa."Dan, main yuk. Emm, apa ya? Catur, yuk. Aku sekarang jago main catur loh. Aku bakal ngalahin kamu ntar." Dani mengiyakan tantanganku. "Oh, oke. Siapa takut? Kamu nggak akan bisa mengalahkan Dokter Dani, hahaha," katanya. Tertawanya itu lho, mirip karakter Pahlawan Bertopeng yang ada di kartun Crayon Sinchan. "Ohooo, gitu ya? Oke, jangan ngomong aja dong, ayo kita buktikan. Bentar ya, aku ambilin caturnya." Aku masuk ke rumah dan mengambil papan catur di bawah meja ruang keluarga.

Sore itu, kami bermain catur. Permainan kami diwarnai dengan penuh tawa dan kecurangan-kecurangan. Kami main dengan asal-asalan. Benar-benar jauh dari permainan aslinya yang biasanya dimainkan dengan penuh keseriusan.

Ketika permainan berakhir, tidak ada yang menang maupun yang kalah. "Silvi, Dani. Masuk yuk, nih, brownies coklatnya udah jadi." Aku dan Dani saling bertatapan, lalu saling tersenyum. Setelah itu, kami bangkit dan berlari ke dalam rumah menuju dapur. Papan catur itu tergeletak di teras rumah dengan pion-pion yang berceceran di atas lantai. Setelah berada di dapur, kami segera menyantap brownies itu dengan rakus sampai tak tersisa sedikitpun. "Enak banget nih, Tante. Bikin toko kue laku tuh kayanya", kata Dani dengan mulut penuh dengan brownies. Mama tertawa dan sepertinya menyetujui rencana Dani. Ya, memang enak sekali dan sepertinya Mama memang harus memulai bisnis toko kue.

Dear Diary...
Sore ini adalah yang paling indah bagiku. Aku bertemu dengan sahabatku lagi. Yang terpenting, Diary, setelah ini tidak akan ada perpisahan lagi. Kita akan bersahabat selamanya. Selamanya, Diary... Itu perjanjian kita.
Silvi + Dani = Sahabat selamanya (ini perjanjianku dengan Dani, loh)
Aku menutup buku harian biruku itu. Aku suka akhir yang bahagia. Dani telah memberiku arti persahabatan yang sesungguhnya, menerima kesalahan satu sama lain. Terimakasih, Sahabat. Kini, kuputuskan untuk pergi tidur. Aku tak sabar menunggu hari esok, karena esok dan seterusnya aku akan memulai lagi hariku yang ceria. Tanpa perpisahan.

TAMAT

Cerpen Karangan: Annisaa Ahmada Atusta


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...