Suatu hari, saya akan menuju suatu tempat. Saya harus memilih kira-kira jalur mana yang akan saya lewati dan alat transportasi apa yang akan saya gunakan. Apakah saya akan naik angkutan umum? Yang lewat tol atau jalur lambat? Atau naik kereta yang cepat namun dapat dipastikan terhimpit? Atau apa?
Dengan menggunakan pengetahuan yang saya miliki tentang kondisi jalanan di Jakarta, saya memilih naik angkutan umum patas AC yang jalurnya lewat tol (supaya tidak terlalu berdesak-desakan dan lebih cepat).
Namun ternyata saya salah. Apa yang saya prediksikan bertolak belakang dari kenyataan. Tol macet total, penumpang penuh dan saya akhirnya harus berdiri dan tiba di tujuan sangat telat. Kesal, sebal, bete dan akhirnya menangis. Padahal saya sudah memilih dengan pemahaman medan terbaik, bukan tanpa pengetahuan. Padahal saya sudah memilih dengan menggunakan parameter-parameter islami. Tapi kok?
Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa pilihan saya memang salah. Salah dalam arti prediksi saya tidak tepat, bukan SALAH dalam arti lawannya BENAR. Persepsi saya semula yang saya pikir akan memberikan prediksi yang mendekati benar karena berlandaskan pengetahuan yang cukup, ternyata masih kurang. Hal ini membuat saya makin sadar, bahwa pengetahuan saya sangat sedikit. Membuat saya makin tahu, begitu banyak yang di luar control dan kemampuan manusia.
Namun toh, setidaknya saya telah mengambil pilihan dan menjalaninya dengan sadar. Kalau ternyata hasil dari pilihan itu tidak seperti yang saya harapkan saat mengambil keputusan, itu adalah konsekuensi yang harus saya terima. Tak perlu menyesal apalagi merutuki diri dan orang lain. Bukan tidak mungkin, ada sesuatu yang tidak saya tahu, menjadi hikmah dari kejadian di luar kontrol itu tadi.
"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...
Comments
Post a Comment
Informations From: Omnipotent