Cerpen Aki No Yuu Hi Ni (matahari Terbenam di Musim Gugur)


Ryu masih diam di tempatnya. Tidak bergerak, tidak juga berkata bahkan bergumam. Bukannya ia bisu ataupun apa, tapi memang nyatanya ia tengah berpura-pura menjadi patung sekarang. Bibirnya mengerucut kesal, dan matanya tak melirik kemana pun selain ke lengannya. Ada warna merah keunguan disana, lebam akibat tangan dingin ayahnya yang juga terasa kasar.

Hendak menangis? Ya, mungkin.
Lihat saja mata bocah lelaki itu yang sudah memerah, rasa panas pun menjalar di sekeliling matanya seakan memaksa cairan bening itu untuk meluncur. Kini kepalanya mendongak menatap awan-awan yang bergerak perlahan di atas kolam rawa yang ada di halaman rumahnya.

“rssh” ringisnya pelan, ketika tangan kirinya berusaha menekan lebam itu.

Sudah biasa ia seperti ini. Ayahnya memang keras dalam berdisiplin. Sekali ia salah, telat, melenceng ataupun berlaku bodoh, tak segan-segan tangan kasar itu mendarat sempurna di tubuhnya.

Ryu menangis sekarang, sesenggukan dengan wajah kesalnya yang bercampur sedih. Lucu dan manis. Menggemaskan sekali bocah berumur 8 tahun itu.

Angin, sesaat berhembus lembut mengoyak air mata Ryu yang mengalir deras dan berjatuhan dari dagu mungilnya. Ia biarkan sehembusan itu mengeringkan linangannya dengan lembut, sementara dirinya menikmati suasana sejuk di teras rumahnya dengan matahari yang mulai beranjak menurun.

“kau. tidak boleh tidur di dalam! Ini selimutmu!” sahut sebuah suara berat tiba-tiba dari arah pintu.

Ryu menoleh cepat. Tangan kecilnya mencoba mengusap kasar air mata yang belum kering sepenuhnya itu. Ia kenal suara itu dan ia tak boleh ketahuan menangis di hadapan pemilik suara itu.

Ah, benar. Ayahnya kini tengah berdiri gagah tak jauh darinya di ambang pintu. Mata elangnya tampak jelas tengah menatap tajam ke arahnya kini. Dengan bibirnya yang membentuk seringaian membunuh, Ryu tau ini akan menjadi skak mat untuk dirinya hari ini. Bola mata bocah itu sekilas melirik ke teras dekat ayahnya berada, selimut putih tebal miliknya sudah tergeletak disana tak beraturan.

“ma maksud otou~san (ayah)?” Bibir cherry mungil itu akhirnya terbuka. Meski bergetar, tapi setidaknya Ryu berhasil mengalahkan ketakukan yang mencekik lehernya.

Ayahnya berkacak pinggang. “Kau tidak boleh tidur
di dalam rumah selama seminggu ini! Itu hukumanmu! Dan satu lagi, ayah tak akan menggubris perkataanmu selama itu juga. Ingat itu!”

Hah, sepertinya itu adalah vonis terakhir untuk Ryu, dan Ryu tau itu tak bisa diganggu gugat lagi.
Ia hanya bisa memandangi punggung ayahnya itu yang kini habis tertelan lubang pintu dan lenyap.

Hari ini Ryu melakukan kesalahan. Ia tau seharusnya ia tak melakukan hal itu, karena inilah yang akan didapat. Hukuman.

Meski begitu, Ryu masih saja sempat menertawakan kesalahannya itu. Ia tertawa kecil ketika mengingatnya. Izin untuk berlatih atletik, malah pergi bermain bersama temannya karena ternyata latihan libur hari ini. Ayahnya yang hendak pulang setelah mengikuti acara pertemuan dengan para orang tua setiap musim gugur (keiro no hi) mengetahui Ryu tengah bermain dan jadilah ia seperti ini.

Mata jinaknya sayu tersapu segaris sinar senja yang lurus seolah menusuk retinanya. Ia menghela nafasnya perlahan. Keindahan senja di Desa Shiragawa tak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan untuk bocah yang tengah di hukum, matahari terbenam mampu menjadi hiburan kecil untuknya.

Ryu menarik kedua sudut bibirnya ketika semburat emas di sudut langit perlahan mulai berjalan memenuhi lembaran biru yang terbentang. Angin musim gugur mulai terasa dingin mengecup tiap centi kulit Ryu yang putih pucat.

“Haaiii… Ryu~chan!!” teriak seorang teman Ryu yang tengah kejar-kejaran bersama teman lainnya di kejauhan sana. “Ayooo!! Mainlah… kemari!!” ajaknya kemudian.

Ryu memandang teman-temannya samar. Ia tersenyum pahit, dan menggelengkan kepalanya pelan sebagai penolakan halus atas ajakan temannya itu. Suaranya yang lembut seperti seruling penggembala, bersenandung menyanyikan lagu momiji.

Aki no yuu hi ni (Matahari terbenam di musim gugur)
Teru yama momiji (Daun-daun momiji menyinari gunung)
Koi mo usui mo (Ada yang tebal ada yang tipis)
Kazu aru naka ni (Dalam keaneka ragamannya)
Matsu o irodouru (Menghiasi pohon pinus)
Kaede ya tsuta wa (Maple dan ivy)
Yama no fumoto no (Di kaki gunung)
Suso moyou (Membentuk pola yang indah)
Tani no nagare ni (Pada aliran sungai kecil)
Chiri uuku momiji (Mengapung daun- daun momiji)
Nami ni yurarete (Bergoyang bersama riak sungai)
Hanarete yotte (Bergerak menjauh)
Aka ya kiiro no (Warna merah dan kuning)
Iro samazama ni (Beraneka warna)
Mizu no ue ni mo (Di atas air pun)
Oru nishiki (Seperti tenunan brokat)

Senandung Ryu terdengar sangat halus, layaknya tekstur ilalang. Bersama dengan irama Ryu yang kini tak lagi terdengar, lilin pijar raksasa itu pun tertelan pijakan.

Cerpen Karangan: Nika Lusiyana
Facebook: Haruka yuzu
Hanya seorang bocah sederhana ~`^^

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...