Cerpen Bias Cahaia


Kawan, jika kau berkunjung ke pulau Madura, maka singgahlah barangkali sebentar ke kampungku, Pasongsongan namanya. Sebuah kampung yang dulunya indah dan dikenal dengan kampung nelayannya. Disini, kau akan disuguhi pemandangan yang berbeda dari biasanya, dan mungkin hal itu juga terjadi di kampung-kampung lain selain kampungku ini. Sketsa kampung yang identitasnya mulai terkikis oleh budaya luar yang perlahan merambat, menjadi racun yang kemudian menggerogoti keaslian kampungku.

Dan jika kau benar-benar memperhatikan kampungku kini, maka kau tidak akan akrab lagi dengan perpetakan sawah yang berjejer rapi, pohon-pohon rindang, juga suara bising orkestra malam; bunyi jangkrik, katak, juga dedaunan bakau yang serempak bergemuruh saat angin malam melambaikan sentuhan dingin tentang kelembutan. Di kampungku kini, kau hanya akan menemui desingan suara mesin pabrik yang tanpa henti menggema di seantero kampung.

Kampung multi peradaban, begitulah aku biasa menamai kampungku kini, sebagai refleksi atas keindahan yang telah terkikis habis oleh budaya antah berantah, membuat pemuda-pemudi lebih memilih menenteng handphone kesana-kemari, dari pada menenteng mukena dan sajadah di setiap petang menghinggapi hari.

Masjid-masjid kosong, musholla-musholla pun sepi dari riak alunan suara merdu lantunan ayat-ayat suci. Tidak seperti dulu saat kampung gegap gempita oleh lantunan tahlil, tahmid, juga takbir yang serempak dilantunkan oleh orang-orang kampung. Kini, musholla kampungku hanya berpenghuni lansia-lansia tua yang tetap menjujung tinggi agama di antara halayak yang tidak begitu peduli lagi pada agama.

Pun ketika malam menghinggapi kampungku, kau tidak akan lagi mendapatkan anak-anak kecil bermain riang di antara bias cahaya rembulan, sembari menyanyikan lagu ole-olang di antara debur ombak yang berpapasan. Karena sejak enam tahun lalu, orang tua mereka serempak membantai rembulan dengan pijitan sakelar, membuat mereka lebih senang tertawa riang di antara gemerlap glamour acara-acara yang disuguhkan pada mereka lewat tayangan televisi.
Padahal waktu aku kecil dulu, cahaya terang bernama listrik belum memasuki kampungku, dan hampir setiap malam mendiang ayah selalu mengajakku menikmati indahnya perbani rembulan, mengajariku tentang beban kehidupan yang terus saja bertambah seiring dengan alur kehidupan yang semakin menunjukkan kedewasaan. Tak jarang ayah menatapku lekat kemudian memberiku wejangan-wejangan tentang kehidupan yang saat itu hanya kuanggap sebagai ilusi.

'Nak, Nabi kita ini merupakan makhluk paling mulia yang pernah ada, sehingga ketika Nabi berhijarah dari Mekah ke Madinah, masyarakat menyambut hangat kedatangan Nabi dengan nyanyian-nyanyian sanjungan yaitu meyerupakan nabi dengan rembulan'. Ayah berucap pelan lalu mengelus rambutku dengan penuh ketulusan.
'Mengapa Nabi di umpamakan rembulan, Yah?' aku berucap lugu sembari menatap rembulan yang mendekati sempurna.
'Karena dengan adanya Nabi, kehidupan umat manusia yang asalnya buram, menjadi terang dengan agama dan petunjuk yang beliau ajarkan. Sama halnya dengan rembulan yang bercahaya ketika malam yang begitu pekat datang, maka sepantasnyalah bagi kita umat islam untuk bersyukur atas lahirnya Nabi ke dunia ini.' Ayah menjelaskan.
'Dan ayah akan selalu berdoa agar kelak dirimu seperti rembulan yang terus saja bersinar di antara kegelapan malam.' Begitu kerap kali mendiang Ayah memberiku wejangan dulu, di setiap kali ayah melihatku terkantuk lelah.
'Tapi mengapa Ayah? Ketika aku telah besar kini, wejangan yang Ayah sampaikan padaku dulu, tidak semudah yang ayah ucapkan, karena tidak ada yang mudah saat ini, Ayah. Meski rembulan selalu saja bercahaya, semakin hari, orang yang peduli pada rembulanku terus saja berkurang, bahkan tak satu pun, tak satu pun, Ayah…!!!' Ingin sekali aku mengadu begitu pada Ayah, namun aku tahu sungguh tak mungkin, sebab Ayah berada di tempat yang jauh, teramat jauh dari gepaian tangan, dari jerit tenakan kerinduan.

Sobat, jika banyak orang menganggap masyarakat Madura begitu sangat dengan parang dan celuritnya, maka lain halnya dengan masyarakat kampungku dulu yang terkenal dengan masyarakat yang menjunjung tinggi kelembutan dan kekompakan. Dan ketika bulan maulid tiba, lihatlah laut pada malam hari sebelum tanggal 11 Hijriyah, kau akan melihat banyak lentera yang menyala, karena di setiap bulan maulid, warga yang berprofesi nelayan, terbiasa pergi ngoncor (melaut pada malam hari).

Dan saat maulid akbar tiba, penduduk kampungku dulu berbondong ke Masjid di antara temaram rembulan, hendak merayakan maulid nabi bersama deburan ombak yang seakan juga berbahagia menyambut datangnya bulan maulid. Sedangkan anak-anak kecil berjingkrak bahagia bermandikan cahaya rembulan sembari bersenandung ria dengan shalawat penuh makna.

Malam itu masjid kampungku bercahaya oleh lampu Petromaks milik Ayah. Tidak seperti biasanya, tidak seperti malam sebelumnya yang hanya menggunakan lampu teplok sebagai lentera, karena malam itu, malam yang luar biasa. Perayaan maulid akbar di kampungku.
'Assalamu'alikum Warahmatulluahi Wabarkatuhu.' Ayah beruluk salam, lalu terdengar jawaban dari orang-orang kampung serempak.
'Terimakasih pada bapak-bapak sekalian telah hadir dalam acara ini, alhamdulillah pada tahun ini kita dapat kembali merayakan perayaan yang Insya Allah penuh barokah ini dengan sehat wal 'Afiat. Dan mudah-mudahan acara semacam ini akan tetap dilestarikan pada masa-masa berikutnya dengan tetap menjaga cinta dan kebersamaan di antara kita, karena sangatlah mungkin jika kita tidak mempunyai cinta pada nabi, kebersamaan kita pun takkan indah seperti saat ini.' Ayah berucap khidmat.
'Mari kita mulai saja bapak-bapak.' Ayah berucap kemudian bertawassul dengan penuh kekhusyuan, lalu perlahan sholawat-sholawat mengalun begitu merdu menggema menjadi alunan rima-rima padu.
Sedang di luar masjid, pohon-pohon melambai indah di antara deburan ombak, seakan juga senang dan ikut merayakan dengan penuh kebahagiaan.

Bulan tak sepenuhnya tinggi saat aku berdiri termangu di ambang pintu masjid ini. Masjid tempat dulu orang-orang kampung berbahagia penuh cinta dan kebersamaan di antara mereka, saat perayaan maulid nabi tiba. Namun saat ini, setelah dua jam aku termangu sendiri di sini, tak satu pun orang kampung yang datang untuk bersama merayakan maulid nabi. Padahal, jauh sebelum malam ini, aku telah menghimbau pada seluruh penduduk desa, rumah demi rumah aku singgahi, namun nyatanya kini tak satu pun dari mereka yang hadir.

Aku kembali teringat wasiat mendiang Ayah sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir karena komplikasi penyakit yang ia derita. Sangat lekat di telingaku ketika Ayah berwasiat, 'Nak, mugkin ini merupakan akhir dari wejangan Ayah selama ini. Ayah sangat berharap padamu agar kau dapat menjaga dan memelopori kebersamaan orang kampung, terutama saat maulid nabi tiba. Dan apapun yang terjadi kelak, kau harus menjaga dengan sungguh-sungguh perayaan maulid nabi ini, karena maulid nabi merupakan media rasa cinta kita pada nabi kita, Nak…' Begitu pesan Ayah padaku dulu.

Aku menghela nafas, segalanya terasa berat untuk kujalani kini. Kembali kuedarkan pandangan, namun tetap hanya kekecewaan yang kudapatkan.

Aku membalikkan tubuh, mengambil kitab barzanji untuk kubaca sendiri tanpa satu pun orang yang menemani. Sejenak, aku bertawassul, hendak memulai membaca barzanji sendiri. Baru saja sholawat hendak kubaca saat terdengar sapa itu,
'Sobat, jangan mulai dulu. Kami juga ingin merayakan maulid ini bersama.'
'Ya, betul. Jangan karena kami terlambat, kau merayakan acara mulia ini sendiri.'
Dan ucapan itulah yang seketika membuat lidahku kelu, memaksaku menoleh ke asal suara. Di sana, di luar masjid, penduduk kampung menatapku dengan penuh harap. Seketika ada yang menetes dari mataku, bukti perasaan yang tak mampu kulukiskan dengan kata-kata.

Subhanallah, tak kuasa kubendung haru ini. Kini aku sadar, meski diriku tak serupa rembulan, namun cahayaku mampu menembus setiap celah, menerobos di atas hitam pekat malam, menjadikannya terang hingga kemudian hangat sunrise kembali datang.

'Terimakasih, Ayah. Ternyata masih ada yang peduli pada cahayaku, cahaya kita.' Ucapku dalam hati dalam lantunan tasbih yang terus saja menjadi.

*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.

Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad
Facebook: Fairuz Zakyal Ibad

Fairuz Zakyal 'Ibad, merupakan nama pena dari Ach. Fairuzzabadi.Seorang pengagum cahaya, rembulan, dan kesunyian.Lahir di sebuah desa kecil yang dikelilingi aliran sungai, Lengkong Bragung Guluk-Guluk Sumenep Madura.Mulai menulis sejak mengenyam bangku Madrasah Tsanawiyah di Raudlah Najiyah, Lengkong, dan tetap aktif menulis hingga kini. Lebih senang menikmati oretan pena sendiri di antara kesunyian dari pada mengirimkan ke berbagai media massa. Tengah bermukin di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan dan penggiat di Komunitas Cinta Nulis (KCN) sekaligus 'pengasuh' Komunitas Sastra Embun Pagi Raudlah Najiyah putri. kini tengah merampungkan buku kedua dengan judul, Tentang Kita, setelah buku pertama terbit dengan judul, Kesetiaan Purnama(2012)

bisa dihubungi di:
email: genangan.cahaya[-at-]gmail.com
fb: Fairuz Zakyal Ibad
hp: 081939455238

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...