Skip to main content

Cerpen Love Song In The Rain (Part 2)


"Kenzie maaf. Aku harus kembali sekarang." Finza tiba-tiba saja ingin kembali ke kotanya, tempat dimana masa masa depannya sedang menunggu.
"Kemana?" tanya Kenzie hati-hati.
"Kenzie, kita nggak bisa kayak gini. Cerita tentang masa kecil kita itu udah tinggal kenangan. Itu udah lama banget. Kamu tau? Aku kembali kesini, buat balikin sebuah buku masa lalu yang dulu aku bawa. Aku mau ngembaliin buku itu, biar semuanya berakhir. Takdir kita cuma sampai waktu itu." Finza menunduk. Air mata yang berusaha ditahannya, akhirnya bergulir juga. Mengalir hangat di pipinya.
"Pergi aja sejauh yang kamu bisa. Pergi, nggak papa." Kenzie berkata lirih, namun terdengar lembut di telinga Finza. Tangannya dengan bergetar berusaha mengusap pipi Finza, mengahapus butir-butir hangat yang mengalir di sana.
"Kenzie, tolong. Aku mau tunangan dan aku nggak mau terus-terusan terikat sama masa lalu." Finza memohon. Kenzie hanya terdiam mendengar pengakuan Finza. Namun dia berusaha tenang. Apa yang di lakukan Finza memang benar. Dia tak mungkin menyia-nyiakan waktunya untuk menunggu takdir pertemuan mereka kembali.
"Aku tau. Aku pun memilih jalan yang sama seperti yang kamu pilih. Tapi sayangnya, masa lalu memelukku terlalu kuat. Tiap tahun aku ke sini membuang cerita kita satu persatu. Dan sekarang, di tahun terakhir aku pengen buang semuanya, kamu muncul. Dulu kamu pergi gitu aja tanpa bilang apa-apa. Aku harus gimana Fin? Aku juga nggak mau nyakitin hati orang yang menyayangi aku. Tapi kenangan itu juga nggak mau pergi. Aku.." Kenzie tak bisa lagi melanjutkan kalimatnya.
"Pergi gitu aja?" Kamu yang biarin aku pergi gitu aja, sambung Finza dalam hati.
Finza dengan cepat berlari ke bawah. Melangkah cepat meninggalkan Kenzie yang berdiri mematung sendirian. Air matanya dibiarkannya mengalir kembali. Terus mengalir tanpa mau ditahan. Seharusnya, dia datang kembali untuk membuang kenangan yang selalu membayang-bayanginya. Namun akhirnya, dia kembali lagi untuk membawa rangkaian kenangan baru.
Kenzie dan Finza kembali berpisah tanpa mengatakan apapun. Perpisahan yang hanya bisa mengandalkan takdir untuk mengatur pertemuan mereka kembali. Perpisahan yang sama, seperti waktu itu. Kenzie tak bisa melakukan apapun untuk perpisahan kedua mereka. Dia tak ingin bertindak egois. Biarkan saja takdir yang bekerja untuk mereka. Apakah ada lagi rahasia pertemuan atau memang inilah perpisahan yang mengakhiri semuanya.

----

"Finza, tante Andine ini akan jadi mama baru kamu sayang." Papanya mengenalkan Finza pada seorang wanita yang sepertinya usianya sebaya dengan Papanya.
Finza tersenyum manis lalu memperkenalkan diri. Dia sangat senang karena sebentar lagi akan punya mama baru. Selama ini dia tidak pernah merasakan sedikitpun aliran kasih sayang seorang Ibu. Dan Kini, Tuhan memberinya kesempatan untuk merasakan itu semua. Finza beralih tersenyum pada seorang gadis yang berdiri di belakang tante Andine. Usianya mungkin 15 tahun, sama seperti Finza.
"Hai, kenalin. Namaku Finza. Kita bakal jadi saudara baru." Finza mengulurkan tangan.
"Aku Bernessa. Panggil aja Berness." gadis itu berkata datar dan sama sekali tak membalas uluran tangan Finza. Dengan senyum dipaksakan, Finza menarik tangannya kembali.
"Berness kamu nggak sopan." Tante Andine memelototi Berness.

     Seminggu sejak kehadiran Berness dan mamanya. Finza jadi semakin jarang bertemu dengan Kenzie. Waktu sore yang biasa mereka habiskan bersama selama lima tahun ini, digantikan dengan kehadiran Berness. Jadi, Finza hanya bisa bertemu Kenzie di sekolah.
Kisah yang saat ini dijalani Finza, sangat berbeda dari cerita-cerita dongeng. Ibu tiri yang digambarkan dengan kejam, justru sangat baik dan sayang padanya. Namun, kebaikan Ibunya itu sedikit menimbulkan kecemburuan di hati Berness. Sejak pertemuan pertama, hubungan mereka masih tetap kaku. Tetapi, mereka tetap berbicara satu sama lain. Finza mengerti akan situasi itu, dan hanya bisa menunggu agar suatu hari Berness bisa menerima kehadirannya dengan senyuman ikhlas.

     Hari ini, Finza akan pindah ke kota baru bersama Ayahnya. Ayahnya akan melangsungkan pesta pernikahan dengan tante Andine di sana. Tentu Finza sedih, karena dia akan meninggalkan Kenzie. Teman kecilnya sekaligus cinta pertamanya. Lima tahun yang mereka lalui bersama, sangat memungkinkan untuk menumbuhkan rasa-rasa itu.

     Finza ingin pergi menemui Kenzie sebelum pergi dari desa ini. Desa dengan sejuta kenangan antara mereka. Tapi tiba-tiba Berness menghalangi langkahnya.
"Finza, aku minta maaf karena selama ini dingin sama kamu. Aku juga nggak tau harus bersikap gimana. Tapi, walaupun gitu aku nggak mau kamu sedih. Tadi aku ketemu sama cowok. Katanya dia temen kamu." Berness tersenyum dengan sangat manis. Tapi sebenarnya, senyum itu dipenuhi kebohongan.
"Iya, nggak pa-pa kok Ness. Aku ngerti. Oh ya? Dia baik lho."
"Tadi, aku cerita ke dia tentang kepindahan kamu. Dia marah. Trus bilang kalau dia nggak mau ketemu kamu lagi." Berness memasang tampang "turut sedih"
Finza hanya diam, kemudian berlari menuju kamarnya. Dia menangis sampai matanya bengkak. Dia tidak ingin Kenzie membencinya. Tapi semuanya telah terjadi. Kenzie tidak ingin bertemu lagi dengannya. Akhirnya, Finza memilih pergi begitu saja. Tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.

----

"Jadi kamu saudaranya Finza?" tanya Kenzie ketika mereka bertemu di sungai. Berness mengangguk, kemudian menceritakan rencana kepindahan mereka.
"Hari ini?"
"Iya, kamu mau aku bilang sesuatu sama Finza?"
"Iya, aku nunggu dia di sini. dan tolong kasih surat ku ya? Sebenernya aku mau ngasihnya udah lama. Tapi nggak berani." Kenzie menyerahkan sebuah surat yang di sampul dengan rapi pada Berness. Berness kemudian melangkah pergi meninggalkan Kenzie yang terus menunggu. Surat itu tak pernah diserahkannya pada Finza.

     Hujan turun dengan deras. Namun Kenzie terus menunggu kehadiran Finza. Dia percaya, Finza pasti datang untuknya. Sejam, dua jam, Finza tak juga datang. Dan akhirnya Finza memang tidak datang. Hujanlah yang menjadi saksi perpisahan mereka. Di bawah langit yang mendung, rajutan persahabatan sepasang teman putus begitu saja.

----

"Finza? katanya seminggu, kok sehari udah balik lagi?" Devin menyambut kedatangan Finza dengan heran.
"Males lama-lama. Kan kangen kamu. Hehe.." Finza bermanja-manja pada calon tunangannya itu,
"Sok imut banget sih." Berness menjitak kepala Finza yang sedang berpelukan dengan Devin.

     Setahun setelah kepindahan mereka ke kota. Berness merubah sikapnya. Kali ini benar-benar tulus dan dari hati. Namun, cerita tentang Kenzie tak pernah diberitahukannya. Berness takut, Finza akan membencinya. Hingga dia terus menyembunyikannya.
"Fin, Berness katanya mau ngenalin kita sama pacarnya. Besok malam di restoran biasa." Devin mengedipkan matanya ke arah Berness.
"Devin ah. Kan udah dibilang, jangan kasih tau Finza dulu. Curang ah." Berness meleletkan lidah pada Devin.
"Ness, jadi kamu udah punya pacar?" pekik Finza riang.
"Nggak usah teriak-teriak gitu kenapa?" Berness mencubit pipi Finza. Finza hanya mengaduh kecil.

----

     Devin dan Finza sudah berada di dalam sebuah Restoran Italy. Mereka duduk bersebelahan di meja yang sudah dipesan Berness. Finza memesan Fettucini cream asparagus, sedangkan Devin memesan Spagetti bolognaise.
Mereka sama-sama menikmati makanan masing-masing. Sesekali mereka melempar lelucon dan tertawa. Suasana menjadi sedikit kaku ketika Berness mengenalkan seseorang sebagai kekasihnya.
"Finza, Devin, ini Kenzie pacar aku. Kenzie, ini Finza saudara aku dan ini calon tunangannya Devin." Berness mengenalkan Finza dan Devin secara bergantian.
Finza hanya tertegun menyaksikan sebuah kebetulan yang terjadi tepat di depan matanya. Rahasia pertemuan yang kembali terjadi. Takdir terkadang terlalu kejam. Kenzie hanya menatap Finza yang saat ini mematung melihat wajahnya.
"Wah.. Berness punya pacar keren nggak cerita-cerita." Devin tertawa sambil menyalami Kenzie. Kenzie hanya membalsnya dengan senyum kecut. Matanya tetap mencuri-curi pandang ke arah Finza yang tampaknya sangat gugup.
Makan malam hari ini sangat dinikmati oleh Berness dan Devin, tapi tidak bagi Kenzie dan Finza. Pertemuan tak diduga ini membuat mereka kehilangan selera makan dan sesak napas. Bagaimana mereka harus bersikap untuk selanjutnya?

----

"Kenapa Ness?" tanya Devin ketika Berness mengajaknya bicara berdua, tanpa Finza.
"Aku cuma ngerasa ada yang aneh aja sama Kenzie dan Finza. Selama makan malam, Kenzie sering banget natap Finza. Kesannya aneh aja. Nah Finza nunduk terus. Biasanya kan dia cerewet. Aku nggak mau sok tau, tapi kayaknya aneh aja." Berness memainkan bibirnya.
"Aku juga mau nanya itu ke kamu. Kesannya mereka nggak kayak pertama kali ketemu. Kamu tau nggak tentang cowok-cowok yang pernah deket sama Finza selain aku? Jangan-jangan mereka emang pernah deket." Devin mengiyakan pendapat Berness.
"Nggak ada sih. Tapi dulu, waktu Finza masih di desa dia punya temen deket, cowok. Namanya aku nggak tau. Waktu itu aku masih cemburu-cemburuan sama Finza. Waktu mau pindah, cowok itu nitip surat ke aku dan aku nggak ngasih surat itu ke Finza. Sampai sekarang Finza nggak pernah tau. Aku tau aku salah Dev, tapi aku takut Finza nanti benci aku. Ya aku sih mikir itu Cuma surat biasa dan sepele." Berness menelan ludahnya dengan susah payah.
"Surat?" Devin mengerinyitkan dahi.
Berness mengangguk dan menceritakannya kembali dengan jelas. Bagaimana pertemuannya dengan seorang pria yang mengatakan kalau dia akan menunggu Finza, lalu menyerahkan sebuah surat pada Berness.
"Ini suratnya.. Walaupun aku begitu, aku nggak pernah buka surat ini." Berness memperlihatkan sebuah surat yang selama sepuluh tahun ini disembunyikannya. Bukan lagi karena membenci Finza, tapi karena takut Finza membencinya.
Akhirnya, Berness dan Devin membuka surat itu. Mereka hanya ingin tau, apa takdir yang telah dirubah oleh Berness.

Buat Fiorenza Damara Elysia,
Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Hehehe.
Besok tunggu aku di bukit pelangi ya??
-Kenzie Javas Nircala-

     Surat sesingkat itu mampu membuat Devin dan Berness terdiam. Feeling mereka sangat tepat. Berness menumpahkan air matanya. Kecemburuannya di masa lalu, mampu membelokan jalan takdir dua orang yang seharusnya berada pada satu jalur. Dia membuat kedua orang itu berada pada jalan yang berbeda. Hal yang selama ini dianggapnya sepele, ternyata menghancurkan sebuah rajutan kisah.

----

"Finza, kamu masih sayang sama dia?" tanya Devin.
"Dia siapa Dev?" balas Finza curiga.
"Kenzie?" Devin tak mau berbasa basi.
"Dia yang ngasih tau kamu? Devin kamu jangan salah paham. Itu udah lama banget." Finza berusaha menjelaskan pada Devin.
"Kisah usang, tapi berharga. Aku bisa liat itu di mata kamu. Kalau kamu pengen lupain dia, kamu nggak perlu repot-repot balik lagi ke desa itu. Udahlah Fin, jujur aja. Aku nggak marah kok. Aku emang sayang sama kamu. Sayang banget malah. Tapi, akan lebih baik kamu hidup sama orang yang kamu sayang, tapi juga menyayangi kamu." Devin berkata dengan berat.
"Devin jangan bercanda. Dia cuma mau ngerusak hubungan aku sama kamu. Sebentar lagi kita tunangan."
"Tunangan? itu bisa dibatalin. Tapi cinta sejati nggak bisa dibatalin gitu aja. Bukan dia yang kasih tau aku. Tapi surat yang ada sama Berness. Dia ngerasa bersalah, kenapa waktu itu surat titipan Kenzie nggak dia kasih ke kamu." jelas Devin.
"Surat Kenzie? Berness?" Finza terlihat bingung. Lalu Devin menceritakannya kembali, seperti yang diceritakan Berness.

Finza menangis sesegukan. Devin menenangkannya.
"Kalau kamu masih pengen dia kembali, kejar dia. Berness bilang dia akan kembali ke desa untuk menenangkan pikiran. Jangan ragu buat mengejar cinta kamu. Ayo Finza."
"Makasih Devin." dengan mata yang masih basah, Finza belari meninggalkan Devin. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kenzie.
Devin menatap Finza yang berlari menjauh meninggalkannya. Itu artinya, Finza tidak akan kembali lagi padanya. Devin tersenyum, apa yang dilakukannya sudah benar. Kalau saja dia tidak mengetahui yang sebenarnya. Finza bisa saja hidup dengannya, tapi hati Finza tetaplah untuk Kenzie, bukan untuknya.

     Setelah Finza benar-benar menghilang, Devin berteriak sekuat-kuatnya, membuang energi negatif yang telah banyak tersebar dalam dirinya. Cincin yang semula akan diberikannya pada Finza di pesta pertungan mereka, dibuangnya jauh-jauh. Sedikit, perasaannya mulai lega.

----

"Ternyata kita pernah ketemu di masa lalu ya. Aku minta maaf nggak ngasih surat itu ke Finza. Aku egois banget waktu itu." Berness menunduk.
"Nggak pa-pa kok. Seenggaknya, kamu yang bawa aku buat ketemu lagi sama Finza."
Berness tersenyum. Apa yang dilakukannya sudah benar. Kenzie memang ditakdirkan untuk saudara tirinya itu, bukan untuknya. Dilepasnya Kenzie dengan senyuman. Biarkan saja, Kenzie melanjutkan kisah lamanya bersama Finza. Biarkan saja, cinta yang sama-sama ada itu bertemu dan kembali utuh.

----

"Kenzie.." Finza berlari ke arah Kenzie yang sedang berdiri di bukit pelangi dengan napas tak teratur kemudian merebahkan tubuhnya pada Kenzie. Dipeluknya sosok yang selalu menjadi obsesinya selama sepuluh tahun ini.
"Finza kok bisa di sini?" Kenzie membalas pelukan Finza dengan lembut.
"Devin udah kasih tau aku semuanya. Surat yang kamu titip ke Berness."
"Nggak usah ngebahas masa lalu lagi. Sekarang gimana?" tanya Kenzie.
"Sekarang, kita lanjutkan rajutan persahabatan kita waktu itu."
"Aku nggak mau jadi sahabat kamu."
"Kok gitu?" Finza memajukan bibirnya.
"Aku maunya jadi pacar kamu."
Finza tersenyum mendengar perkataan Kenzie.
"Makasih.." Finza mencium pipi kiri Kenzie.
"Aku sayang kamu Fiorenza. Makasih udah mau kembali ke sisiku." bisik Kenzie di telinga Finza. Finza lagi-lagi membalasnya dengan senyuman.

     Sangat lama mereka berdiri, sampai akhirnya hujan membasahi mereka. Hujan akan slalu hadir di setiap pertemuan maupun perpisahan mereka. Hujan yang selalu bernyanyi untuk mereka. Entah itu dendangan lagu bahagia, atau lagu sendu yang menyayat kalbu. Perpisahan tak selamanya berakhir dengan kehilangan. Ada kalanya, perpisahan di ciptakan untuk menemukan jalan agar kembali menjumpai pertemuan. Love song in the rain-

Penulis: Sahila Daniara


Comments

Popular posts from this blog

The Painting of Destiny

"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...

Good Morning America is a popular

Good Morning America is a popular morning news show that airs on ABC. It has been a staple in American households since its debut in 1975. The show covers a wide range of topics including news, entertainment, lifestyle, and pop culture. With its team of talented hosts and reporters, Good Morning America provides its viewers with the latest updates on current events and trending stories. One of the things that sets Good Morning America apart from other morning shows is its lively and energetic atmosphere. The hosts, including Robin Roberts, George Stephanopoulos, Michael Strahan, and Lara Spencer, bring a sense of fun and camaraderie to the show. They engage with their audience and each other in a way that feels genuine and relatable. In addition to its engaging hosts, Good Morning America also features a variety of segments that cater to a diverse audience. From cooking demos and fashion tips to celebrity interviews and human interest stories, the show offers something for everyone. Wh...

The liz hatton

The liz hatton is a unique piece of headwear that has been gaining popularity in recent years. This hat is characterized by its wide brim and low crown, which gives it a distinctive and fashionable look. The liz hatton is often made of materials such as wool, felt, or straw, making it a versatile accessory that can be worn in various seasons. One of the key features of the liz hatton is its versatility. This hat can be dressed up or down, making it suitable for a range of occasions. Whether you're going for a casual look or a more formal outfit, the liz hatton can easily complement your ensemble. Additionally, the wide brim of the hat provides excellent sun protection, making it ideal for outdoor activities such as picnics or garden parties. In terms of style, the liz hatton can be compared to other types of hats such as the fedora or the boater. While these hats may have similar silhouettes, the liz hatton stands out for its unique shape and design. The low crown and wide brim of ...
  • Cerpen The Way I Loved is Different

    Banyak yang bermimpi bagaimana membangun suatu hubungan yang harmonis, dan banyak pula yang berharap bagaimana dapat tetap menjaga keutuhan cinta di zaman ini. Hmmmm, aku adalah salah satu orang menginginkan dua hal itu tapi, ternyata banyak juga kendalanya. Bagaimana bisa melaksanakannya sedangkan,... Readmore

  • Cerpen The Things I Should Hate about You

    Can you imagine when you looking at delicious cake in front of you at fancy shop. And you want to just touch it, feel it smooth cream on your finger and then you put it on your mouth to taste what it’s feel like when its melt inside your mouth …Hmmm… Wait stop! Because its just y... Readmore

  • Humor Naik Bus Tingkat

    Di halte bus kabayan melihat bus bertingkat. Sang kondektur berteriak meneriakkan tujuan bus tersebut.. Si kabayan bertanya : Kabayan : "Jurusan mana bis inih, pak ? Kondektur : "Grogol !" Kabayan : "Kalau yang di atas ?" Begitu Saja Kok Di Masukin Hati Ada sekelompok anak muda yang mengadakan a... Readmore

  • Humor Yang Satu Pencipta Lagunya

    Di sebuah toko penjual burung, mempunyai 2 burung kakak tua. Kedua burung itu berbeda, yang satu suka bernyayi dan yang satunya lagi hanya diam saja, datang seseorang ingin membeli burung kakak tua. Ia berkata kepada si penjual burung : Pembeli : "Berapa harga burung kaka tua ini mas...?" Penjual:... Readmore

  • Cerpen Izinkan Aku Mencintainya (Part 3)

         Seperti biasa, ku ceritakan semuanya pada Arin. Nampaknya ia sangat kesal dan cemburu. Tapi ia menyembunyikannya dariku. "Iya, tadi anak-anak di sekolah heboh, bicarain Vindra yang pindah sekolah." Jawab Arin cuek. Keesokan harinya, aku dan Vindra berjalan menuju kelas tapi an... Readmore

  • Cerpen Izinkan Aku Mencintainya (Part 2)

         Lalu ku buka kedua mataku. Aku sangat takjub begitu melihat apa yang ada di depanku. Sebuah rumah pohon yang dihiasi bunga-bunga merah, putih, pink, kuning, hitam. Eitz... bunga warna hitam gak ada ya. Sori gue lupa. Aku langsung membelalak girang. "Rumah pohon?" kataku senang... Readmore

  • Cerpen Izinkan Aku Mencintainya (Part 1)

    Kusambut hari dengan berseri Seiring mentari yang terus menyinari Selaras hati yang bernyanyi Serinai kasih yang menyinar di hati Bersama sahabat yang selalu dekat Jalin erat terikat kuat ALIEF Dealova      Sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang, melainkan masih mampir ke toko... Readmore

  • Humor Tujuh Tiga Puluh

    Pada hari Minggu siang seorang bapak menonton pertandingan sepak bola di televisi. Akhirnya ia tertidur di kursi sepanjang siang dan malam hari itu. Pagi harinya sang isteri membangunkannya. Isteri : " Pak, Pak, bangun Pak ! Sekarang tujuh tiga puluh. " Si Bapak melompat dan terjaga. Bapak : " T... Readmore

  • Renungan Mukjizat Tuhan Tidak Pernah Berakhir

    Baca: Lukas 9:37-43a “Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah.” (Lukas 9:43a) Sekarang ini adalah era modernisasi. Semua serba modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Bermunculan pula pakar dan ilmuwan di bidangnya masing-masing dengan kemampuan luar bi... Readmore

  • Cerpen The Painter’s Masterpiece

    It was apparent to be a pleasure for Amir, a twenty-one-year-old young man to earn money from his paintings. Last week, one of his paintings had been bought by a rich businessman, and the generous businessman gave twenty million rupiahs for the beautiful painting. Amir never had twenty million ru... Readmore