Cerpen Konspirasi Is My Way and


     Rumah kecil dengan jendela dan daun pintu berwarna hijau itu masih saja terlihat seperti dua belas tahun yang lalu. Hanya sekarang ada tambahan teras beratapkan seng dan dipagari batako setengah badan. Di teras itu ada sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu namun sudah terlihat rapuh., di sana-sini di tambal sulam dengan papan kayu yang dipakukan untuk memperkuat kursi panjang itu. Entah daya apa yang membawa langkah kakiku meuju ke tempat ini. Di sebuah dusun yang berbatasan langsung dengan Kota Jogyakarta, di sebuah rumah kecil milik sahabatku. Dahulu kala dusun ini tak sepadat sekarang, di sepanjang jalan menuju kemari sudah banyak dibangun rumah rumah baru. Sawah yang dahulu membentang sampai ke jalan raya di utara dusun hanya tinggal antara dua petak saja yang utuh. Dan aku lihat ada juga mesjid baru yang megah di tengah-tengah permukiman yang dahulunya ladang tebu.

     Kumasuki pekarangan rumah sahabatku yang tiada pohon itu. Kubuka pintu teras dan lalu ku ketuk pintu rumah yang catnya masih sama seperti dulu, dan stiker yang tertempel di daun pintu itu juga masih ada seperti dulu walau warnanya sudah memudar. "Islam Is My Way" tulisan stiker itu, dengan gambar sebuah hati berwarna hijau yang sudah pudar warnanya. Sebanyak lima kali aku mengetuk pintu itu ber ulang-ulang, akan tetapi masih sepi tidak ada tanggapan. Yang ke enam sekarang, "kulonuwun......" sambil ku keraskan suaraku, barang kali penghuni rumah sedang ada urusaan di belakang sehingga tidak mendengar suaraku.

     Aku duduk di kursi panjang itu sambil berpikir apa semua orang pergi dan rumah itu sekarang kosong. Yang ku ingat semua anggota keluarga sahabatku ada lima orang, tiga bersaudara dan kedua orang tua. Kudengar kabar yang beredar kakak sahabatku sudah lama pergi merantau ke pulau Batam dan lalu di susul adik sahabatku yang juga turut kakaknya kerja di sebuah pabrik rakitan di Batam. Aku berdiri lalu mencoba untuk yang ketujuh kalinya mengetuk pintu rumah itu, tapi tak ada tanggapan juga. Aku duduk lagi, terasa rumah itu tak berpenghuni, sepi sekali. Aku merasa kecewa, nostalgia yang kuharapkan terjadi antara dua orang sahabat karib tidak menjadi kenyataan. Kebersamaan dan kekompakan yang dulu begitu kental terasa hambar sekarang, rumah itu tiada menyambut. Jauh-jauh kulangkahkan kakiku dari Ibu Kota terasa sia-sia. Sekarang aku hanya menemui rumah kosong tak berpenghuni.

     Padahal dalam perjalanan ke sini aku sudah merencanakan kunjugan-kunjungan ke tempat-tempat dimana sangat bersejarah bagi kami berdua. Utamanya ke sekolahan tempat dulu menuntut ilmu bersama, lalu ke rumah Guru Sejarah yang dulu sangat kami kagumi, dan ketempat-tempat yang meyimpan banyak rahasia kekonyolan. Sederhana memang tujuanku menemui sahabatku ini, selain bernostalgia juga saling bersapa kabar, melihat kondisi terakhir dan bercerita-cerita kemana saja dan apa saja yang masing masing kami lakukan selama ini. Namun semua tidak akan terjadi, karena pintu yang dahulu selalu terbuka walau di tinggal pergi, sekarang terkunci rapat-rapat.

     Aku bangkit dari dudukku hendak melangkah kembali ke Ibu Kota membawa sejuta kecewa. Kutinggalkan rumah sahabatku itu tanpa kutengok lagi, aku menuju pusat kota jogjakarta. Barang kali di sana aku akan mendapatkan penghiburan bagi hatiku yang kecewa. Aku hanya jalan kaki saja karena letak pusat kota tidak seberapa jauh hanya tiga kilometer saja. Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di perempatan kantor pos Besar Jogjakarta. Yang kutuju adalah arah pasar Beringharjo. Keadaan sudah sama sekali berubah, taman-taman tak terawat menghiasi kanan kiri sepanjang jalan Malioboro, hanya prilaku manusianya yang tak berubah. Membuang sampah di sembarang tempat, kencing di pojokan-pojokan bangunan dan memarkir kendaraan dengan sembarang.

     Dibandingkan dengan dua belas tahun yang lalu, kendaraan bermesin masih tidak sebanyak sekarang. Sekarang mobil-mobil sudah merajai jalanan kota yang sempit ini.

     Polusi bertambah banyak, dan gelandangan juga tak kulihat berkurang. Ah...apa kaitanya gelandangan dengan polusi, dalam hatiku bertanya. Tak ada, atau mungkin ada kaitan yang erat. Entahlah, dalam benakku tak dapat membayangkan apa-apa kecuali masa masa berteman dengan sahabatku itu. Kemanakah ia sekarang, apakah ia telah pindah ke Solo atau tepatnya Sukoharjo tempat asal bapaknya. Tetapi kenapa harus pindah mereka sekeluarga. Bukankah seperti ceritanya dahulu bahwa bapaknya tak punya lagi tanah warisan di Sukoharjo.

     Sedari tadi yang tersimpulkan dalam pikiranku adalah mereka sekeluarga telah pindah, tetapi pindah kemana. Bodohnya aku tidak bertanya kepada tetangga sebelah yang mingkin tahu kemana mereka pindah.

     Aku masuk ke pasar Beringharjo, hari libur begini ramai sesak oleh pengunjung tetapi kebanyakan wisatawan Domestik. Dari pintu depan di kanan kiri terliihat kerumunan orang sedang melihat-lihat barang dagangan yang di perjual belikann. Aku merasa tak sanggup menikmati suasana karena pasar ini terlalu ramai, aku kembali keluar lewat jalan tadi. Bagiku semua telah berubah dan tak ada suasana seperti dahulu, pasar ini juga tidak memberikkan rasa hangat seperti dahulu tetapi panas. Maksudku roh pasar ini terlalu komersil, seperti kerumunan orang yang saling buru memburu uang, tidak ada lagi dagelan antar pedagang malah barang kali saling bertengkar. Pedangangnya sudah melupakan tradisi, bahkan yang mereka perdagangkan bukan hasil tradisi sendiri, seperti kain-kain dari Cina dan lain-lain Merk Cina.

     Melewati pintu depan aku keluar, cepat langkahku mau menuju rumah sahabatku lagi. Untuk bertanya kepada tetangganya kemana mereka pindah. Keselatan lalu kebarat, pikiranku lebih cepat dari langkah kakiku. Namun dibelakangku berlari-lari seorang lelaki gondrong seperti Ahmad Albar mengejarku. Aku berhenti karena orang itu memanggil-manggil namaku..

     Mas....Mas.....Sasmito. Begitu ia memanggilku. Kurasa tak asing diingatanku seorang laki-laki kribo ini. Ah....siapa namanya, aku sering lupa soal nama tetapi wajah aku tak pernah lupa. Ia menghampiriku sambil melambatkan langkahnya.

     Sebentar Om...!, kataku. Beri waktu sedetik untuk mengingat nama Om...! laki laki kribo itu menahan senyumnya, lalu tertebaklah namanya. Om...Martono, apa kabar om?. Aku bertanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat denganya.

     Baik dik Sasmit, kemana saja kok tidak pernah ketahuan kabarnya dik? Apa sejak lulus langsung pergi merantau ke kota besar, atau malah ke luar negeri. Om Martono bertanya panjang lebar tentang kabarku, tentang pekerjaanku dan lain sebagainya. Aku lalu bertanya balik sama persis apa yang ditayakan Om Martono kepadaku.

     Duduk berdua di bangku taman kota bersama Om Martono, di sebelah Gedung Agung yang dahulu kala sejarah mengatakan tiga Negara berkantor di Gedung itu. Ialah Belanda, Jepang, dan Indonesia.

     Aku mengatakan pada Om Martono, bahwa rumah Heri terlihat kosong, bahwa aku telah disana hampir sejam lebih dan mengetuk pintu tujuh kali. Dan tadi waktu Om Martono memanggil-manggil di depan Pasar Beringharjo aku hendak ke tempat Heri lagi untuk bertanya kepada tetangganya kemana sahabatku itu pindah.

     Om Martono adalah tukang becak yang sering menginap di pangkalan becak milik Pak Boang yang tempatnya satu kampung dengan Sahabatku. Aku mengenal Om Martono ketika masih di bangku kelas tiga sekolah dasar, ketika beermain-main bersama Heri sahabatku. Om Martono tak segan-segan memberi boncengan keliling alun-alun kepada aku dan Heri. Sampai aku lulus sekolahpun Om Martono yang hidup menyendiri tanpa istri dan keluarga itu masih bersahabat dengan kami.

     Sas... apa kau tidak tahu kabar terakhir Heri? Om Martono berkata kepadaku dengan serius. Kemudian ia menyodorkan rokok tanpa filter kepadaku. Kuambil sebatang dan lalu kuhidupkan sambil mendengarkan cerita Om Martono tentang Sahabatku.

     Heri mungkin kualat Sas, katanya. Ia sudah berpindah halauan, katanya dengan serius sambil menyedot dalam rokok sigaret merah yang sudah panjang latunya.

     Om Martono bercerita bahwa Heri setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan di sebuah toko buku Islami, menjadi aneh tingkah lakunya. Jarang bergaul dengan tetangga dan enggan bergotong royong. Dan mulai mengenakan atribut seperti laki-laki arab dalam kesehariannya. Di mesjid ia selalu mendebat forum pengajian dan menyalahkan ajaran ajaran yang kental dengan nuansa budaya Jawa. Di kampung itu Heri juga sering mendatangkan teman-temanya untuk pengajian di sana. Kata Om Martono, orang-orang yang di bawa Heri sifatnya sangat angkuh, tidak mau bertegur sapa.

     Yah begitulah Sas, aku tidak menyangka orang seperti Heri yang dulu sangat penuh toleransi menjadi orang yang benar-benar tak kukenal. Kata Om Martono.

Jadi kemana sekarang Heri Om? Aku bertanya.

Ceritannya panjang, Sas!

     Om Martono kembali menceritakan latar belakang kepindahan heri di Kampung itu. Bahwa warga kampung tak pernah mengusir atau menyuruh keluarga Heri untuk pindah. Hanya Ayah Heri, setelah kematian Ibunya Heri memilih untuk pergi dari kampung itu. Ayah Heri berpamitan kepada seluruh warga sambil menangis dan meminta maaf atas perbuatan yang tidak menyenangkan dan tidak berkenan di hati orang-orang kampung. Sepeninggal Bunda Heri, yang dimakamkan tidak dengan cara atau adatistiadat yang sudah berlangsung turun temurun. Waktu itu Heri berkukuh akan melaksanakan tata cara menurut keyakinannya sendiri, dan warga kampung hanya mempersilahkan saja dan tidak mendebat. Hanya sedikit yang hadir dalam pemakaman itu, diantaranya hanya belasan orang saja, yaitu pemuka masyarakat dan hasip serta beberapa sahabat Heri yang baru. Om Martono dan warga kampung itu tidak mengetahui kemana Ayah Heri pergi, sedang Heri sendiri pergi setelah ayahnya berpamitan pada warga kampung.

     Begitu Sas,Heri juga pernah menghadrik kafir ayahnya di depan banyak orang. Kata Om Martono menambahi.

     Hari sudah siang, aku berterimakasih atas informasi yang ku dapat dari Om Martono. Kami berpisah di depan Gedung Agung itu, kulangkahkan kakiku yang tanpa arah dan tujuan. Badanku lemas, membayangg-bayangkan apa yang di ceritakan Om Martono.

     Kemana hendak pergi aku sekarang? Aku memutuskan untuk langsung berangkat ke Ibu Kota petang nanti dengan menumpang kereta Progo kelas Ekonomi. Sembari menanti waktu sore aku berjalan-jalan saja sekitar malioboro yang sudah berubah, Shoping Center toko buku loak itu sudah sangat tertata rapi. Banyak buku yang diperdagangkan, tetapi kebanyakan buku Islami, jarang ada buku lama yang di perjual belikan sekarang. Hatiku tak nyaman berada di tempat itu, aku melangkah pergi dan yang kembali ada di pikiranku adalah Heri, Sahabatku.

     Apakah ia telah menjadi teroris, atau pejuang di Afganistan sekarang.Aku takut membayangkan kalau suatu saat nanti kutemui kabarnya dari media masa nasional tentang sepak terjangnya.

     Ah kenapa perlombaan senjata dan bisnis senjata sangat mudah di sulut dengan isu-isu teror dan menjadikan salah satu sahabatku itu jadi seorang agennya.

     Barang kali kondisi semacam ini memang disengaja, setelah usai perang dunia kedua dan perang dingin, sekarang ada perang teroris. Negara-negara penghasil senjata tentu tak mau kalau perang berhenti, dan mereka akan bangkrut kalu tidak ada penjualan senjata. Maka diciptakanlah teroris yang seolah-olah kental idiologi jihadnya sebagai musuh bersama. Lalu negara-negara di seluruh dunia akan merasa takut jika menjadi sasaran teror seperti Amerika pada sebelas september. Maka semua kepolisian dan tentara di dunia diwajibkan memenuhi standar ketrampilan dan persenjataan untuk menghadapi teroris. Ah entahlah semua yang dipikirkan manusia pasti punya tujuan dan aku sendiri kenapa aku berpikir begitu jauh, untuk apa!.

     Dan Heri, sahabatku itu mungkin tidak tahu apa-apa kecuali Jihad dan Surga. Di kepalanya mungkin sudah tidak bisa memikirkan beragaai kemungkinan yang terjadi atau melatarbelakangi sebuah kondisi. Dia, sahabatku hanyalah salah satu korban yang secara sukarela mempertaruhkan hiduupnya untuk menjadi sebagai seorang agen konspirasi diatas konspirasi.

     Ah, aku sahabatmu Heri, tetap sahabatmu seperti dulu. Walau mungkin kau telah melupakan aku, sebagai sama kafirnya dengan ayahmu yang kau hadrik terang-terangan di depan umum. Biarlah surgamu nanti akan menggantikan persaaan nyaman seorang anak di pangkuan bapaknya dan perasaan persahabatan yang hangat. Surga yang dijanjikan kepadamu satu-satunyaitu pasti adalah surga yang tertinggi sehingga seluruh nafsu manusiamu akan terlapisakan disitu. Sehingga kau mau melakukan apa-apa keinginan yang disebut jihad.

     Bagiku apalah artti surga tanpa kehangatan persahabatan, persaudaraan, dan kemanusiaan. Ini sekarang, dunia ini adalah surga yang nyata, kau akan bisa merasakan senang karena kau bisa juga sedih. Kalau kau hanya merasakan senang melulu kau tak akan pernah mengerti apa itu kesenangan atau sebaliknya. Aku telah duduk di pintu masuk gerbong kereta ekonomi, beranjak kereta berangkat meninggalkan Jogja menuju Jakarta. Perasaan haru, silih berganti dengan pemandangan kumuh di sekitar jalur kereta. Dan lalu sawah-sawah yang mulai habis termakan permukiman penduduk. Sekarang perasaanku mulai mendendam kepada segala sesuatu yang merenggut persahabatanku, kubiarkan marahku membara dalam hatiku, karena aku telah kehilangan sahabat.

Penulis: Joko Budiyanto

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...