Cerpen Adakah Bahagia Untukku? (Part 2-3)


Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Dia berusaha menahan sakit yang menjalar, juga air matanya yang mati-matian ditahan agar tidak mengalir turun. Ayah tidak suka dengan anak yang cengeng. Lagipula, laki-laki tidak boleh mengeluarkan air mata.

“Yah, apa salah Dicka?”

“Masih berani bertanya apa salahmu, hah? Dasar anak keparat. Pergi saja sana ke neraka.”

Dicka hanya terdiam menedengar perkataan ayahnya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia sering bertanya-tanya apakah bagi ayah dia hanyalah seonggok sampah busuk yang harus dilempar ke tengah jalanan?”
“Pukul saja. Biar sekalian Dicka mati. Biar ayah tidak malu lagi punya anak seperti Dicka,” katanya sinis.

“Kamu… kamu sudah berani melawan ayah, ya!” gertak ayahnya sambil melayangkan tinjunya ke wajah Dicka.
Tubuh Dicka terjengkang menabrak kursi yang ada di belakangnya. Darah tampak meleleh di sudut bibirnya.

Dicka masih tersungkur di lantai yang dingin. Sedangkan ayahnya berdiri angkuh di hadapannya.


“Bangun!” suara ayah menggelegar di telinga Dicka. Detik berikutnya, ayah mencengkeram kerah bajunya dan menghujaninya dengan pukulan yang seakan tak pernah berhenti. 

Mengapa ayah tega melakukan ini semua kepadanya?
Setelah itu, Dicka merasakan matanya menjadi kabur. Dia tidak melihat benda-benda di sekitarnya dengan jelas. Lalu, semua menjadi gelap.


Dulu, dulu sekali…, mereka adalah kelaurga yang bahagia. Walaupun ayah adalah seorang tentara berpangkat rendah dan ibu hanya membuka warung di depan rumah, dia mendapat kasih sayang yang utuh. Hingga suatu hari… pertengkaran itu terjadi. 

Pertengkaran yang mengubah hidup Dicka. Menjadi suram. Gambaran tentang sebuah keluarga yang harmonis sudah menghilang.
Dicka mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka.


“Dasar wanita laknat! Berani-beraninya kau main mata dengan pria lain selama aku tidak ada di rumah,” ayah berteriak sambil menjambk rambut ibu. Ibu pun meronta lepas dari cengkeraman tangan ayah.


“Mana?” Mana janjimu dulu untuk membuatku bahagia?” ibu tidak kalah garang dari ayah.
Dicka memandang mereka berdua dengan ketakutan. Selama ini, dia tidak pernah melihat ayah dan ibunya saling mencaci maki. Dicka kecil, hanya tahu bila ibunya adalah seseorang yang lembut, tak pernah memarahinya dan ayah yang sayang padanya. Mengapa semuanya jadi begini?
“Aku sudah memberimu kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa? Rumah sempit dengan perabotannya yang dekil?”
Kali ini, ayah tidak menjawab.
“Sekarang, mau kamu apa?”
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari rumah sialan ini,” kata ibu sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam tas.


“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusanmu. Aku minta kau menceraikanku.”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Makan saja cinta itu. Aku tidak butuh!”
Ibu pergi dari rumah tanpa sekalipun menoleh ke arah Dicka. Padahal, dia berada di dekat situ.


“Ibu… Ibu jangan pergi,” kata Dicka perlahan sambil membuntuti ibunya sampai di depan rumah. Dia pun menarik-narik baju ibunya.
“Lepaskan!” hardik ibunya kasar, “sana tinggal sama ayah.”


Dicka memandang ibunya samapi dia benar-benar berlalu. Kini, dia menemukan kenyataan yang pahit. Ibu tak pernah menyayanginya. Ibu meninggalkannya di saat dia sangat membutuhkan belaian kasih sayang.
Lulu, dia menghampiri ayahnya yang sedang tertunduk di dalam kamar.


“Ayah, kenapa Ibu pergi?” tanya Dicka.
“Anak sialan! Pergi jauh-jauh dari Ayah!”
“Tapi…”
“Pergi!” bentak ayahnya lagi.


Dicka kecil memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi telah terjadi antara ayah dan ibunya. Yang dia tahu, saat itu ayahnya hanya ingin sendiri.


Sepeninggalan ibu, perangai ayah menjadi berubah. Dia suka marah-marah hanya karena alasan yang sepele. Dia tidak pernah menggendong Dicka lagi seperti dulu. Ayah membiarkannya tumbuh sendiri tanpa pernah memberi perhatian yang cukup. Tak jarang, ayah memukulnya sampai Dicka menangis ketakutan. Apalagi, bila dia menyebut-nyebut nama ibu, ayah akan semakin menambah keras pukulannya.


“Ibu sudah mati! Mati!” Ayah berteriak gusar, “ingat itu baik-baik,”
Dicka tidak berani membantah. Tidak hanya tubuhnya yang babak belur, tetapi juga prestasi di sekolahnya. Beberapa kali, dia dikeluarkan dari sekolah gara-gara berkelahi dengan murid lain. Guru-guru pun sampai kewalahan menghadapinya. Sewaktu SD, nilai akademik Dicka tidak bermasalah. Dia selalu menjadi juara kelas. Akan tetapi, bukankah dunia seringkali terasa tidak adil?


Mejelang usianya yang beranjak dewasa, Dicka pernah mengunjungi ibunya selama satu minggu. Namun, hanya kekecewaan yang dia temukan. Bukan pelukan sayang atau dekapan rindu.


Ibu tak pernah menganggapku hadir ke dunia, pikir Dicka getir.


Dia sama sekali tidak diacuhkan. Tidak pernah diperhatikan. Ibu tidak pernah sekalipun rindu kepadanya.


“Ibu, bolehkah aku memelukmu?” tanya Dicka. Namun, ibu hanya memandangnya dengan tatapan yang kosong, seolah dia adalah orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa. Seolah tidak ada ikatan di antara mereka berdua.


“Ibu, bolehlah aku memelukmu?” ulangnya. Berharap ibunya akan datang dan menggendongnya, mengucapkan kalimat yang selama ini terus dirindukannya, “ibu menyayangimu, nak.”
Akan tetapi, ibu berlalu begitu saja, tanpa berkata apa-apa.


“Ibu, apa salahku? Mengapa kau perlakukan aku seperti ini?” batin Dicka putus asa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan menjinjing tas kecil, dia berjalan terseok-seok tanpa semangat. Dia merasa kecil, terbuang, dan mungkin saja dibuang. Ketika menoleh, dia melihat ayah tirinya, suami ibunya yang baru, memandang kepergiannya dari depan pintu. Tak ada yang berbaik hati, walaupun hanya berpura-pura, untuk mengantarnya pulang.


Sesampai di rumah, ayah tenang-tenang saja menyambut kepulangannya. Ayah seakan tidak khawatir dia pergi kemana pun asal tidak menyusahkannya saja.


“Darimana?” tanya ayah sambil lalu.
Dengan takut-takut, Dicka menjawab, “Dari rumah ibu, yah.”


“Apa?” kata ayah dengan geram, “Apa katamu?”


Dicka hanya menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya.


“Dari… rumah ibu,” ulang Dicka pelan. Pelan sekali. Tetapi, Dicka tahu bila ayah mendengarnya.


Lalu, dunia seakan menjadi neraka bagi Dicka. Ayah mencengkeram pundaknya dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah warna menjadi merah.
“Ampun, yah…” kata Dicka memelas.
“Perempuan laknat seperti dia tak pantas menjadi ibumu.”
“Ya, Dicka berjanji nggak akan pernah menemui Ibu lagi.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dicka, menuruni pipinya. Kepalanya sakit sekali, samapai mau mati saja rasanya. Bahkan, dia sempat berdoa kepada Tuhan, yang kata orang-orang ada di atas sana, “Tuhan, ambil saja nyawaku ini. Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi.”


Namun, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan permohonannya. Dicka masih saja terbangun menatap dunia nyata.


“Bagus!” katanya pada Dicka. Lalu, ayah tersenyum sambil menyeringai. Seringai yang terasa menakutkan bagi Dicka. Ayah tidak pernah main-main dengan ancamannya.
Dicka berjalan tertatih-tatih menuju ke kamarnya, kalau bisa disebut sebagai kamar. Semuanya berantakan di sana sini dengan perabotan yang sudah tua. Meja, tempat tidur, almari tidak pernah diganti sejak dua puluh tahun yang lalu. Yang terbaru, hanyalah poster Maroon 5 yang baru dipasangnya tiga hari yang lalu.


“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Tiba-tiba, Dicka mendengar sebuah suara dan dia menjadi kaget.
“Apa?” katanya pelan. Entah pada siapa dia bertanya.


“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Suara itu kembali terdengar. Bulu kuduk Dicka sudah benar-benar meremang sekarang.
“Gantung dirimu pada seutas tali.”
“Minum alat pembasmi nyamuk.”
“Campur air dengan racun tikus.”
“Potong nadimu dengan pisau dapur.”
Suara itu terdengar berulang-ulang memenuhi isi kepala Dicka. Tidak mau berhenti, walaupun dia sudah menutup rapat-rapat telinganya.
“Mau kamu apa?” teriak Dicka dengan hati berdebar.


“Dicka kamu sudah terlalu lama menderita. Sudah saatnya kau mengakhiri semuanya. Kamu tahu? Keluargamu tidak pernah menyayangimu. Bahkan, mereka selalu meyalahkanmu walaupun kamu tidak berbuat kesalahan. Ayahmu memukulimu, padahal kamu hanya ingin membelanya saat teman-temanmu menjulukinya ‘si tukang mabuk’. Juga, ibumu yang tidak pernah mencintaimu, walaupun kau selalu berusaha menyenangkan hatinya.


“Tidak! Ayah dan ibu menyayangiku.”
Suara itu membantah, “Apa buktinya? Mereka justru menelantarkanmu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kesenangan pribadi. Dicka… kamu tidak berharga… tidak berharga… tidak berharga…”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”
“Ambillah pisau di meja dan potong nadimu.”
Seperti ada tenaga tak terlihat yang memaksanya untuk mengambil pisau itu. Dan, cress… darah pun muncrat kemana-mana.
Dicka terbangun dengan napas terengah-engah. Bajunya basah terkena keringat yang mengalir deras. Ya, ternyata dia telah bermimpi buruk, sangat buruk. Tanpa sadar, dia tertidur tadi.


Ketika keluar dari kamar, dia tidak melihat ayahnya. Badannya masih terasa sakit. Apalagi, jika nanti digunakan untuk mandi, dia pasti akan meringis menahan sakit. Ya! Selama ini, dia memang sering memancing kemarahan ayahnya. Tetapi, kali ini berbeda. Dia berkelahi bukan untuk pamer, dia benar-benar menggunakannya untuk kebenaran, kalau memang dia masih pantas untuk menyebutnya. Namun, ayah tidak sedikitpun percaya pada ucapannya.


Kebahagiaan tidak pernah lagi singgah di hatinya, hingga dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bahagia. Selama ini, dia hidup dengan menyimpan perasaan iri, marah, sedih, kecewa yang tidak pernah habis.


Saat ini, Dicka ada di depan rumah Ana, bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Lama, dia memandang sekeliling. Tak ada siapapun. Entahlah, ketika dia mengendarai motornya, dia ingin pergi ke sini.


“Dicka!” panggil seseorang. Dia pun segera menoleh dan melihat Ana sedang menatap heran kepadanya.
“Wajahmu kenapa? Berkelahi lagi?” tanya Ana khawatir, “ayo masuk!”
“Aku boleh masuk ke rumahmu?”
“Ya iyalah. Lagian ngapain kamu di situ dari tadi?”
Jadi, Ana sudah lama melihat aku, pikir Dicka.
Dalam sepuluh menit berikutnya, Ana mulai menasihatinya macam-macam sambil mengoleskan antiseptik. Intinya, Ana menyuruh Dicka supaya tidak berkelahi lagi sampai babak belur seperti ini.


“Jadi, siapa yang memukulmu?” tanya Ana akhirnya.


Sebenarnya, Dicka tidak ingin mengatakannya, tetapi Ana terus saja mendesak. Dia pun menyerah dan menjawab singkat, “Ayah.”
“Hah?” kata Ana terlonjak kaget, “jadi, semua ini gara-gara aku?”


“Iya, makanya aku jadi begini. Gara-gara ngebelain kamu,” kata Dicka terus terang. Namun, kemudian dia segera menyambung, “nggak apa-apa. Sudah biasa! Lagipula, tindakanku benar, kok.”
“Sudah biasa apanya?”
“Sudah biasa dipukul,” kata Dicka. Ana samapi merasa heran, Dicka mengucapkannya dengan enteng sekali.


“Mengapa kamu peduli padaku?”
“Yah, anggap saja sebagai balas budi. Aku nggak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan untukku. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Kamu mau berteman dengan orang seperti aku?” Dicka sempat menyangsikan ucapan Ana.


“Emangnya ada apa denganmu?”
“Aku beritahu, ya. Aku itu kasar, jelek, suka berantem, kebut-kebutan…”
“Kalau memang begitu, apa salahnya? Aku percaya kamu bisa berubah jika kau mau.”

Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana


Adakah Bahagia Untukku? (Part 3)

“Apa pedulimu pada nyawaku? Aku nggak berhutang apapun padamu,” katanya, seolah meremehkan cewek yang ada di depannya.
“Dicka!” Ada sekelumit rasa jengkel di hati Ann, “tunggu dulu!”


Dia pun berlari menghampiri Dicka yang duduk di atas sepeda motornya, bersiap untuk pergi.
Setelah mengatur napasnya yang terengah-engah, Ana berkata, “Ka, kamu jangan ikut balapan lagi, ya. Kamu bisa benar-benar…”
“Benar-benar apa?”
“Benar-benar mati.” Namun, kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.


“Alah, jangan sok nasihatin aku, deh. Belagu amat. Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan anak baru kemarin sore yang lagi belajar jalan.”
Mereka terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Dicka untuk menghentikan kegiatan yang menurutnya sungguh… gila.


Memang, setahu Ana, Dicka tidak pernah mau dinasihati oleh siapapun, termasuk ayahnya sendiri. Entah terbuat dari apa kepalanya itu. Mungkin dari batu sungai yang minta ampun kerasnya itu.


“Tapi…” Ana mencoba sekali lagi.
“Udah deh, nggak usah ngurusin aku segala. Kagak ada untungnya. Sana pergi!” usir Dicka kasar.


“Kamu nggak boleh…”
Dan, saat itu Dicka sudah ngeloyor pergi, menyisakan kepulan debu yang menyesakkan Ana sampai dia terbatuk-batuk. Dicka jelek, pikir Ana dengan perasaan yang tidak menentu.


“Nanti sore, ada balapan di Lapangan Joyokusumo. Kamu ikut nggak?” tanya Iwan, teman Dicka.
“Jam berapa?” Dicka balik bertanya.
“Jam 3 sore. Ikut?”
“Ya, pastilah,” sahutnya optimis.
“Oke, kalu gitu aku duluan.”
“Lho, ngapain buru-buru?”
“Biasalah, ada urusan sedikit. Nanti juga beres begitu aku datang.”
“Sombong!” komentar Dicka.


Iwan tersenyum dan meninggalkan warung dengan tenang.


Dicka kembali meneruskan makannya. Sejak dari pagi, dia belum memasukkan apapun ke mulutnya, kecuali… tentu saja air putih. Hanya air putih.


Dia sudah menghabiskan dua porsi besar makan piring nasi, ketika dia sadar bila ada sesuatu yang tidak beres. Dia tidak membawa uang sama sekali, sudah diberikannya pada Iwan untuk pendaftaran perlombaan nanti sore.


Bagaimana ini? pikir Dicka panik. Nggak mungkin kan, dia menyelinap keluar begitu saja. Bisa digebukin massa sampai babak belur. Memang orang sekarang cenderung lebih emosional, termasuk dia sendiri. Yah, dia pun tak malu mengakuinya.


Lagipula, harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Mau ditaruh di mana mukanya. Dia kan pembalap nomor satu di kota ini. Untunglah, akhirnya dia menemukan satu cara.


“Kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Ana.
“Untuk apa?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu dari kerja paksa. Uang sakuku untuk dua hari habis gara-gara kamu.”
“Sebulan yang lalu, aku juga menyelamatkan hidupku.”
Ana merasa mendapatkan pukulan telak. Dia tidak bisa membalas ucapan Dicka, karena semua yang dikatakannya benar. Tiba-tiba, dia merasa sedih.


“Kenapa kamu diam?” tanya Dicka heran. Tidak biasanya Ana yang cerewet dan sok ini menjadi kehilangan kata-kata.
“Jadi… jadi, kamu minta imbalan?” kata Ana dengan suara tertahan, “kalau nggak mau, dulu kau nggak perlu menolong aku.”
“Hah? Apa?” Dicka menatap Ana dengan wajah tidak mengerti.
“Ya, aku memang berhutang budi padamu,” kata Ana serak, “apa yang kamu inginkan dariku?”
Dicka baru mengerti sekarang, dan kemudian dia tertawa sampai perutnya terasa sakit. Ana memandang Dicka bertanya-tanya.


“Sori, aku nggak ngira kamu sampai berpikiran seperti itu,” kata Dicka setelah tawanya reda.
“Nggak lucu!” Ana cemberut menahan marah. Dia pun berbalik membelakangi Dicka.
“An, aku nggak pernah berpikir kamu berhutang padaku. Aku sudah senang kamu mau berteman denganku, yah… yang bisa dibilang urakan, nakal, nggak bener, berandalan…” sahut Dicka, “Terima kasih kamu masih memperhatikanku,”
“Kamu bukan cowok seperti itu,” jawab Ana kembali berbalik menghadapi Dicka dengan wajah serius.
“Ha… ha… ha… kamu ketipu. Dasar cewek, gampang banget dikibulin. Aku tadi cuma bercanda.”


Perasaan Ana menjadi bercampur aduk tak karuan. Dia tidak ingin tangisannya pecah di depan cowok brengsek ini.
Dicka segera mengalihkan pembicaraan.
“Nanti nonton, jam tiga. Lapangan Joyokusumo. Aku ada di sana. Biasalah!”
Ana benar-benar ingin mencegah. Namun, dia takut, jika dia berbicara, air matanya akan mengalir keluar. Dan, dia tidak mau hal itu terjadi.


Ana menunggu beberapa saat hingga emosinya mereda.
“Kamu masih…”
“Sudah ya, nanti kalau aku menang, uangmu aku ganti deh. Jangan khawatir.”
Selalu begitu. Dicka selalu meninggalkan Ana sendirian.
“Ka, aku nggak mikirin soal uang itu, tapi yang aku khawatirkan itu kamu. Kamu, Ka. Mengapa kamu tak pernah mengerti?” pikir Ana.
Jadi, mau tak mau, Ana harus ikut pergi menonton. Sejak pagi tadi, perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada cowok itu. Namun, tiba-tiba Ana sendiri merasa heran. Mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan Dicka. Apakah… dia sedang jatuh cinta? Pada Dicka? Pada sosok tampannya? Atau, pada tubuhnya yang atletis? Ah, mustahil. Masih banyak cowok selain dirinya. Hingga kepalanya menjadi pusing, dia tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan.


Kini, Ana berada di tengah-tengah gemuruh suara penonton yang memadati area luar stadion. Sebenarnya, dia sudah ingin cepat-cepat keluar dari sana, tetapi dia menahan hatinya sekuat mungkin. Ya, dia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Dicka baik-baik saja.


Ana mencari sosoknya di antara para pembalap. Setelah beberapa menit, dia menemukan Dicka yang sedang bersiap-siap mengendarai sepeda motornya. Untuk sesaat, Ana merasa lega. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Jantungnya kembali berdebar kencang saat perlombaan dimulai. Semua motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ana bahkan merem melek beberapa kali.
Baru saja menghela napas lega, Ana dikejutkan adanya sebuah motor yang oleng karena diserempet motor lain. Pembalap itu terpelanting jatuh beberapa meter dari tempat kecelakaan. Begitu juga dengan motornya yang ringsek di beberapa bagian, karena menggesek jalan, sehingga menimbulkan percikan api.


Mengerikan. Besok, aku nggak mau nonton balapan kayak gini lagi, pikir Ana. Apalagi, pembalap itu jatuh hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri.


Dan, kemudian dia melihat helm itu. Motor itu. Tidak salah lagi, gumam Ana berulang-ulang.
Tanpa berpikir panjang, Ana segera melompat menuju pembalap itu.


Pasti dia bukan Dicka, Ana berharap-harap cemas. Ini hanyalah mimpi buruk. Lalu, dia memanjatkan doa. Tak dipedulikannya, penonton yang sempat memandang heran kepadanya. Mungkin mereka berpikir ‘cewek apaan, sih?’ Menerjang masuk ke arena? Tapi, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan siapa yang berada di balik helm itu.


Ana membukanya dengan sangat hati-hati. Dan, mimpinya buyar seketika. Dia melihat dengan jelas… wajah Dicka yang pucat tak sadarkan diri.


Paramedis datang beberapa saat kemudian. Dicka dibawa ke rumah sakit dengan ambulan. Ana bersikeras untuk ikut. Hanya dia yang kenal dengan Dicka.


Beberapa jam setelah mendapat perawatan, Dicka akhirnya sadar. Dia kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Apalagi, dia merasa ada seseorang di sampingnya. Tapi, siapa? Ayahnya kan sedang tugas ke luar Jawa.


Ana beringsut bangun dan melihat Dicka sedang menatapnya dengan pandangan heran.
“Ngapain aku ada di sini? Lho, ini dimana?” Dia tidak paham untuk beberapa saat. Badannya terasa sakit semua.


“Tapi, menurut dokter kamu nggak ngalamin gegar otak, kok. Masa mereka salah mendiagnosa?” pikir Ana.
“Ana, kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Aku kan baik-baik saja.”
“Huf, untunglah kamu masih kenal aku.”
Ana bernapas lega.
“Dengar ya. Tadi, dokter bilang tiga tulang rusuk sama kakimu patah.”
“Hah, apa?” tanya Dicka tak percaya.
“Lihat saja sendiri gimana keadaanmu,” jawab Ann sambil menyerahkan sebuah cermin kepadanya.


“Aku sudah kayak mumi gini,” komentar Dicka sambil meringis kesakitan.
“Rasain. Salah sendiri pake ngebut segala. Aku kan sudah bilang…”
“Jadi, ceritanya aku nggak bisa naik motor, nih?”
Ana memandang Dicka dengan rasa kasihan. Dia tahu arena balap adalah hidupnya, dunianya. Dan, dia tak bisa memungkirinya.
“Nggak, kok. Cuma dua bulan.”
“Selama itu?”
“Gara-gara kamu sendiri yang ceroboh. Coba siapa yang repot, kan aku.”
“Oh ya, ngapain kamu ada di sini?”
Dicka bego. Masa nggak pernah ngerti juga? batin Ana.
“Yah, daripada di rumah. Nggak ada orang. Pergi semua,” kata Ana berusaha menutupi kesedihannya.
Dicka ber-o panjang. Dia memang sudah mendengar bahwa kedua orangtua Ana adalah usahawan yang sukses. Jarang ada di rumah.
“Nih, sudah kubelikan nasi goreng dua bungkus. Selera makanmu nggak mungkin berkurang. Lagipula, makanan di rumah sakit, kamu tahu kan?”
“Makasih banyak. Seandainya kamu itu pacarku, aku tentu akan merasa sangat bahagia,” kata Dicka.


Jantung Ana berdebar kencang, sampai-sampai dia takut bila Dicka mendengarnya.
”Aku ngomong apaan, sih? Sori, aku ngrepotin kamu terus. Aku juga nggak bisa ganti uang kamu,” kata Dicka lagi. Kesombongan yang ditunjukkan Dicka selama ini sudah menguap entah kemana.


“Ah, nggak masalah. Aku sudah senang kamu nggak bisa naik motor lagi. He… he… he…”
Dicka merengut pura-pura kesal. Padahal, di dalam hatinya, dia merasa… bahagia. Ada seseorang yang memperhatikannya. Ah, dia benar-benar beruntung bisa bertemu dengan Ana.


Selama seminggu, Dicka berada di rumah sakit. Setiap hari, sepulang sekolah, Ana menjenguknya dengan membawa buah-buahan ataupun makanan.


Dia cewek yang baik, pikir Dicka, dan aku cowok yang buruk. Mana pernah ada kecocokan?
Saat ini, Dicka sedang kebingungan. Dia jelas-jelas tidak mempunyai uang untuk membayar biaya perawatannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ana pasti mau menolongnya, tetapi selama ini dia sudah cukup membuatnya repot.


Dicka termenung sendirian di tempat tidur. Lusa adalah hari kepulangannya. Bagaimana ini? Dia pun kemudian memutuskan untuk bangun darn berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan gugup, Dicka bertanya ke bagian administrasi.


“Mbak, biaya perawatan saya berapa, ya?”
“Maaf, nama mas siapa?” tanya salah seorang perawat sopan.


“Dicka Hermawan S dari kamar 307.”
“Sebentar,” kata perawat itu sambil mengecek dari dalam komputernya.


Dicka menunggu dengan cemas, lebih cemas daripada menanti hasil ujiannya beberapa tahun yang lalu. Dan, akhirnya perawat itu berkata, “Oh, semua sudah lunas.”
Dicka menghela napas sesaat, tetapi hanya sekejap.


“Mbak nggak bohong?” tanya Dicka untuk meyakinkan bahwa telinganya masih normal.
“Anda menginginkan struk kopinya?”
“Ya,” jawabnya cepat sekali.


Lalu, dia pun melihat struk itu, dan terbengong tak percaya. Nominal yang tertera di sana hingga puluhan juta, tepatnya dua puluh lima juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah. Wuih, Dicka sampai keder membayangkannya.
Siapa yang telah menolongku? pikir Dicka, apakah Ana? Ah, nggak mungkin Ana mempunyai uang sebanyak itu.


Dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan justru semakin menambah pusing kepalanya. Ah, dipikir nanti saja!
Sudah hampir tiga bulan berlalu. Dicka merasa benar-benar pulih dari kecelakaan sialan itu. Dia sudah tidak sabar untuk kembali berada di tengah-tengah arena balap. Namun, sebersit pikiran tiba-tiba melintas di benaknya, mengganggu jalan pikirannya. Ana melarangnya ikut.


Dia diurus belakangan aja, deh, batin Dicka. Memang, kecintaannya pada dunia Rossi ini sudah mencapai taraf yang kronis. Sulit untuk disembuhkan. Ana pun tidak akan bisa membujuknya!
“Permisi,” kata Ann. Dia sedang berada di depan rumah Dicka sambil menjinjing keranjang buah. Pintunya setengah terbuka, tetapi kok seperti tidak ada orang.


Tiba-tiba, saat hendak beranjak pergi, Ana mendengar suara Dicka, “Tunggu sebentar!”
Ana pun lalu dipersilakan masuk.
“Ada apa, An?” tanya Dicka.


“Nih, untuk kamu,” kata Ana menyodorkan keranjang di tangannya. Pada saat itulah, dia merasakan tangan Dicka yang menegang.
“Kamu tidak apa-apa?” Ana melihat keringat dingin mengalir turun dari dahi Dicka.
“Ayahmu ada di rumah?” tanya Ana.
Tiba-tiba, dari sebuah kamar terdengar suara seorag wanita.


“Siapa itu di luar, sayang?” katanya mesra.
Ana terperanjat kaget. Sesaat, dia merasa sudah tidak menginjak tanah, melayang entah kemana. Pikirannya menjadi kacau. Dia sangat… sangat syok, seperti terkena serangan jantung.


“Eh, oh, aku mengganggu, ya?” ujar Ana, setelah dia mati-matian memaksa keluar suaranya.
Dicka terdiam. Wajahnya pun ikut-ikutan menjadi pucat.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” tambah Ana sambil melangkah keluar.
“An, tunggu…,” kata Dicka tersendat-sendat.
Ana menoleh. Tapi, lagi-lagi Dicka merasa mulutnya terkunci rapat. Dia tidak tahu apa yang mesti dijelaskannya pada Ana.
Akhirnya, Ana berkata, “Apapun yang kamu lakukan, itu nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan pacarmu apalagi ayahmu. Aku nggak berhak melarang apa yang kamu lakukan. Kamu sudah dewasa, kan? Bisa nentuin mana yang bener mana yang salah. Tapi, aku tetap percaya pada kamu, kok. Bukanlah suatu dusta bila kau telah menolongku, memperlakukanku dengan baik. Dan, aku sangat menghargainya.”
“Maaf…,” jawab Dicka lirih. Namun, kemudian dia sendiri merasa heran mengapa dia meminta maaf. Dia nggak salah, kok.
Apakah benar dia tidak bersalah?
Sepeninggalan Ana, Dicka merenung. Lama sekali. Ternyata, apa yang dikatakan Ana memang benar, pikirnya.


Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia pun berjanji nggak akan pernah melakukan hal… hal yang bodoh, hina seperti itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Dicka pun segera mengusir wanita itu pergi.
Pada saat sendiri seperti saat ini, dia tidak bisa melupakan pandangan Ana tadi. Bukan pandangan jijik! Bukan! Dia yakin itu.
Pandangan itu, pandangan Ana… begitu kecewa… sakit… terluka. Seumur hidup, Dicka tidak ingin melihatnya lagi. Entah mengapa, saat membayangkan kejadian itu, hatinya seperti selalu tersayat-sayat pisau. Pedih sekali.


“Gampang sekali! Aksimu memang top!” kata Iwan.
“Siapa dulu, dong!” jawab Randi sombong, “nggasak motornya si Dicka tuh kayak nggecek semut. Langsung keok waktu kuhantam dari belakang. Biar sekalian mampus.”
“Thanks ya, bro. Uangnya cukup, kan?”
“Ya, nggak ada masalah. Dengan begini, kamu bisa jadi juara tanpa ada penghalang.”
“Toast untuk kita berdua,” kata Iwan. Kemudian, mereka mengangkat gelas tinggi-tinggi dan membenturkannya di udara.
Di tempat duduknya, Dicka merasa sangat geram. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun. Tanpa sengaja, dia mendengar percakapan mereka. Rasanya, ingin sekali dia membunuh para cecunguk itu. Mejanya hanya beberapa langkah dari mereka. Namun, banyak orang berada di restoran itu. Tindakannya pasti akan sangat mencolok. Polisi pun… dia tidak mau membicarakannya. Apalagi, saat ini Ana berada di hadapannya yang bersikeras untuk ikut. Untuk pesta kesembuhannya, kata Ana tadi.


“Ka, tenang. Jangan berbuat macam-macam,” kata Ana. Ternyata, dia juga mendengar pembicaraan mereka.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Ana.
Ana memang benar-benar mengerti dirinya. Dia seperti merasa mempunyai seseorang yang selalu menjaganya, tak pernah meninggalkannya… sesulit apapun situasinya. Dan, entah mengapa dia ingin hal ini berlangsung selamanya.


Dicka mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Melewati mobil, menyalip truk dan bus. Sebenarnya, Ana merasa takut, tetapi dia diam saja dan memejamkan mata menahan ngeri. Batas antara kehidupan dan kematian itu begitu tipis. Kalau saja kecelakaan…, dia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkannya. Sebab, dia tahu bila suasana hati Dicka sedang tidak enak.


Akhirnya, Ana bisa bernapas lega juga. Dicka akhirnya menghentikan motornya. Ketika membuka mata, Ana melihat sebuah taman kota yang indah. Bunga-bunga bermekaran di tepinya, dan daun-daun berguguran, ditambah lagi ada angin yang berhembus perlahan. Tempat yang romantis, batinnya. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh. Mana mungkin Dicka berpikiran sama dengan dirinya?


Saat ini, mereka sedang duduk di sebuah bangku yang bercat putih.
“Lihat saja! Akan kubalas mereka, nanti!” seru Dicka sambil mengepalkan tinjunya. Ternyata, dia masih dongkol dengan kejadian tadi. Ana sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
“Lalu, kamu mau apa?” tanya Ana lirih, hampir tak terdengar.
“Aku? Aku akan menghajar mereka sampai babak belur dan tidak bisa terbangun sampai setengah tahun,” jawab Dicka. Pikirannya saat ini memang penuh nafsu untuk membalas dendam.


“Setelah memberi pelajaran pada mereka, apa yang kamu dapat? Tak ada,” jelas Ana.
Dicka termenung. Dalam hati, dia membenarkan kata-kata Ana. Dengan berbuat begitu, dia justru akan menyusahkan banyak orang, termasuk Ana dan ayahnya. Namun, akan dikemanakan harga dirinya jika dia membiarkan cecunguk-cecunguk itu bebas melenggang pergi.
“Ah, persetan dengan harga diri. Sudah sejak lama aku tidak punya harga diri,” putus Dicka akhirnya.


“Kau benar, An. Nggak ada gunanya aku nantang mereka.”
“Sudahlah, anggap saja kecelakaan itu peringatan Tuhan padamu.”
“Tuhan?”
“Ya.”
“Tak pernah ada Tuhan dalam hidupku.”
Ana bertanya-tanya dalam hati mengapa Dicka berkata seperti itu. Dan, ternyata dia tidak perlu lama menunggu jawaban keluar dari mulut Dicka.
“Dulu, setiap hari, ketika aku masih kecil, aku selalu berdoa supaya Tuhan membawa ibu kembali pulang ke rumah, pulang ke sisiku. Aku menunggu… dan terus menunggu, hingga aku merasa sangat lelah. Tapi, Tuhan tetap tidak mau mendengar doaku. Akhirnya, aku memutuskan bila aku membenci-Nya.
Peristiwa itu memang telah berlangsung lama, tetapi masih membekas di dalam ingatan Dicka, sampai sekarang.
Aku yakin, suatu saat Tuhan pasti akan mendengarkanmu, batin Ana.
“Ayo, kita jalan-jalan saja,” ajak Ana. Dan, tanpa sadar dia memegang tangan Dicka.
“Hei… jangan tarik-tarik tanganku, dong. Kamu kan bukan anak kecil lagi.”
“Oh, sori,” jawab Ana sambil cepat-cepat melepaskan tangan Dicka.
Mereka pun berjalan-jalan di sekitar taman.
“Hei, kita kok kayak orang yang lagi pacaran?” Dicka hanya bermaksud bercanda, tetapi Ann tiba-tiba menjadi gugup. Tangannya terasa membeku, dingin sekali. Bahkan, dia sudah tidak sanggup menimpali kata-kata Dicka. Hanya kata ‘oh’, ‘ah’ yang keluar. Namun, Dicka sama sekali tidak menyadarinya.
Setelah puas melihat-lihat, melihat apanya? batin Ana, lha sebagian besar yang mereka lihat adalah orang yang sedang berpacaran.
“Ayo pulang,” kata Dicka mengagetkan Ana.
Dicka menggandeng tangan Ana. Ana yang terkejut segera melepaskan tangannya.
“Ups, sori. Nggak sadar. Suasananya mendukung banget, sih. Lagipula, sudah kebiasaan,” ujar Dicka meminta maaf.
“Sudah kebiasaan?” tanya Ana bingung.
“Gini lho. Cewek-cewek itu sukanya nempel terus sama aku. Aku cakep, sih. Biasanya, mereka mau aja kugandeng, terus…”
“Sudah! Sudah! Dasar cowok narsis,” sela Ana. Dia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Dicka.
“Ha… ha… ha…, nggak ada hubungannya, ya,” kata Dicka sambil tertawa. Kemarahannya tadi sudah menguap entah kemana.
Ana mempercepat langkahnya, meninggalkan Dicka yang masih bengong tidak mengerti.
“Eh, An. Tunggu!” kata Dicka setelah tersadar dari lamunanannya.
Akhirnya, dia berhasil juga mensejajari langkah Ana. Tiba-tiba, Dicka berkata, “Tapi, kamu itu beda banget. Nggak kayak cewek lain yang gampangan.”
Mau nggak mau, hati Ana berdebar mendegarnya. Aduh, mengapa jantungku hari ini terus-terusan kaget, sih? batin Ana.
Bila dapat mengatakan perasaannya dengan jujur, sesungguhnya dia mencintai Dicka. Kalau nggak, ngapain juga selama ini dia selalu membelanya, menolongnya. Ah, cinta memang kadang sungguh aneh. Mengapa dia bisa mengagumi cowok yang hobinya cuma kebut-kebutan, berkelahi nggak ada kapok-kapoknya. Namun, dia tidak pernah mendapat jawaban yang logis.

Dicka tidak pernah tahu, bila Ana menahan hatinya habis-habisan walau itu sangatlah menyiksa. Dia tidak ingin Dicka menganggap bahwa dia telah menodai persahabatan mereka. Sahabat? Ya, mereka hanya sekedar sahabat. Tidak lebih.

Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...