Cerpen Adakah Bahagia Untukku? (Part 4-5)


“Hei, cepetan turun dong. Kamu tidur ya. Sudah sampai di depan rumahmu, nih.”
“Apa?”
“Nggak denger, ya! Aku teriak, lho.”
“Ya… ya…, aku segera turun,” kata Ana.
“Ngapain aja kamu tadi?”
“Ah…”
“Kamu ngapain dari tadi?” ulang Dicka.
“Oh, lagi…”
Belum sempat Ana meneruskan kata-katanya, Dicka sudah memotong, “Lagi ngelamunin aku, ya? Aku kan cakep.”
“Dasar narsis!” jawab Ann sambil menepuk punggung Dicka agak keras.
“Adaaww, sakit tahu!”
“Biarin.”

Setelah berbicara beberapa saat, Dicka berlalu. Saat itu, Ana tidak sadar bila ayahnya sedang mengamatinya dari balik gorden.
“An…”
Suara itu, batin Ana dengan kaget… ternyata ayah sudah pulang.
“Ya, ayah?” tanya Ana sambil berbalik menghadap ke arah ayahnya.
“Kamu sudah berjanji…”
“Ya.”
“Tentunya, kamu nggak akan menghindar.”
Ana merasa badannya lemas dalam sekejap. Dia tidak akan pernah melupakan janjinya pada ayah. Ya, dia memang tidak bisa lagi menghindar. Tidak akan bisa.

Ana memandang langit-langit di kamarnya. Memang, tidak ada apa-apa di sana. Hanya saja, Ana seolah melihat bayangan ayah dengan dirinya sedang berbicara di ruang tamu…
Ketika dia tiba di rumah, ayah sedang membaca koran sambil minum kopi. Padahal, tidak biasanya ayah pulang sesore ini. Namun, untunglah. Ayah pasti bisa menolongnya.
“Ayah!”
“Ada apa?” tanya ayah. Tak sekalipun dia menoleh pada Ana.
“Ayah, aku butuh…”
“Uang? Berapa?”
Ayah seakan bisa membaca pikiran Ana.
“Dua puluh enam juta.”
Ayah sekalipun tak bereaksi ataupun menunjukkan emosinya. Ana menjadi takut.

“Buat apa?” Akhirnya ayah berkata setelah lama berdiam diri. Ana menunggu dengan tegang.
“Buat temanku.”
“Itu saja? Ana, dengar. Ayah tidak akan membantu temanmu jika kau tidak memberi ayah alasan yang masuk akal.”
Ana menyerah. Dia tidak punya pilihan lain. Hanya ayah yang bisa membantunya.
“An, hindari dia.”
“Tapi, ayah…” protes Ana, “dia sudah menolongku.”
“Ya, ayah sudah dengar,” jawab ayah tegas, “Siapa tadi nama temanmu?”
“Dicka.”
“Ayah merasa kamu tidak cocok dengannya. Dia hanya ingin memperalatmu. Kamu tidak pantas bergaul dengannya.”
“Ayah tahu apa tentangku? Tidak ada. Ayah tidak mengerti aku. Aku juga tak pernah mengenal siapa ayah sebenarnya,” keluh Ana dengan suara serak. Ditahannya air mata yang ingin mengalir turun dengan susah payah.
“Kalau begitu, ayah juga tidak bisa membantunya…”
“Ayah…” Hilang sudah satu-satunya harapan. Ana tahu, Dicka bukanlah anak orang kaya. Lagipula, ayahnya sedang bertugas beberapa bulan dan rasanya sungguh mustahil untuk menghubunginya.

“… kecuali kau mau menerima persyaratan dari ayah.”
Harapan Ana kembali melambung.
“Apa?” tanya Ana dengan semangat.
“Kamu tidak boleh menemuinya. Empat bulan lagi kamu akan kuliah, dan tidak akan bertemu dengannya lagi. Jadi, selesaikan semuanya dari sekarang,” tegas ayah.
“Ya, ayah. Aku janji.”
Apakah aku punya pilihan lain? pikir Ana.
“Ayah tahu kamu sudah dewasa.”
Ana tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.

Kini, tinggal satu bulan lagi. Ana belum juga mengatakan apa-apa pada Dicka. Dia masih bingung. Reaksi apa yang akan ditunjukkan Dicka nanti? Sedih atau justru tenang-tenang saja?
Mengapa aku berpikir dia akan sedih? Kami hanya teman biasa. Sebentar saja dia pasti sudah melupakanku, pikir Ana.
“Kamu mau ngomong apaan, sih?”
“Aku serius, Ka.”
“Iya. Lalu…”
“Aku akan pergi…”
“Aduh, mau pergi aja harus bilang-bilang. Jangan lupa oleh-olehnya, ya.”
Hati Ana menjadi bimbang. Katakan atau tidak? Dia tidak diberi kesempatan dua kali.

Setelah menghela napas, Ana berkata, “Ka, aku akan pergi sebulan lagi. Jadi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah itu.”
“Untuk apa?”
“Kuliah,” jawab Ana singkat.
Dicka terpana. Lalu, dia mengatakan, “Oh, selamat ya. Kamu akan jadi mahasiswi, dong. Kamu kan pintar, nggak kayak aku.”
Ana merasa sedih. Dicka juga. Akan tetapi, mereka tidak mau menampakkan perasaannya masing-masing dengan jujur.

“Aku nggak bermaksud…”
“Udah dulu, ya. Aku mau pergi,” kata Dicka. Dia tidak ingin Ana tahu bila dia sangat membutuhkannya. Selalu membutuhkan kehadiran Ana. Selalu! Selalu! Dan selalu! Saat ini, dia tidak tahan harus berhadapan dengan Ana lebih lama lagi.
“Tunggu…”
“Apa?”
“Nggak ada apa-apa.”
Biarlah perasaan cinta ini terpendam saja di dalam hatiku, batin Ana.
Sesampainya di rumah, Dicka menyalahkan dirinya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar Dicka bodoh. Mengapa aku nggak nyadar?” katanya sambil memukul-mukul kepalanya dengan tangan,” sudah banyak tanda yang ditunjukkan Ana. Apakah semuanya sudah terlambat sekarang?”
Dicka mengenang kembali pertemuan mereka yang aneh. Ana yang menolongnya sewaktu di warung, di arena balap. Dia jadi tersenyum-senyum sendiri.

Ana yang selalu menjaganya, memberinya semangat, dan selalu mendukungnya. Dia lah teman yang selalu ada di sisinya. Tidak seperti orang lain yang baru mengaku sebagai teman di saat suka saja.
Dicka masih ingat saat Ana pernah bilang, “Tuhan itu ada. Dia selalu berada di samping kita. Kita diberi kesehatan yang tak ternilai harganya. Banyak orang kaya yang sakit-sakitan, lho. Terus, buat apa harta mereka? Ka, kamu jangan merusak dirimu sendiri, ya. Buat apa? Nggak bakalan ada gunanya. Tindakanmu justru akan menyusahkan orang lain.”

Lalu, Ana menepuk bahunya pelan.
Saat ini, dia akan pergi dari kehidupan Dicka, mungkin untuk selamanya. Dia tidak tahu harus sedih atau tertawa. Ternyata, Tuhan memang senang mempermainkan dirinya. Bila Ana tidak ada, bagaimana dengannya?
“Apakah aku merasa senang bila dia pergi? Tidak.”
Entah sejak kapan, Dicka berhenti main cewek dan minum. Ana sudah memberi warna dalam hidupnya. Lalu, dia akan kehilangannya begitu saja?
Mengapa dia baru sadar, betapa berartinya seseorang ketika hampir kehilangan? Apakah itu cinta? Cinta yang tidak dipenuhi oleh nafsu.
Keesokan harinya, Dicka bergegas menemui Ana.
“Lho, kenapa matamu?”
“Ah, nggak apa-apa. Aku nggak bisa tidur semalaman.”
“Memangnya kamu sedang mikirin apa sampai nggak bisa tidur?”
“Mikirin kamu.”
“Hah?”
“Aku mencintaimu, An.”
“Tunggu! Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku benar-benar mencintaimu. Maukah kamu menjadi…”
Ana tentu saja terkejut setengah mati mendengarnya.
“Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba?”
“Jawabanmu?”
“Ka, kamu lagi demam, ya.”
“Jawabanmu?”
Ana sebenarnya ingin berkata ‘ya’, tetapi lagi-lagi perkataan ayahnya merasuk ke dalam pikirannya.
“Maaf… aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau juga mencintaiku?”
Jantung Ana sudah benar-benar copot dari tempatnya. Sejak kapan Dicka tahu? Sekarang, sudah tak ada gunanya berbohong.
“Ya, aku memang mencintaimu,” kata Ana dengan pahit.
“Lalu, masalahnya apa? Kita kan masih bisa bertemu saat kau pulang ke rumah.”
“… tapi, aku sudah berjanji pada ayah,” kata Ana, “bila ayah mau memberiku dua puluh enam juta…”
Ana terkejut sendiri. Apa yang sudah dikatakannya tadi? Namun, untunglah Dicka tak mungkin tahu soal itu.
“Jadi, kau yang… Katakan, An. Ngapain kamu melakukannya. Aku nggak butuh pertolonganmu.”
Dicka tampak sama kagetnya dengan Ana.

“Ka, aku takut. Aku sudah tak punya jalan lain. Aku tak mau kehilanganmu. Yah, setidaknya aku bisa melihatmu sampai hari ini,” kata Ana seraya mencoba untuk tersenyum, walau saat itu dia ingin menangis.
Sebenarnya, Dicka ingin memeluk Ana dan membisikkan kata-kata bahwa semua akan baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata dia hanya terpaku di tempatnya saja, hingga Ana berkata, “Besok aku akan berangkat.”
“Secepat itu?” tanya Dicka kaget.
“Ya, keberangkatanku dipercepat satu minggu.”
Hening.
Sesaat kemudian, “Jadi, lupakan aku.”
Ketika mengucapkanya, hati Ana seperti teriris sembilu. Rasanya pedih sekali.
“Ya, bila kau takdirku, suatu saat, entah kapan, entah dimana, kita akan bertemu lagi. Dan, aku nggak akan melupakanmu.”
Dicka benar-benar paham, dirinya tak mungkin pantas untuk Ana. Dia terlalu tinggi untuk digapai.
Ana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya mengatakan bahwa Dicka ada di dekatnya, sedang memandangnya.
“Kamu lihat apa? Cepat naik!”
“Ya, ayah.”
“An, ayo!” seru ibunya.
Ana bergegas menuju ke dalam mobil. Sekali lagi, diedarkan pandangannya. Tiba-tiba, matanya terpaku pada sosok seseorang yang sedang berdiri di balik rimbunnya pepohonan.

Dicka sedang memandang ke arah mobil… seakan ingin menembus kaca mobil yang gelap untuk memandang Ana. Dan, Ana ingin sekali berlari menghampirinya, tetapi saat itu mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah.

Maafkan aku, dirimu akan selalu tersimpan di hatiku, batin Ana… setelah yang kita alami bersama.
Sepeninggalan Ana, hidup Dicka menjadi kacau dan hampa. Diacuhkannya saja teman-temannya yang mengajakanya balapan. Dia tidak menginginkan apapun. Dia hanya ingin bersama Ana. Senyumnya, tatapan matanya, suaranya, semuanya. Mengapa dia merasa tersiksa begini?
Ya, dia memang harus mengakhiri semuanya.

Saat membuka mata, Dicka sudah berada di rumah sakit. Dan, ayahnya sedang terkantuk-kantuk di sampingnya. Menunggunya? Lalu, sejak kapan ayah pulang? Dan, mengapa dia tidak ingat sama sekali apa yang menimpanya. Dicka termenung sendirian. Rasanya, dia seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang.

“Dasar anak tidak tahu diri. Bagaimana kalau Ayah tidak pulang tadi!” teriak ayahnya.
“Pak, harap tenang,” kata salah seorang perawat.
“Maaf,” jawab Ayah, tanpa mengurangi volume suaranya.
“Emangnya aku kenapa?” tanya Dicka bingung.
“Seharusnya Ayah yang tanya. Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Lihat tanganmu,” jawab Ayah dengan jengkel.
Dan, ketika melihat perban di tangannya, Dicka kembali mengingat semuaya. Semua masalah yang bertumpuk di pikirannya, hingga dia memutuskan untuk…
“Ngapain Ayah nolong Dicka segala?” protesnya, “aku ingin mati saja. Aku sudah terlalu lelah…”
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dicka.
“Ayah…”
Ayahnya sudah tak mempedulikan lagi pandangan kaget di sekeliling mereka.
“Tapi, bukankah ayah lebih senang jika aku menghilang selamanya?”
“Dicka, hanya kamu satu-satunya milik ayah di dunia. Bagaimana ayah bisa hidup tanpamu? Ayah sangat menyayangimu,” kata Ayah sambil memegang tangan Dicka yang gemetar.
“Tapi, bukankah selama ini…”
“Sssst… sudahlah, nak. Masalah itu jangan diungkit-diungkit lagi,” kata ayahnya lembut.

Sejak kapan terakhir kali Ayah memanggilnya dengan sebutan ‘nak’? Dicka sudah tak mengingatnya lagi.
“Ayah akui bila selama ini ayah yang salah karena telah mengacuhkanmu. Ayahmu ini gagal. Maaf, nak. Ayah membiarkanmu tumbuh sendirian.”
“Ya! Ayah memang keterlaluan, mau menang sendiri…!”
Dicka tidak jadi meneruskan kata-katanya ketika dia melihat ayah memandangnya dengan tatapan kosong.

“Ayah?”
Tiba-tiba Ayah berkata, “Bila melihatmu, ayah selalu merasa sedang berhadapan dengan perempuan itu.” Dan, Dicka melihat ada rasa sakit di mata ayah.
“Siapa? Ibu?” tanya Dicka.
“Jangan menyebut-nyebut namanya lagi.”
Dicka langsung terdiam tak berkomentar.
Kemudian, katanya, “Ayah tidak berharap banyak bila kamu mau memaafkan ayah. Kamu sudah terlalu banyak disakiti.”
Dicka merasa bimbang. Di satu sisi, dia benar-benar ingin memaafkan ayahnya, tetapi dia masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menghajarnya tanpa belas kasihan.
Namun, tiba-tiba dia teringat dengan perkataan Ana.


“Maafkan Dicka juga, Yah. Selama ini aku nggak pernah membuat Ayah merasa bangga.”
Ya, harus ada kesempatan kedua bagi kita berdua, batin Dicka. Dan, mereka tersenyum. Senyuman yang penuh kelegaan.

Memang tak ada pelukan hangat. Namun, saat itulah Dicka merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Dia tahu… salah satu kebahagiaannya telah kembali. Ayah menyayanginya, mengkhawatirkannya.

“Ayah, aku akan mencoba untuk berubah.”
“Ya, ayah juga.”
Sejak saat itu, Ayah sungguh-sungguh membuktikan ucapannya. Begitu juga dengan Dicka. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.

Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana


Adakah Bahagia Untukku? (Part 5)

“Selamat ya…”
“Terima kasih. Tanpa dukungan kalian, saya tidak akan dapat berada di sini,” jawab Dicka sambil menyalami orang-orang yang mengelilingi dirinya.


“Kamu memang hebat…”
“Kalau boleh tahu, kemenangan ini kau persembahkan untuk siapa?” tanya wartawan sebuah koran lokal.


Sambil tersenyum, dia menjawab, “Untuk Ayah yang selalu mendukungku dan seseorang yang selalu ada di hatiku.”
“Siapa dia?” desak wartawan itu.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya.”
“Satu pertanyaan lagi!”
“Ya?”
“Bagaimana perasaan Anda ketika menjadi juara dalam perlombaan tahun ini?”
“Tentu saja saya merasa senang sekali. Sekarang, impian saya telah menjadi kenyataan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.”


Arena balap masih berteriak-teriak menggaungkan namanya. Namun, Dicka seakan sudah tenggelam ke dalam dunianya. Di antara gemuruh para penonton yang memadati arena, dia merasa sangat kesepian. Senyuman yang selalu dia sunggingkan selama ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan.


Sejak hari itu…, dia tidak dapat tersenyum sama seperti dulu. Gadis yang selalu diharapkannya setiap malam, mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam hidupnya. Ya, dia sudah pergi.
Satu minggu sebelumnya…
“An, tahu nggak? Dia tuh cakep banget, keren, cool…”
“Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?” tanya Ana tidak mengerti.
“Nih, lihat sendiri,” jawab Leni, teman satu kosnya, menyodorkan sebuah koran lokal ke tangannya, “tapi, kamu nggak boleh ikut-ikutan ngefans lho sama dia. Dia sudah menjadi milikku.”


“Aduh, Leni. Nggak pernah kenal juga…”
“Makanya, minggu depan aku ingin mengajakmu untuk menemuinya. Yah, setidaknya aku bisa foto bareng dengan dia. Lalu, fotonya akan kupajang di kamarku, dan aku bisa memimpikannya setiap malam.”
“Ngaco.”
“Biarin. Terserah aku, dong.”
“Len, belum apa-apa juga…”
“Biarin.”


“Untuk menemui artis kan harus bikin janji dulu. Nah, mana mungkin mereka ngijinin kamu nyelonong seenaknya?” protes Ana.
“Lho, siapa bilang dia artis?”
“Jadi…” kata Ana sambil terus membolak-balik koran itu. Akhirnya, dia menyerah, “Halaman berapa, Len?”
“Kayaknya sih, fotonya tadi ada di halaman 7. Cari lagi yang teliti, dong.”
“Iya, iya. Trus, kamu tadi mau ngomong apa?”
“Oh ya, hampir lupa. Dia tuh bukan artis, tapi seorang pembalap.”
Hampir terlepas koran yang dipegang Ana karena terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar kata itu, sejak…
“Ka, seandainya aku dapat bertemu denganmu,” gumam Ana.
“An, kamu ngomong apa barusan? Aku kok nggak denger.”


“Oh, nggak ada apa-apa, kok,” jawab Ana berbohong, “Aku balik ke kamar dulu, ya,”
“Kok, tiba-tiba…” kata Leni bingung.
Lebih bingung lagi ketika dia melihat air yang menggenang di pelupuk mata Ana.
“Apakah aku sudah berkata sesuatu yang menyakiti hatinya?” tanya Leni tidak mengerti, “entar, deh.”


Leni pun ikut berangsur pergi, meninggalkan begitu saja korannya yang terbuka…
Dicka Hermawan S, pendatang baru berbakat yang ikut meramaikan ketatnya persaingan dalam dunia balap, berhasil menggenggam gelar juara tahun ini. Yang perlu dicatat adalah dia telah mencapai garis finish pertama sebanyak delapan kali dari tiga belas kali pertandingan. Dia seakan tidak dapat dibendung oleh lawan-lawannya. Sungguh suatu prestasi yang menkjubkan…
“An, kamu kenapa kemarin?”
Ana hanya diam saja.
“Kamu sakit?”
Ana menggeleng.
“Apa aku berbuat sesuatu yang salah padamu?”
Ana menggeleng lagi.


“Lalu, ada apa sampai kamu nangis segala?”
Deg! Hampir copot jantung Ana mendengar kata-kata Leni.
Ternyata Leni melihatnya kemarin, batin Ana.
“Kalau lagi ada masalah, bilang saja ke aku. Jangan dipendam sendirian. Bisa stres, lho.”
“Oh, aku baik-baik saja, kok. Cuma…”
“Cuma…” kata Leni menirukan ucapan Ana.
“Nggak. Cuma pusing sedikit, tapi sudah sembuh. Tenang saja.”


Namun, Leni tidak bisa semudah itu mempercayai kata-kata Ana.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres, entah apa. Ana sedang menyembunyikan sesuatu dariku, pikir Leni.


Tapi, Leni tidak memaksa Ana untuk menceritakan ‘sesuatu’ itu padanya, karena dia yakin bila suatu saat nanti Ana sendiri yang akan mengatakan yang sesungguhnya.
Akhirnya, minggu berikutnya, Ana sudah ada di arena balap. Dia tidak bisa menolak ketika Leni ngotot… Bukan! Leni memaksanya untuk ikut.
“Ayolah, An. Daripada hari ini nggak ada kegiatan, mending kita nonton. Pasti seru.”
“Tahu darimana kalau balapan itu seru?”
“Ya, dari mana-mana, lah.”
“Nggak.”
“Kok, gitu… Masa sama temen sendiri tega, sih?”
“Terserah aku, dong.”
“Ayo, dong,” rajuk Leni.
“Kenapa nggak nonton bareng pacarmu? Daripada denganku?”
“Pacar yang mana?”
“Itu, yang namanya…”
“Oh, Andi.”
“Ya, betul. Andi.”


“Dia sih sudah aku putus sebulan yang lalu.”
“Apa? Baru dua bulan pacaran juga.”
“Nggak apa-apa, dong. Andi tuh orangnya kekanak-kanakan banget, nggak kayak si dia yang dewasa.”
“Oo… pangeran kesianganmu itu.”
“Jangan ngeledek, ya. Nanti nyesel, lho kalau nggak datang.”
“…”
“Ngomong-ngomong, aku kok nggak pernah liat kamu berduaan dengan cowok, sih?”
“Nggak pengen aja.”


“Kenapa? Mmm… pasti kamu sudah punya pacar, ya. Dimana dia sekarang?”
Ana menggeleng. Dan, saat itulah Leni melihat wajah Ana yang sendu. Padahal, tidak biasanya dia sedih seperti itu.
Dia paham dan segera mengalihkan pembicaraan.


“Pokoknya, kamu harus ikut. Nanti, kutraktir bakso di warungnya Pak Paijo.”
“Nggak usah, aku mau di kos saja.”
“Oke, ini cara terakhir. Kalau kamu nggak bisa jawab pertanyaanku, kamu harus pergi. Gampang, kok.”
“…”
“Katakan sama aku, alasanmu nggak pengen pergi. Itu aja.”
Dan, pertanyaan itulah yang tidak bisa dijawab Ana.
“Jawab atau ikut.” Leni memberikan dua pilihan yang sama sulitnya.
“Aku ikut, deh,” jawab Ana akhirnya. Lemas.
“Mengapa kamu nggak mau jawab? Aku tahu. Soalnya, pacarmu yang entah ngilang kemana itu, juga seorang pembalap. Betul nggak yang aku bilang?”
Sebenarnya, Ana tahu jika Leni mengatakannya setengah bercanda, tetapi itulah. Yang dikatakannya… benar. Dan, dia tidak ingin mengatakan masalahnya pada Leni. Tidak untuk sekarang.


“Kalau mau berangkat, sekarang aja, yuk,” kata Ana sambil berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyergap hatinya.
Dan, di sinilah dia berada. Di arena balap yang sebenarnya ingin dia hindari, karena selalu mengingatkan dia pada kenangan-kenangannya yang berharga, sekaligus seringkali membuatnya… merasa hampa.
Tiba-tiba, Leni mengagetkannya.


“An, tahu nggak? Pertandingan kali ini merupakan pertandingan yang terakhir. Makanya, aku ngotot banget pengen lihat.”
“Lalu?”
“Tahu aja, kamu. Sebenarnya, aku hanya ingin melihat pangeranku. Ketika aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Apa itu namanya? Aku kayak ngalamin love in the first sight.”
“Tunggu dulu. Jadi, sebelumnya kamu sudah pernah ke sini?”
“… Iya, sih. Sa… sama Andi.”
“Oo… ketahuan sekarang. Kamu mutusin dia gara-gara pangeran antah berantahmu itu.”
“Kamu ngerti juga akhirnya.”
“Kamu ngapain sih, Len. Cinta kok dibuat mainan.”


“Lho, kita hidup di dunia ini kan hanya sekali. Sebisa mungkin, aku akan menikmatinya. Nggak kayak kamu yang nungguin si dia terus. Eh, sampai jambul uwanen bisa-bisa kamu cuma bisa bengong doang.”
“Kamu ngeledek aku, ya. Mana kepalamu, kujitak biar tahu rasa.”
“Jangan, dong. Emangnya, kepalaku ini batok kelapa?”
Saat ini, Ana sungguh bersyukur mempunyai teman sebaik Leni. Leni yang selalu memandang dunia dengan positif. Leni yang selalu ceria, dan mampu menghiburnya dengan kata-katanya.
“Jangan bercanda melulu, ah. Sebentar lagi balapannya dimulai. Nanti, akan kutunjukkan yang mana pangeranku. Sabar aja,” kata Leni menoleh ke arah Ana. Dan, dia terkejut ketika melihat Ana justru sedang membaca majalah dengan santai.


“Apa-apaan, sih? Masa baca majalah di tempat seperti ini?”
Kemudian, Leni segera merebut majalah itu dari tangan Ana, dan segera memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan protes dari Ana, Leni berteriak kegirangan, “Itu tuh, An. Yang pake helm sama pakaian warna merah. Kyaaa…, dia emang top.”
“Ya… ya…, nggak teriak juga sudah kedengaran kok,” jawab Ana akhirnya ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Leni.
“Terus kenapa? Nggak ada yang istimewa dari dia.” Padahal, di dalam hati, Ana merasa penasaran juga. Cara dia ngebut…, cara dia mengendarai motornya, mirip dengan Dicka. Ah, tapi mana mungkin dia ada di sini, pikir Ana.


“Ya sudah, terserah kamu, deh kalau mau tetap setia sama pacarmu yang nggak ketahuan itu. Yang penting, kamu nanti harus menemani aku minta foto bareng dia.”
“Lho, kenapa ngajak aku? Kamu kan sudah dewasa.”
“Sudahlah. Ikut saja, jangan banyak protes.”
Ana menyerah, dan mengikuti Leni menuju ruangan ganti pemain.
Ketika tiba di sana, sudah banyak orang yang mengerumuni pembalap itu.
“An, kamu tunggu di sini, ya?”
“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi, kok.”
Ana melihat Leni dengan gesitnya ikut merengsek maju dan beberapa detik kemudian dia sudah tertutup oleh lautan manusia. Dia hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Ana kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Arena balap memang sudah tidak asing lagi baginya, tetapi tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok itu, yang mengisi hari-harinya dengan rasa yang tidak menentu. Kadang sedih, kadang bahagia. Dan, dia mengerti bila memang begitulah alur hidup mengalir.


Saat Leni pergi, kesedihan Ana kembali lagi. Dia merasa sendirian…
Entah sudah berapa lama dia menunggu, ketika akhirnya Leni berlari-lari kecil sambil berteriak memanggil-manggil namanya.
“Ana…, aku sudah mendapatkannya!”
Ana pun hanya tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Namun, tiba-tiba, dia merasa tangannya menegang. Ana terkejut melihat dia… Dia yang ada beberapa meter di belakang Leni. Dia yang selama ini muncul hanya sebagai bayangan.


Jantung Dicka seakan berhenti berdetak ketika dia mendengar nama Ana disebut-sebut. Mungkinkah dia Ana-nya?
Selama ini, namanya selalu menghantui kemanapun Dicka pergi. Dia pasti menoleh ketika ada seseorang yang dipanggil Ana. Namun, setelah itu dia pasti merasa kecewa. Mereka bukanlah Ana-nya. Mereka hanya orang-orang yang mempunyai nama yang sama dengan kekasih hatinya.


Kali ini pun sama. Dicka menoleh, dan mendapati dirinya hampir pingsan karena tidak percaya. Dia melihat Ana sedang menatapnya…
Tuhan, apakah aku sedang melihat fatamorgana? pikir Dicka. Namun, beberapa detik kemudian, dia yakin bahwa semua itu bukanlah ilusi semata. Sinar matanya masih sama seperti dulu, dan dia tak mungkin melupakannya.
Dicka segera berlari pergi. Ditinggalkan begitu saja para cewek yang tadi mengerumuninya. Juga, tak dihiraukannya teriakan protes dari mereka. Ya, Ana tidak boleh menghilang kembali dari kehidupannya.
Waktu seolah berhenti seketika. Mereka saling berpandangan. Lama. Tak ada satu pun kata-kata yang keluar. Namun, pandangan mata yang saling menatap rindu itu, sudah cukup untuk meyakinkan bahwa cinta di antara mereka belum sedikitpun berubah.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah sadar dari sihir yang seakan membius mereka…
“An…” kata Dicka, yang kemudian menggandeng tangan Ana dan mengajaknya pergi. Ana mengangguk. Dia lupa bila beberapa langkah di samping mereka, Leni menatap tidak mengerti. Ada sejuta perasaan yang memenuhi hatinya.


“Ayo, kita pulang. Aku nggak mau kamu kedinginan di sini,” kata Dicka.
“Tenang saja… kan ada kamu,” canda Ana. Di tangannya tergenggam sebuah benda yang selama ini hanya menjadi sepotong mimpi. Mereka pun tersenyum bersama, sebagai tanda bahwa mereka saling memahami.
Di kejauhan, ombak semakin sering menjilat-jilat pasir.


Dicka pun mengantar Ana pulang ke kosnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika melihat ayah Ana sudah berdiri menanti di depan pagar dengan gusar.


“Mengapa Ayah bisa tahu…,” batin Ana heran.
Tetapi, tiba-tiba dia sangat paham saat melihat pandangan mata Leni. Tatapan itu sudah mengatakan semuanya.
“An, ayo ikut Ayah!” paksa ayahnya, “Ayah harus mengatakan sesuatu pada kamu.”
“Tapi…”
Dicka yang masih ada di samping Ana pun akhirnya ikut berbicara.
“Om, maaf jika saya lancang. Saya mohon Om mau merestui hubungan kami. Kami saling mencintai.”
“Tidak bisa! Ana harus melanjutkan kuliahnya dulu. Lagipula, kamu tidak pantas berada di samping putriku.”
“Ayah!” protes Ana.
“Diam! Ayah pasti akan mencarikan seorang pria yang sejajar dengan keluarga kita!” Ayah Ana berteriak. Padahal, pada saat itu mereka sedang berada di pinggir jalan.


“An, kamu sudah berani melawan Ayah?”
Ana benar-benar bingung. Keputusan apa yang akan dia ambil? Ayah atau kekasihnya?
“Maaf…,” gumam Ana sambil menggandeng tangan Dicka, mengajaknya pergi.
“An… apa kamu yakin dengan keputusanmu?”
Ana mengangguk pelan. Air matanya menitik jatuh.


“Aku nggak apa-apa. Ayo!”
Kemudian, mereka segera pergi dari tempat kos Ana. Sampai-sampai Ayah Ana syok melihatnya. Beliau tidak akan pernah percaya jika putrinya yang lembut bisa menentang dirinya.
Setelah dapat mengatasi keterkejutannya, Ayah Ana segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mereka.
“Cepat! Jangan biarkan mereka lolos!” teriaknya.
“Ka, kita dikejar,” kata Ana, ketika dia melihat beberapa tangan kanan Ayahnya.
“Ya, aku tahu.”
Pada saat itu, jalanan sepi, sehingga Dicka pun menambah kecepatan motornya.
“Aku percaya padamu. Aku percaya kita akan bahagia,” gumam Ana.
Dicka tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya ke depan. Tiba-tiba, sebuah mobil memotong jalan. Dicka yang sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi segera mengerem. Namun, ternyata semuanya sudah terlambat.
Dicka merasa dirinya melayang ke udara sebelum membentur jalan. Sudah tak terbayangkan lagi bagaimana nyeri yang menyengat di sekujur tubuhnya. Namun, di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia masih mencari-cari sosok Ana. Di mana dia?


Matanya sudah semakin mengabur, ketika dia melihat Ana bersimbah darah, dan… dia tidak bergerak. Dicka seketika menjadi panik. Dengan menyeret-nyeret kakinya menahan sakit, Dicka menuju ke arah Ana.
“An, bangun! Aku ada di sini!” kata Dicka sambil mengguncang-guncang tubuh Ana.
Cringg…, sebuah cincin terjatuh dari tangan Ana.
Dari kejauhan Dicka mendengar orang-orang mulai berkerumun dan berteriak.
“Tapi, mereka meneriakkan apa?” tanya Dicka. Semua tampak bagaikan mimpi bagi dirinya. Apakah ini sebuah mimpi buruk? Tapi, mengapa dia tidak terbangun juga?
Suara ombak memecah karang seperti nyanyian pelantun rindu bagi mereka.
Dicka merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah benda yang tidak pernah terlepas dari dirinya, dan telah menjadi bagian dari hidupnya.


“Ini!” katanya pada Ana, “maaf kalo nggak ada pembungkusnya,”
Benda itu berkilauan ditempa mentari senja.
“Aku takut nggak sempat memberikannya padamu.”
Ann tersenyum. Manis sekali.
Dicka terbangun dengan jantung berdebar dengan kepala pening. Mengapa aku ada di sini? Bau rumah sakit ini sudah sangat dikenalnya.


Tiba-tiba, dia merasa telah kehilangan sesuatu. Dimana Ana? Hanya ada ayah di sampingnya.
“Yah, Ana dimana?” tanya Dicka gelisah, sambil mencengkeram lengan ayahnya.
Namun, ayahnya tidak menjawab. Beliau justru meletakkan tangannya di atas tangan Dicka dan tersenyum pilu. Dicka pun merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Ana… dimana dia? Dicka nggak membunuhnya, kan?”
“Semua ini bukan salahmu, nak. Semua bukan salahmu.”
Seketika, dunia Dicka menjadi runtuh.
“Ayah?”
Dicka pun menangis di dada Ayahnya.
“Sudahlah. Semua ini bukan salahmu,” jawab Ayah berusaha menenangkan anaknya.
Dicka sudah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Seseorang yang selalu mengisi lorong-lorong hatinya, kini sudah menghilang. Menghilang untuk selamanya. Menghilang, tanpa pernah bisa kembali. Ya, Ana sungguh tega meninggalkannya sendirian di sini, tak mengajaknya.


Hari ini… Dia sungguh tidak bisa menghadapi hari ini. Seharian, dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak menginginkan apapun. Para perawat sampai bingung dibuatnya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya, Dicka tetap merasa dirinya berdosa.


Seharusnya, Ana tidak perlu lari bersamanya. Seharusnya, Ana masih hidup hingga sekarang dan memiliki kebahagiaannya. Seharusnya, Ana masih bisa menikmati hari-harinya… Dan, semua ini karena dia. Dia lah yang telah membunuh Ana.


“Tuhan, ambil saja nyawa yang tidak berharga ini! Tapi, kembalikan Ana untukku. Mengapa Engkau justru memilih dia dan membuatku tersiksa seperti ini? Mengapa lagi-lagi aku harus kehilangan dirinya? Belum cukupkah jika Kau hanya mengambil Ibu dariku? Tuhan, aku tidak mengerti semua ini!”
Akhirnya, Dicka memutuskan untuk pergi ke rumah Ana, meskipun dia tahu kehadirannya nanti justru akan semakin menambah suasana menjadi kacau. Namun, dia tidak peduli. Dibunuh pun tidak apa-apa. Dicka hanya ingin melihat Ana untuk yang terakhir. Ana-nya yang cantik, baik, lembut…
Tak ada gunanya jika dia hanya berada di rumah sakit seperti ini dan merenungi kenangan-kenangannya bersama Ana, dan menangis… hingga air matanya mengering.
“Ana, apakah kau merasa kesepian berada di sana? Sungguh, aku ingin menemanimu.”
Ayah Ana menyambut kedatangan Dicka dengan histeris.


“Mau apa kamu ke sini? Pergi! Kamu yang telah membunuh putriku,” teriak Ayah Ana.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Namun, dia seolah sudah tidak merasakan apapun.


“Sabar, Pak!” kata seseorang sambil berusaha menenangkan Pak Budi.
“Lepaskan! Biarkan aku membunuhnya.”
“Sudahlah, Pak. Semua ini sudah merupakan suratan takdir. Bapak harus mengikhlaskan kepergian putri Bapak.”
“Apa? Suratan takdir? Bila cowok brengsek itu tidak mendekati putriku, semua tidak akan berakhir seperti ini!”
“Lepaskan!”
Saat itu, Dicka sudah tidak mendengar apapun.
“Aku datang, An. Aku ada di sini menemanimu. Mengapa kamu tidak terbangun juga? Bukankah kau juga mencintaiku?” bisik Dicka mencium kening Ana.
Orang-orang mulai berteriak. Tapi, Dicka sudah tidak mendengar apapun.


“Jangan, Pak! Apa yang akan Bapak lakukan?”
Akan tetapi, tidak ada orang yang berani mendekat. Pak Budi mengacung-ngacungkan pisau yang dibawanya ke hadapan orang-orang yang hadir. Dan, semua hanya bisa terpana… terdiam, ketika Pak Budi mendekati Dicka.
Ketika berbalik, Dicka merasakan ada sebuah benda dingin yang menembus perutnya. Dia melihat darah mengalir membasahi bajunya. Merah…
Semua terkejut menyaksikan kejadian itu. Tubuh Dicka roboh. Darah mengalir cepat menggenangi lantai yang berwarna putih.
“An, aku tahu saat ini pasti akan datang…”
Hingga akhir, Dicka tidak pernah mengerti rencana Tuhan untuknya, dan dia tersenyum.
Hari itu… hari yang tak terlupakan.


TAMAT


Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...