Cerpen Dia Kembali


     Ini tahun dimana aktifitas Nuna bekerja, setelah 3 bulan lalu Nuna dinyatakan lulus oleh perguruan tinggi dimana dia belajar selama ini. Telah 5 penawaran lowongan kerja datang kepadanya, tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Dan akhirnya dia memilih kota Semarang untuk memulai kehidupan barunya. Memang dia sangat ingin hidup di kota Semarang, kota yang berbukit-bukit dan memiliki kenangan yang sangat indah baginya. Sebenarnya kenangan itu telah lama berlangsung, tapi entah dia tidak bisa untuk melupakan kenangan itu. Setelah sesampainya di Semarang, tersungging senyum nan bahagia di bibirnya. "akhirnya sampai di stasiun ini lagi, tapi dengan suasana yang berbeda." Ujarnya sambil menghela napas panjang.

     Dia tahu mustahil baginya untuk bisa bertemu lagi dengan seseorang yang masih di pikirannya saat ini. Walaupun besar harapannya untuk bisa bertemu kembali. Nuna telah berusaha keras melupakan tapi apa daya, nama, wajah dan suaranya masih terus membayanginya. Seseorang dengan teganya mencampakkan dirinya, setelah kepulangannya dari Semarang tahun lalu. Dia hanya bisa meneteskan air mata sedetik kemudian setelah dia melewati pintu keluar. Dulu di tempat ini, ada seseorang yang menjemputnya dengan tersenyum ke arahnya. Sekarang hanya lalu lalang orang yang beberapa di antaranya membawa koper-koper yang cukup besar, dan yang lainnya para bapak-bapak asik menawarkan tumpangan ojek, taksi, becak dsb. Nuna memilih taksi untuk mengantarnya ke tempat tujuan. Nama temannya yaitu Echi, dialah yang selama ini mendengarkan keluh kesah Nuna mengenai seseorang yang masih di pikirannya itu.

"Nuna, wah lama tidak bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu?" Ujar Echi histeris. Echi tetap sama, tanpa perubahan sedikitpun. Dia masih saja kecil, mungil, rambut lurus sebahu dan berkulit sawo matang. Dia bukan berasal dari Semarang, dia orang asli Tidore.
"Hay, baik Chi. Bagaimana denganmu? kau tidak berubah ya?" kata Nuna tidak kalah histeris.
"Mau berubah bagaimana. Aku iya seperti ini Nun." Nuna hanya manggut-manggut dan kemudian ngeloyor masuk ke kamar Echi. Nuna diam beberapa menit dan echi pun juga. Echi tahu apa yang sedang dipikirkan sobatnya itu jadi dia memilih untuk diam juga. Setelah beberapa menit berlalu, Nuna tersenyum sendiri.
"Chi, aku rindu dengan tempat ini. Aku rindu dengan tempat-tempat yang pernah kita datangin bersama dia. Teramat rindunya aku sampai tidak bisa membendung lagi air mataku. Kau tahu, bahkan aku masih ingat tempat-tempat dimana saja yang pernah aku kunjungi bersama dia. Seperti di stasiun tadi, aku merasa ada sosoknya sedang menjemputku. Tapi itu hanya bayanganku saja. Dia tidak a..."
"Stop Nun. Kau terlalu banyak berbicara. Kau pasti lelah. Tidurlah. Besok kita bicara lagi. Ini juga sudah malam" Potong Echi. Dia tidak tahan lagi melihat sobatnya terus menderita seperti ini. Dia seakan-akan ikut merasa menderita jikalau Nuna sedang bercerita tentang laki-laki itu. Nuna hanya terdiam dan terisak pelan. Teramat pelan Echi sampai tidak mendengar isaknya. kemudian Nuna merebahkan tubuhnya dan terlelap.

     Keesokan paginya, Nuna bangun lebih awal dari Echi. Tanpa membangunkan Echi Nuna pergi untuk berjalan-jalan menghirup udara kota Semarang di pagi hari. Dia berjalan lurus ke barat, Nuna bermaksud ingin mengunjungi kampus Echi. Dulu selamanya di Semarang, sekalipun dia tidak pernah berkunjung ke kampus Echi yang kebetulan sama dengan kampus laki-laki itu. Sigit selalu melarang Nuna untuk pergi ke kampusnya dengan alasan yang tidak jelas. Iya Laki-laki itu bernama sigit. Nuna nurut saja, dia tidak terlalu memusingkan hal itu. Selama di Semarang, Sigit selalu menemani kemana Nuna ingin pergi. Dan saat ini, semua telah berbeda Nuna hanya sendiri.

     Sesampainya di depan kampus, Nuna langsung menuju gedung yang dulu pernah ditunjukkan Echi dari kejauhan bahwa itu tempat yang biasanya Sigit datangi. Nuna menyusuri lorong-lorong, melewati taman sambil memotret suasana di sekeliling. Nuna suka memotret apa yang dia rasa bagus, hasil jepretannya lumayan. Tapi dia tidak berkeinginan menjadi fotografer itu bukan bakatnya. Tiba-tiba Nuna berhenti di suatu ruang yang terdapat banyak foto-foto terpajang rapi di dinding. Nuna masuk dan melihat satu demi satu foto-foto tersebut, sampai di barisan ketiga tengah dia langsung terdiam sambil terus memandangi foto tersebut.

"Nuna kau kemana saja? Ponselmu juga tidak dibawa, pantas saja aku telpon tadi tidak diangkat. Aku cemas setengah mati mencarimu." Tanya Echi terengah-engah. Echi benar-benar cemas, takut Nuna tersesat kalau pergi sendirian. Dia tidak tau daerah Semarang.
"Aku hanya jalan-jalan ke kampus mu. Itu saja! Kau tahu aku sebegitu penasaran dengan kampusmu. Baru sekarang aku bisa melihatnya. Disana aku menemukan foto dia terpampang rapi beserta alamatnya. Aku berencana untuk ke rumahnya." Jawabnya antusias.
"Ke rumah laki-laki itu maksudmu? Itu jauh dari sini Nun. Jangan macam-macam!" Ancam Echi.
"Aku tahu. Tapi aku akan tetap kesana. Masuk kerjaku masih dua hari lagi jadi aku bisa menyempatkan untuk pergi kesana. Kau mengijinkan aku kesana kan?"
"Mau gimana lagi, masa aku melarangmu. Kau pasti akan tetap nekat."
"Terimakasih kau memang sahabatku yang paling manis."

     Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah siap dan masak sarapan buat Echi. Wajahnya ceria sekali. Echi yang melihat jadi tersenyum senang melihat tingkah sahabatnya, tapi di hatinya ada rasa cemas melanda. Apakah mungkin dengan berangkatnya Nuna kesana akan memperbaiki semuanya. Sigit sudah benar-benar mencampakkan Nuna, dia tidak cinta bagaimana yang pernah dia katakan dulu. Bahkan tak pernah sedikitpun menghargai Nuna.
"Keretanya jam berapa?" tanya echi tiba-tiba.
"Kau mengagetkanku." Echi hanya tersenyum. "Jam 8 Chi. Sebentar lagi aku berangkat. Kau baik-baik disini. Oya, kau tidak kuliah?"
"Aku masuk siang. Sesampainya disana kau harus menghubungiku. Aku benar-benar mencemaskanmu."
"iya."

     Tepat pukul 08.00 WIB, kereta meluncur ke arah barat menuju Bandung. Tekatnya sungguh kuat ingin bertemu Sigit kembali. Tujuannya hanya ingin melihat sang pujaan hati, dia sangat rindu sekali. Tujuh jam telah berlalu, dan kereta telah sampai di stasiun. Dari Semarang sampai Bandung Nuna tidak memejamkan mata sama sekali, dia tidak sabar untuk tiba di Bandung. Tidak sabar untuk bertemu dengan Sigit.

     Nuna sedang menyusuri jalan dan sambil mencari-cari nomor yang dituju. Tepat di dekat pertigaan terdapat rumah menghadap ke arah selatan berpagar tinggi warna hitam. Pasti itu rumah Sigit tidak salah lagi pikir Nuna. Dia langsung menekan bel yang terdapat di ujung kanan pagar. Dan selang beberapa menit keluarlah seorang perempuan berpakaian daster bercorak bunga.
"Cari siapa mbak?" tanya perempuan itu.
"Sigitnya ada?" tanya Nuna hati-hati.
"Owh, Den Sigit. Beliau sedang keluar mbak. Baru saja."
"Kira-kira keluar kemana mbak?" tanya Nuna sekali lagi.
"Seperti biasa mbak, keluar dengan teman-temannya. Mbak ini siapanya ya?"
"Saya temannya mbak dari Semarang. Kalau begitu saya pamit dulu mbak. Oya, tolong kasihkan ini kepada Sigit. Terimakasih." Tanpa melihat balasan dari perempuan tersebut. Nuna langsung ngeloyor pergi. Terlihat raut wajah perempuan itu bingung dan merasa kasihan terhadap Nuna. Nuna terus berjalan menjauhi rumah Sigit sambil menundukkan kepala. Sebelum berangkat, dia sudah menyiapkan sebuah surat dan sebuah bingkisan buat Sigit. Dia berencana untuk mencari penginapan di dekat rumah sigit. Dia akan tetap menunggu sampai besok, jikalau Nuna tidak bisa bertemu dengan Sigit dia akan benar-benar melepaskan laki-laki itu.

Di rumah Sigit,
"Den, tadi ada yang mencari Aden. Katanya dari Semarang, seorang perempuan."
"Perempuan? Dia tidak menyebutkan nama Bi?"
"Tidak Den. Tapi Nona itu meninggalkan ini buat Aden." Sigit sibuk melihat-lihat bingkisan itu sambil memasang raut wajah bertanya-tanya. "Saya permisi dulu Den."
"Oya Bi, terimakasih ya." Tanpa melihat kepergian bibi dan terus mengamati bingkisan itu.
Sigit langsung membuka bingkisan itu dengan terburu-buru, dia sangat penasaran siapakah gerangan orang yang telah datang jauh-jauh kemari memberikan ini pula. Hal pertama yang dia temukan adalah sebuah surat. Dan isinya:

Dear Arif Rahman Sigit,
Sebelumnya aku minta maaf kalau aku terus membuatmu merasa terganggu. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang aku inginkan. Apa itu salah?? Apa aku egois dalam hal ini?? Kurasa tidak. Aku mencintaimu dan aku menginginkanmu itu wajar menurutku. Tapi aku sadar satu hal, kau sudah tidak menginginkanku. Bahkan itu pertama kali pertemuan kita, kau tidak pernah melihatku. Hanya saja kau merasa bertanggung jawab atasku. Dalam hal itu aku berasa bersalah, telah menjadi bebanmu. Tapi kau memintaku untuk datang. Apakah perkataanmu dulu hanya berkesan di mulutmu saja tidak di hatimu?? kau yang membuatku seperti ini dan kau kemudian pergi tanpa minta ijin. Jujur, aku telah melakukan segala upaya untuk melupakan bayangmu, semua tentangmu. Tapi smua mustahil, kau terus memenuhi pikiranku. Aku cukup menderita akan hal itu.
Bukankah kau jahat dalam hal ini?? Kau meninggalkan kenangan di otakku dan kau melupakannya begitu saja. kenapa kau tidak juga membawanya pergi. Aku ingin sekali bisa lupa akan semua kenangan ini. Tapi itu tidak bisa, sungguh sulit.
By. Nuna

     Sigit hanya diam beberapa jam sambil memandangi surat itu, surat yang dapat membuat hatinya tersayat saat ini. Tampak dia menggigit bibir bawahnya, menahan getaran di mulutnya. Kemudian dia beralih ke sebuah kotak berwarna coklat dan dibukanya kotak tersebut. Isinya ternyata foto-foto dirinya dan Nuna semasa mereka masih bersama. Foto Nuna yang sedang asyik makan, melamun, menatap langit, diam-diam dijepret Sigit. Foto Sigit saat sedang memancing, saat sedang tidur, saat sedang makan dan masih banyak lagi. Dan terakhir foto Sigit menggunakan Toga yang sempat dipotret Nuna waktu datang ke kampus Sigit. Sigit sangat terkejut mendapati foto itu, kenapa bisa Nuna memiliki foto dirinya dengan berpakaian seperti ini. Sigit tidak tahan lagi, tanpa dia sadari air matanya menetes. Dia tidak menyangka bahwa cinta Nuna buatnya begitu dalam. Bahkan hampir satu tahun ini dia telah meninggalkan gadis itu.
"Kenapa dia memiliki foto ini?" Tanyanya pada diri sendiri. Suaranya bergetar. "Bi, Bi Minah." Teriaknya. Dia langsung berhambur keluar kamar. "Bibi." Teriaknya sekali lagi.
Dengan terengah-engah Minah berlari menuju tuannya. "Ada apa Den? Teriak-teriak begitu." Tanya Minah bingung.
"Perempuan tadi, yang datang kesini. Sudah lama datangnya??"
"Tadi Sore Den, sewaktu Aden baru berangkat ke rumah teman Aden. Sepertinya sudah lama, kemungkinan dia sudah kembali ke Semarang. Kenapa Den?"
"Tidak. Aku pergi Bi. Kasih tahu sama papa mama aku tidak tidur di rumah malam ini."
Sigit berlari ke kamar dan mengemasi barang-barangnya dan membawa sedikit baju untuk ganti. Dia berencana untuk menyusul Nuna ke stasiun. "Kereta jurusan ke Semarang baru besok berangkat, jadi paling tidak Nuna tiba di stasiun besok. Jadi aku akan menunggunya di stasiun, bagaimanapun caranya aku harus bertemu dengannya. Bahkan jika harus ke Semarang aku tidak peduli." Sigit bergumam sendiri.

     Sigit telah menunggu lama hampir 5 jam, tapi Nuna belum kunjung datang. Dia terus mondar-mandir kebingungan dan mencemaskan Nuna. Bagaimana bisa gadis seperti Nuna dibiarkan berkeliaran di kota sebesar Bandung dan dia tidak tahu-menahu tentang kota tersebut. "Nuna, kau dimana? aku bisa gila karenamu. Tolong muncul di hadapanku." Gumam Sigit.
Tak selang beberapa lama, Sigit melihat sosok gadis yang mirip Nuna dari kejauhan. Dia langsung berlari untuk memastikan. Gadis itu berjalan menunduk sehingga tidak tahu kedatangan Sigit. Setelah tau bahwa gadis itu benar-benar Nuna seketika dia langsung memeluk tubuh gadis itu. Sontak Nuna sangat terkejut dan berusaha melepas pelukan Sigit.
"Hey, Kau siapa? Peluk-peluk se..." Nuna tidak meneruskan ucapannya setelah dia menoleh ke arah Sigit. "Kak Si..." Sigit langsung memeluknya lagi.
"Jangan berkomentar jika aku belum selesai bicara. Maafin aku Nun, aku benar-benar minta maaf telah membuatmu menderita selama ini. Aku tidak tahu sebegitu kau tulus mencintaiku. Maaf aku meninggalkanmu saat itu, aku hanya tidak bisa memberitahumu akan penyakit yang telah menggerogoti paru-paruku. Aku tidak mau membebanimu dengan penyakitku. Mungkin memang ini tidak adil bagimu, tapi inilah kenyataannya. Jika saatnya nanti aku akan menemuimu. Aku sudah benar-benar sembuh sekarang dan berencana untuk menemuimu. Tapi kau sudah datang terlebih dahulu. Dan kau tahu, aku tidak benar-benar meninggalkanmu. Aku selalu memantaumu dengan menyuruh seseorang untuk tinggal di dekatmu kemanapun kau pergi dia akan tahu. Dan kemudian dia memberitahuku. Aku tidak seperti yang kau maksud Nuna. Aku selalu melihatmu, aku selalu merindukanmu, dan aku mencintaimu. Aku senang kau disini sekarang. Aku sangat senang, terimakasih telah bertahan untukku. Dipikiranku kau sekarang sedang bersama laki-laki lain dan telah melupakanku." Katanya panjang lebar.
"Cukup, kau sudah berbicara sangat banyak Kak. Entah apa yang ada di pikiranku sekarang. Aku terlalu bingung untuk mencerna kata-katamu. Tapi yang aku ingat kau juga mencintaiku. Terimakasih." Nuna tersenyum dan merekatkan pelukannya. "oya, kenapa kau selalu melarangku untuk pergi ke kampusmu. Kau tahu itu membuatku penasaran??" melepaskan pelukannya.
Sigit tersenyum. "Jika kau bertemu teman-temanku kau akan mengetahui penyakitku. Itu tidak baik."
"Kau ini, jahat sekali."
"Maaf, setelah ini aku tidak akan pernah menyakitimu dan akan selalu di sisimu. Aku janji. Oya, aku penasaran tentang foto ini." Sambil menyerahkan foto dirinya yang berpakaian toga.
"Owh, ini. Aku memotretnya di kampusmu. Dan kau tahu, aku sekarang menetap di Semarang." Ujarnya sambil tersenyum
"Kau harus menceritakan apa saja yang sudah kau alami selama aku tidak ada bersamamu."
"Iya."
Mereka berdua tersenyum dan kemudian naik kereta menuju Semarang.

Penulis: Artita Oktavi


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...