Cerpen Cry For Love (Part 2)



Kulihat wajah mama yang terlihat panik. Kuhentikan mobil di depan mall.
“Mama!” seruku pada mama.
Melihatku datang, mama langsung berlari menuju mobil dan tanpa berkata langsung masuk ke dalam mobil.
“Cepat ke rumah sakit!” suara mama terdengar panik.
“Rumah sakit! Siapa yang sakit?” aku masih bingung dengan tingkah laku mama.
“Sudah jangan banyak bicara. Kita harus ke rumah sakit sekarang!” teriak mama untuk yang kedua kalinya.
Dengan cepat kuinjak pedal gas mobil dan melajukan mobil dengan cepat.

Begitu memasuki palataran parkir rumah sakit, mama langsung turun dari mobil dan memasuki rumah sakit dengan tergesa-gesa. Aku yang masih tak mengerti dengan apa yang terjadi, hanya mengekor di belakang mama dengan langkah yang cepat pula.
“Papa!” seru mama setelah mendapati suaminya tengah berdiri dengan cemas di ruang tunggu. “Bagaimana keadaannya?”
“Masih diperiksa dokter.” jawab papa yang tak seheboh mama.
“Ma, Pa. Apa yang terjadi? Siapa yang sakit? Kenapa kalian begitu panik?” tanyaku akhirnya yang tak bisa menahan rasa penasaranku.
Mama dan papa menatapku bersamaan, setelah itu saling menatap.
“Sayang,” papa mendekatiku dan memelukku. “Tadi pagi, kakakmu kecelakaan. Dan sekarang kami belum tahu bagaimana keadaannya.” ucap papa pelan yang hampir terdengar seperti bisikan.
Seketika, kurasakan sekujur tubuhku gemetar. Ada rasa sakit di dadaku. Yang membuat nafasku tercekat kuat hingga membuatku kesulitan bernafas.
Kulepaskan pelukan papa dan menghampiri kursi. Kujatuhkan pantatku di sana. Kakiku serasa tak kuat lagi untuk menopang berat tubuhku. Sebutir air hangat keluar dari kelopak mataku dan membasahi pipiku. Detik berikutnya, terdengar isak tangis yang menyakitkan.
Mama memeluk papa. Ia tak tahan melihatku bersedih dan menangis. Membiarkanku asyik dalam kesedihanku sendiri.

Dua jam kemudian…
Kakiku melangkah pelan memasuki ruang ICU. Sambil mataku berkaca-kaca, kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan itu. Hanya ada peralatan medis yang rumit dan sebuah ranjang berukuran sedang dan sesosok laki-laki yang terbaring tak berdaya di atasnya.
Diam tak bergerak. Bahkan tak membuka matanya sekalipun. Tak terdengar suaranya yang lembut saat menyapa. Hanya suara layar monitor yang mendefinisikan keadaan jantung si pasien.
Ada logam berat yang menjatuhi tubuhku. Membuatku sulit bergerak. Ada rasa tidak percaya saat melihatnya tergeletak tak berdaya di sana. Seperti ingin berlari menujunya sembari memeluk dan menyuruhnya untuk bangun.
‘Apa benar ini kau? Apa benar yang sakit ini kau? Apa benar yang tengah kulihat adalah kau?
Kenapa kau begini? Kenapa kau selalu membuatku terluka hingga membuatku menangis?’
Aku menatapnya, meyakinkan diriku bahwa yang tergeletak itu bukanlah dia tapi orang lain. Tapi semakin ku mencoba menyangkalnya, bayangannya semakin jelas dan nyata di mataku. Dan aku tak sanggup lagi untuk membendung air mataku.
“Maafkan aku. Aku tak bisa menahannya. Aku tak bisa jika tak menangis melihatmu seperti ini.” kurebahkan kepalaku di atas tangannya.
“Bagaimana dokter, keadaan anak saya?”
Sayup-sayup kudengar suara mama di luar ruangan yang tengah berbicara dengan dokter.
“Maaf. Kami belum sanggup mengambil kesimpulan. Karena sekarang ini, ia masih belum melewati keadaan kritisnya. Jadi kami harap, Bapak dan Ibu harus siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.”
“Papa! Mama, nggak mau kehilangan Dira. Dira nggak boleh meninggal.” histeris mama yang langsung dipeluk papa.
“Maafkan kami Bu, kami juga ingin menolong. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Hidup dan mati hanya di tangan-Nya. Dan kami hanya bisa berdoa atas kesembuhan Dira saja. Tapi satu hal yang perlu Bapak dan Ibu ketahui. Saudara Dira menderita jantung lemah. Dan kami tak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa menunggu keajaiban dengan menunggu donor jantung.”
Terdengar isakan mama yang semakin histeris.
Kuangkat kepalaku dan menatap lekat pada wajah yang lemah itu. Dengan selang oksigen di mulutnya semakin membuatku miris melihatnya.
“Kumohon, bangunlah. Demi Mamamu. Jangan biarkan dia menangis lagi untukmu, setelah kepergian suaminya. Penderitaannya sudah cukup banyak. Jadi bangunlah sekarang.”
“Lya!” seru papa.
Dengan enggan aku menoleh pada papa.
“Sekarang kamu ajak Mamamu pulang dulu. Sepertinya Mamamu butuh istirahat. Nanti kalau ada perkembangan dari kakakmu. Akan Papa beritahu.”
Aku bangkit dari kursi dan mendekati mama yang berdiri lemas dengan wajah pucat di samping papa.
“Tenang, Pa. Dira akan bangun. Dan saat itu, Lya akan di sampingnya.” Ucapku pelan saat berjalan melewati papa. Entah tidak mendengarnya atau tidak menghiraukannya, papa tak memanggilku.
“Sudahlah Ma, kita pulang dulu. Nanti kalau kak Dira bangun, Papa akan menelepon kita.” hiburku pada mama tiriku itu.

Kutatap lama pintu kamar Dira, setelah mengantarkan mama ke kamarnya dan tertidur karena kecapekan. Seharian ini mama terus menangis dan memanggil-manggil nama anak laki-lakinya.
Ada rasa sakit saat menatap pintu kamar bercat putih itu. Dengan menguatkan hatiku, kubuka pintu kamar Dira dan masuk ke dalamnya. Aksen maskulin yang pertama kudapat dari kamarnya. Desain kuning yang menjadi warna dominan menghiasi kamar itu menjadi ciri khasnya. Kuakui, ia terlalu pelit untuk mengijinkanku masuk ke kamarnya. Takut aku mengotori kamarnya, itu alasannya untuk melarangku masuk ke kamarnya. Tapi ia sendiri dengan bebasnya keluar masuk kamarku dari kecil hingga setelah dewasa ini.
Kuedarkan pandanganku menyapu isi kamar. Mencari-cari sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa. Pandanganku berhenti pada meja belajarnya. Mataku tertuju pada buku kuning yang hampir setebal buku agendaku. Kuraih buku kuning itu dan membukanya lembar demi lembar.
Halaman pertama yang kulihat adalah tulisan tangan Dira yang khas. Detik berikutnya, aku dikejutkan dengan isi buku itu.
6 Juli 2006
Aku tak bisa melihatmu bersedih. Ingin sekali aku memelukmu dan berkata ‘Jangan bersedih lagi. Aku akan selalu di sampingmu. Kalau perlu terus memelukmu sampai kau tertidur’.
15 Juli 2006
Besok aku akan pergi ke London. Sungguh, aku sangat takut jauh darimu.
01 Januari 2007
Baru sebentar aku sudah merindukanmu. Melihat cahaya kembang api mengingatkanku pada senyummu.
12 Desember 2010
Saat kuinjak kembali di sini, aku merasa sangat bahagia melihatmu menungguku. Ku ingin memelukmu saat melihatmu dari jauh. Ku tak ingin jauh darimu lagi. Aku ingin kau di sampingku.
Kuingin berlari memelukmu dan menghapus air matamu, tapi aku tak bisa. Aku tak bisa melakukannya. Karena aku terlalu takut untuk menerima kenyataan, bahwa aku tak mungkin memiliki rasa ini.
05 Januari 2011
Jangan marah. Kumohon jangan marah padaku. Aku tak bisa bila kau terus marah padaku dan menjauh dariku.
Dan aku terlalu pengecut untuk mengatakan bahwa aku sayang kamu. Dan aku selalu mencintaimu.
14 Februari 2011
Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak mencium bibirnya. Ada rasa aneh yang merasuk diriku. Seperti embun yang menetes di atas kepalaku. Rasanya menyejukan dan tenang. Andai ia bangun, sungguh aku akan mengatakannya bahwa aku sangat menyayanginya.
17 Maret 2011
Aku tak mungkin bisa untuk memilikinya. Bukan karena aku pengecut untuk mengatakan cinta padanya. Bukan juga karena aku tak bisa memiliki dirinya. Tapi karena hubunganku dengannya. Hubungan yang mengikatku dengannya telah menjadikan penghalang bagiku untuk bisa bersama dengannya.
Aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat mencintainya. Dan berharap bisa memilikinya. Ashilya Permata Aurora, aku sangat mencintaimu. Sangat mencintaimmu…
Kubekap mulutku dengan tangan kananku, sambil menahan isakku. Sedangkan tangan kiriku merasa gemetaran memegang buku berwarna kuning milik Dira.
“Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar rumah. Aku berlari sekuat mungkin untuk bisa cepat sampai di rumah sakit. Berlari dengan cepat. Aku merasa sebuah beban berat yang selama ini kurasakan telah lenyap begitu saja dengan sendirinya. Dan berganti menjadi sebuah rasa bahagia yang menyeruak di hatiku.
Aku tak tahu seberapa lama aku berlari untuk menemuinya. Yang ada di pikiranku adalah cepat-cepat menemuinya dan mengatakan aku juga mencintainya.

“Lya!” seru papa saat melihatku berlari sambil menangis menuju kamar ICU.
Papa bersama dokter langsung mengejarku ke ruang ICU.
Kubuka pintu ruang ICU dengan kasar. Tak peduli pada papan yang bertuliskan ‘HARAP TENANG’ di depan pintu masuk.
“Dira!” jeritku sambil menangis keras. Papa dan dokter Aditya berdiri diam dan menatapku di pintu. Kupeluk tubuh Dira yang tak berdaya dengan erat dan membasahi wajahnya dengan air mataku. “Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu. Kumohon bangunlah dan katakan pada mereka bahwa kau mencintaiku. Katakan pada mereka bahwa status kakak beradik kita tak bisa mematahkan impian kita untuk saling mencintai. Untuk menggapai kebahagiaan kita. Kumohon bangunlah.”
Kudengar suara monitor yang mengontrol denyut jantungnya berbunyi keras. Papa dan dokter pun terlihat kaget.
“Dia berhasil melewati masa kritisnya.” ucap dokter.
Aku tersenyum melihatnya. Ada sebutir air yang mengalir di pipinya. Yang membuatku semakin yakin bahwa ia mendengarku.
“Aku mencintaimu.” kataku dengan mendekatkan wajahku pada wajahnya. Kecupan lembut mendarat di bibir Dira yang tertidur tak berdaya.
“Sepertinya Dira mulai sadar.” kata dokter pada Nugroho, di luar ICU.
“Iya. Semoga ini menjadi awal yang baik.” sahut Nugroho sambil memandang pada luar jendela. Ada titik-titik gerimis tipis terlihat di luar. “Gerimis ini, Lya sangat menyukainya.” tukas Nugroho sembari tersenyum.
Bip! Bip! Bip
Suara ponsel Nugroho berbunyi. Ia pun mengambilnya dari dalam sakunya.
“Halo.”
“Selamat siang. Apa ini benar bapak Nugroho, ayah dari saudara Ashilya Permata Aurora?”
“Ya betul. Saya ayahnya. Ada apa?”
“Kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan bahwa putri bapak mengalami kecelakaan. Dan beliau meninggal di tempat.”
“Apa anda bilang?! Putri saya kecelakaan?! Itu tidak mungkin! Anda jangan mengada-ada! Bagaimana putri saya kecelakaan dan meninggal?! Sedangkan barusan saya melihatnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk kakaknya yang sakit.”
“Maafkan saya. Bukannya saya sedang membohongi Bapak. Tapi ini kenyataannya. Dan jenazahnya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.”
Wajah Nugroho langsung memucat. Ia langsung mematikan sambungan telepon dan mengintip ke jendela pintu kamar Dira. Seketika tubuhnya melorot ke lantai. Tangisnya pecah memenuhi lorong rumah sakit yang hingar bingar itu.
“Pak. Apa yang terjadi?!”
Nugroho tak menjawab pertanyaan dari dokter Aditya. Ia memeluk dokter Aditnya, berharap semua yang didengarnya barusan adalah mimpi. Tapi itu bukan mimpi. Kenyataan Lya mengalami kecelakaan dan meninggal itu memang benar. Saat ia mencoba meyakinkan dirinya untuk melihat apakah putrinya masih ada di kamar putranya, saat itulah kenyataan pahit menampar hatinya. Lya sudah tak ada lagi di kamar Dira. Jika pun putrinya keluar, maka ia dan dokter Aditya akan mengetahui. Karena saat itu, mereka tengah berdiri di samping kamar Dira dengan posisi pintu di sebelahnya.

Bersambung…


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...