Tanda centang terakhir


Punggung Zaman hampir selalu sakit, matanya terus-menerus tegang karena berjam-jam membungkuk di atas meja kerjanya yang berantakan, dengan cermat memperbaiki jam tangan dan jam yang dibawa orang-orang kepadanya. Toko kecilnya sempit dan remang-remang, tersembunyi di jalan tua yang jarang tersentuh oleh cahaya siang. Udara kental dengan bau kuningan dan debu, dan detak lembut berlapis dari ratusan arloji memenuhi keheningan. Setiap jam membawa ceritanya sendiri, ritme yang berbeda, dan Zaman memperlakukan setiap jam seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya sendiri.
Dengan cara itu, jam dan jam tangan yang dia perbaiki lebih dari sekadar benda; bagi Zaman, mereka adalah kehidupan yang terjalin dengan hidupnya sendiri. Dia memperlakukan setiap arloji sebagai cinta pertama dan satu-satunya. Matanya akan bersinar dengan gairah yang tenang saat dia memeriksa masing-masing, dari wajah berkilauan jam saku hingga tepi usang dari semua jam dan jam tangan. Tidak peduli seberapa rusak, betapa putus asanya arloji yang muncul, Zaman berkomitmen untuk memberinya hadiah waktu yang diperbarui.
Dedikasinya telah membuatnya mendapatkan reputasi di kota dan tidak ada jiwa yang tidak menyadarinya dan bakatnya. Orang-orang datang dari bermil-mil jauhnya untuk menemuinya, untuk mempercayai tangannya yang mantap dengan pusaka mereka yang paling berharga. Mereka memanggilnya "pelindung waktu," nama yang dia bawa dengan bangga tetapi juga, mungkin, sedikit ironi. Seperti yang dikenal karena menjaga waktu orang lain, sementara sewanya sendiri mencapai tenggat waktunya.
Ketegangan pada tubuhnya telah tumbuh selama bertahun-tahun, meskipun Zaman mengabaikannya sebaik mungkin. Namun, baru-baru ini, menjadi tidak mungkin untuk diabaikan. Napasnya tidak lagi selaras dengan detak berirama di sekitarnya, setiap napas datang lebih lambat, lebih berat. Dadanya menegang kesakitan saat dia mencoba untuk terus bekerja, detak yang sama yang pernah dia cintai, menyeretnya ke ujung garis finis.
Suatu malam, setelah seharian perbaikan, Zaman bersandar di kursinya, kelelahan merembes ke tulangnya. Dia memejamkan mata, membiarkan keheningan di antara kutu menyapu dirinya. Ruangan itu, biasanya kenyamanan, terasa aneh asing pada saat itu, dan tatapan Zaman melayang melintasi wajah jam di dindingnya, rak, meja. Ratusan wajah, ratusan hati yang berdetak—kehidupan yang telah dia bantu perpanjangan, namun tidak ada yang benar-benar miliknya.
Kilatan kayu yang dipoles menarik perhatiannya, menarik perhatiannya ke jam besar yang lapuk di dinding jauh. Itu adalah salah satu harta tertuanya, bagian yang telah ada di keluarganya selama beberapa generasi. Kakeknya telah membangunnya, merakit setiap bagian dengan hati-hati dan sabar sementara seorang Zaman muda menyaksikan dengan kagum, menyerap setiap detail. Jam itu adalah perkenalannya ke dunia arloji, rasa pertamanya akan keindahan dan misteri yang rumit di dalamnya.
Selama bertahun-tahun, Zaman sangat merawat jam kayu tua itu, merawatnya dengan pengabdian yang sama seperti yang dia tunjukkan kepada setiap jam tangan dan jam lain di tokonya. Tapi sekarang, berdiri di depannya, dia merasakan sesuatu yang lain—kesedihan, penyesalan yang mendalam. Jam itu lebih dari sekadar pusaka keluarga; itu adalah cermin hidupnya sendiri. Dia telah mencurahkan dirinya ke dalam keahlian ini, mengabdikan setiap jam bangun untuk melindungi waktu bagi orang lain, namun dia tidak pernah benar-benar hidup untuk dirinya sendiri.
Dengan berat hati, Zaman mengulurkan tangan dan mengusap jari-jarinya ke wajah jam. Dia hampir bisa merasakan tangan kasar kakeknya membimbing tangannya yang sama mantap dan terlatih yang telah mengajarinya seni membuat jam. Perlahan, dengan hormat, dia membuka selubung jam dan meraih di belakangnya, jari-jarinya menyapu garis besar baterai yang dingin dan logam. Satu per satu, dia melepasnya, merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan saat dia menarik masing-masing bebas.
Dengan baterai terakhir dilepas, jam melepaskan detik terakhirnya. Ruangan itu menjadi sunyi. Zaman menarik napas dalam-dalam dan berderak saat keheningan menetap di sekelilingnya, menekannya dari setiap sudut ruangan. Itu adalah sensasi yang tidak dikenal—tidak adanya suara di ruang yang selalu hidup dengan detak. Dia merasa seolah-olah waktu itu sendiri telah berhenti, meninggalkannya terombang-ambing dalam keheningan yang menenangkan sekaligus meresahkan.
Menggenggam jam di dadanya, Zaman berjalan perlahan kembali ke mejanya dan duduk, jari-jarinya menelusuri tepi wajahnya, seolah-olah dia mencoba memegang sesuatu yang tidak bisa dia rasakan lagi. Untuk pertama kalinya, dia membiarkan dirinya menghadapi penyesalan yang telah mendidih di bawah permukaan selama bertahun-tahun. Mengapa dia begitu peduli tentang melindungi waktu, tentang mengendalikan alirannya, ketika dia bisa menggunakannya untuk menciptakan kenangan, untuk mengalami kehidupan di luar batas-batas tokonya?
Dia memikirkan semua hal yang dia lewatkan, saat-saat yang telah dia korbankan untuk keahliannya. Dia telah menghabiskan seumur hidup memperpanjang waktu untuk orang lain, namun dia tidak pernah membiarkan dirinya menjadi bagian dari dunia yang dia tekad untuk melindungi. Dia telah menjadi tua sendirian, hanya dengan jam untuk menemaninya.
Zaman bersandar, memejamkan mata saat kenangan melayang di benaknya seperti adegan dari film lama. Dia melihat dirinya yang lebih muda, dipenuhi dengan ambisi dan keheranan, kebanggaan yang tenang di mata kakeknya saat dia meneruskan perdagangan keluarga. Dia ingat larut malam, kedipan cahaya lilin yang menerangi roda gigi dan sekrup kecil yang tersebar di meja kerjanya, dan senyum puas pelanggan saat mereka pergi dengan arloji kesayangan mereka yang dipulihkan. Itu adalah kehidupan yang dia cintai, namun dalam keheningan itu, dia akhirnya mengakui pada dirinya sendiri bahwa itu tidak cukup.
Kelopak matanya semakin berat, dadanya lebih kencang saat dia melepaskan napas panjang dan lambat. Udara di ruangan terasa tebal, berat, seolah-olah waktu itu sendiri menimpanya, menekannya kembali ke kursinya. Namun, pada saat-saat terakhir itu, dia merasakan kedamaian yang aneh. Mungkin, pikirnya, ini adalah caranya sendiri untuk melepaskan waktu—kesempatan terakhirnya untuk menyerah padanya, membiarkannya mengalir tanpa mencoba mengendalikan atau melindunginya.
Keheningan memberi jalan kepada suara, detak lembut yang semakin keras, memenuhi ruangan sekali lagi. Setiap jam melanjutkan ritmenya sendiri, simfoni kutu dan kack bergema di seluruh ruang. Tangan Zaman rileks, menyelinap menjauh dari jam yang dipegangnya saat dia merasakan detak jantungnya sendiri lambat, selaras dengan dengungan berirama di sekitarnya. Pikiran terakhirnya adalah pikiran yang tenang: keinginan bahwa dia telah membiarkan hidupnya sendiri berdetak dengan kebebasan yang telah dia berikan kepada semua jam di sekitarnya.
Saat detak jantungnya terdiam, toko terus berdetak, setiap jam menandai waktu yang bertahan lebih lama dari penjaganya. Zaman, pelindung waktu, akhirnya tertinggal, dan jam terus berjalan, denyut nadi mereka yang stabil menjadi pengingat abadi akan momen-momen yang tidak bisa didapatkan kembali.



By Omnipoten

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

The Luswa River Crocodile

  This story contains themes or references to physical violence, blood or abuse.   Mwelwa was a somewhat reckless but adventurous boy; he lo...

Popular Posts