Cerpen The Great of Love


"Aku akan jadi wanita paling bahagia sebulan lagi" ucap seorang gadis manis dengan lesung pipit di pipinya, sebut saja Vivi, seraya melemparkan senyum yang terus mengembang dalam pelukan seorang laki-laki di sampingnya.

"Memangnya kenapa?" Tanya laki-laki itu melirik tajam ke arah Vivi seraya membalas dengan senyum simpulnya.

"karena sebulan lagi, aku akan halal untukmu, dan kamu pun akan jadi halal untukku" balas Vivi bersemangat.
Laki-laki yang diketahui bernama Alwin itu hanya tersenyum menanggapi ucapan Vivi yang terkesan manja.
Keduanya telah menjalin kasih sejak 3 tahun lalu saat keduanya masih di bangku kuliah hingga masing-masing sudah punya kerjaan sendiri-sendiri, Vivi adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan asing yang terbilang besar ketika itu, sedangkan Alwin sendiri lebih memilih mengabdikan dirinya sebagai anggota satuan kepolisian yang merupakan cita-citanya dari kecil. Mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih serius, kala teman-temanya satu persatu mendahului mereka untuk menikah.

     Segala persiapan, sedikit demi sedikit mereka lengkapi dari mulai gaun, lokasi resepsi hingga menyebar undangan.
Hingga suatu hari, Alwin mendapat tugas di satuannya sebagai polisi ke Semarang, dan kebetulan disana tempat kelahirannya, dan Ibu dari Alwin yang merupakan orangtua satu-satunya yang masih hidup itu juga masih tinggal di Semarang ketika itu.

"Kamu jangan lama-lama ya disana!!!" Rujuk Vivi nampak murung.

"Habis tugas, aku janji akan segera balik ke Jakarta bersama Ibu" jawab Alwin meyakinkan Vivi yang terus menangisi kepergiannya ketika di bandara saat menghantarkan kepergiannya guna bertugas sekaligus menjemput ibunya beserta sanak saudara yang masih di Semarang itu.

"Janji ya, pokoknya kalau kamu gak balik, aku yang akan susulin kamu ke Semarang" sambung Vivi tegas.

     Lagi-lagi Alwin hanya tersenyum, dan tak berapa lama Alwin pun berangkat dengan pesawatnya, sementara Vivi masih tak rela nampaknya dengan kepergian calon suaminya tersebut.
Bagaimana tidak, hanya tinggal menghitung hari saja pernikahan mereka akan dilangsungkan, sementara persiapaan sudah rampung seluruhnya, banyak orangtua bilang calon pengantin tidak boleh bepergian saat pernikahannya akan segera dilangsungkan, karena biasanya akan mengalami malapetaka. Entahlah tapi yang jelas Vivi mempercayai hal itu dan sangat mengganggu pikirannya.

     Seminggu berlalu, Alwin belum kembali ke Jakarta, Vivi masih belum terlalu cemas, karena Alwin masih bisa dihubungi.
5 hari sebelum hari bahagia mereka, ketika Vivi menelpon Alwin, ia hanya bilang,
"nanti sayang, aku pasti balik, aku masih ada tugas hingga 3 hari kedepan, ibu juga masih ada pesanan batik hingga lusa, mungkin 4 hari lagi aku pulang".

     Semakin hari Vivi bertambah gelisah, ia tak cukup tidur, bahkan makan pun enggan.
Hingga hari yang dijanjikan Alwin pun tiba, Vivi menyambut hari itu pun dengan gembira karena Alwin calon suaminya akan tiba, dan akan segera melangsungkan pernikahan mereka.
Namun rupanya hingga sore hari Vivi menunggu kedatangan Alwin, ia tak jua datang dan yang menambah kecemasan dan kepanikannya Alwin tak bisa dihubungi sama sekali kala itu.

     Esok hari pesta pernikahan keduanya akan dilangsungkan, altar sudah digelar pada sebuah gereja yang dipilih jadi tempat keduanya mengikrarkan janji sehidup semati dalam ikatan suci pernikahan, tapi mempelai pria tak kunjung datang, Vivi masih dengan harapannya, setia menunggu Alwin.
Namun naas, hingga hari bahagia mereka tiba, Alwin tak juga datang dan sama sekali tak bisa dihubungi.
Otomatis pesta pernikahan yang keduanya persiapkan pun gagal total.

"Kenapa kamu tega win, kita udah siapin ini semua sama-sama, tapi kenapa kamu juga yang ngerusak semuanya" rintih Vivi tak kuasa menutupi kesedihan dan kekecewaanya pada laki-laki yang sangat dicintainya itu.
Seluruh kerabat dan saudara Alwin sejak hari itu seakan menutup diri dari Vivi tentang keberadaan Alwin yang tiba-tiba menghilang pada saat pesta pernikahannya akan dilangsungkan, bahkan saat Vivi mengunjungi kediaman orang tua Alwin, rumahnya nampak kosong dan kata salah seorang tetangganya, Alwin dan keluarganya sudah tidak menempati rumah itu sejak beberapa minggu terakhir.

     Singkat cerita, setahun lamanya Vivi mencoba bangkit dan melupakan Alwin. Namun apa daya, Vivi sama sekali tak kuasa melenyapkan bayangan Alwin di benaknya bahkan Cinta dan kerinduannya makin hari makin menggebu.

     Puncaknya hari itu, Vivi mendapat jawaban baik dari salah satu kerabat Alwin perihal keberadaan Alwin yang menghilang sejak setahun terakhir. Vivi amat gembira menyambut kabar tersebut, hingga ia seakan melupakan kekecewaannya pada lelaki yang membiarkannya setahun diliputi rasa malu dan kecewa yang mendalam beserta keluarganya.

     Hari itu Vivi dengan perasaan yang bercampur aduk, dari bahagia, marah, juga kecewa dengan tekadnya hendak menuju ke alamat yang tertera pada secarik kertas yang ia dapat dari kerabatnya Alwin, yang ia harapkan adalah tempat dimana Alwin dan ibunya tinggal.

"Win, aku akan memarahimu sumpah, jika nanti aku ketemu sama kamu atas perbuatanmu ke aku" Vivi meracau di sepanjang perjalanannya.

     Malam hari tepat pukul 22.00 waktu setempat Vivi sampai di alamat yang ia tahu alamat barunya Alwin yang letaknya amat jauh dari pusat kota bahkan boleh dibilang letaknya berada di pelosok kampung yang masih nampak sangat sepi jika malam hari.
Dengan segera Vivi mengetuk pintu pada sebuah rumah yang terbilang paling besar itu, jika dibandingkan dengan hunian-hunian di sekitarnya.

"Selamat malam, permisi"
Vivi terus menyapa si penghuni rumah yang belum juga merespon kedatangannya.
Selang beberapa menit kemudian, keluarlah dari dalam seoarang wanita paruh baya, dan Ya, Vivi sangat terkejut juga bahagia dengan siapa ia berhadapan kala itu.

"Ibu!!!"
Vivi coba membendung aliran airmata yang hendak keluar ketika ibu dari Alwin membukakan pintu untuknya

"Nak Vivi..."
Hanya sepenggal sapaan yang mampu Ibu itu ucapkan mulutnya seakan tak kuasa menguraikan kata-kata, entahlah mungkin karena rasa bersalahnya yang mendalam terhadap calon menantunya tersebut.
Spontan Vivi bergerak dari diamnya coba menghampiri ibunya Alwin dan dengan segera merangkul ibu yang hampir jadi mertuanya itu dengan sedikit isak tangis yang menyeruak dari keduanya.

     Beberapa menit kemudian Vivi segera meminta untuk dipertemukan dengan Alwin, namun pada awalnya ibu itu enggan dan beralasan Alwin tak mau lagi bertemu dengan Vivi.
Vivi tak menyerah, ia terus memaksa dan menyudutkan wanita paruh baya yang sangat nampak kalem itu, hingga akhirnya Vivi menang, ya vivi berhasil meyakinkan sang ibu untuk mempertemukannya dengan lelaki yang hampir saja mendampinginya berjalan di altar pernikahan setahun yang lalu.
Sesampainya di dalam, tepatnya di teras belakang Vivi tertegun saat melihat seseorang di depannya yang duduk di sebuah kursi roda yang membelakanginya.

"Siapa bu, yang datang malam malam begini" lelaki itu bersuara, nampak berat sekali kedengarannya.

"ini Aku win" Vivi menjawab pelan, terasa sekali ia menyembunyikan kesedihannya ketika itu.

     Alwin berbalik arah dan memutarkan arah kursi rodanya, dan sekarang keduanya saling berhadapan setelah kurang lebih setahun mereka tak bertemu, ya tentu saja, perasaan keduanya berkecamuk, terlebih Vivi ia makin tertegun dan terlihat shock melihat keadaan laki-laki yang ia sangat cintai itu.
Bagaimana tidak, fisik Alwin tak lagi sempurna sekarang. Kedua kakinya sudah tak terlihat lagi karena habis diamputasi, tubuhnya yang dulu kekar dan nampak sigap karena dibentuk oleh latihan fisik saat ia masih di kesatuannya di kepolisian, kini berubah. Ya jauh sangat berubah, kini ia terlihat kurus bahkan sangat kurus.

"Vivi..."
Ekspresi Alwin berubah drastis ia pucat sekarang, seperti ketakutan, ya dalam artian Alwin memang bener-bener takut jika Vivi melihat keadaannya sekarang, namun semuanya tak ada arti ketika itu, karena Vivi sudah melihatnya bahkan dengan jelas sekali melihatnya.
Alwin memutar kembali kursi rodanya, serta memalingkan tubuh dan pandangannya dari wanita yang hingga sekarang masih ia cintai itu.
"Ngapain kamu kesini" Dengan ketusnya Alwin menyambut Vivi.

"Aku nyari kamu win" Sahut Vivi parau disela-sela isak tangisnya.

"Tak ada gunanya lagi kamu kesini, sekarang kamu sudah lihat keadaanku, cacat vi cacat!" Alwin kembali menimpali ucapan Vivi dengan ketus, tapi kali ini ia benar-benar sudah tak bisa lagi menahan derasnya dorongan sensitifitas dari kelenjar kedua matanya yang terus mengalirkan cairan putih bening yang perlahan keluar membasahi pipinya, yea that's right ia menangis.

"Sebaiknya kamu segera pergi dari sini, dan lupain aku... Cari laki-laki yang lebih layak dan pantas mendampingimu" Alwin kembali menyerukan kalimat yang tentu membuat Vivi makin kecewa.

"Aku gak akan pergi dari sini" Kali ini Vivi mulai bersuara, perlahan tapi pasti ia mendekati Alwin yang masih mengacuhkannya.

"Pernikahan kita gak akan pernah terjadi vi, jadi untuk apa lagi kamu menemuiku" Teriak Alwin yang masih bersikeras untuk tak menghiraukan perasaannya sendiri terhadap Vivi.

"PLAAAK" Alwin memegang pipinya yang langsung memerah sesaat setelah Vivi melayangkan sebuah tamparan keras di wajahnya.

"Jahat kamu ya win, Tega kamu..." Kalimat vivi tersendat dengan isak tangisnya yang makin menyeruak lebih dalam.
Alwin hanya diam sambil sesekali coba menutupi bahwa ketika itu dia menangis.

"Dengan gampangnya kamu bilang begitu, kamu gak pernah mikirin perasaan aku, mama papa aku seluruh keluarga besar aku yang sangat malu dengan ketidak hadiran kamu di acara yang sudah kita siapin bareng... Hari dimana kita akan berikrar sehidup semati di depan pendeta... Kamu gak mikir itu win, JAWAB!!!"
Kemarahan Vivi makin menjadi, ia seolah sudah tak kuasa menahan untuk tidak meluapkan kekecewaannya pada Alwin ketika itu.

     Alwin tertunduk rapuh di hadapan Vivi, tak ada kata yang sanggup ia lontarkan untuk membalas segala ucapan Vivi. Karena Alwin sendiri pun tak berniat untuk mengacaukan pernikahannya sendiri bersama Vivi. Namun peristiwa naas yang tak ia duga memaksanya untuk meninggalkan Vivi, ya tragedi itu terjadi 2 hari menjelang kepulangannya ke Jakarta, saat ia hendak pulang dari sebuah tempat perbelanjaan sesaat setelah membeli sepasang cincin pernikahan untuknya dan Vivi, ia memergoki maling yang hendak membobol sebuah mobil di halaman parkir yang saat itu kebetulan ia hendak mengambil sepeda motornya yang berada tak jauh dari letak maling itu beraksi, karena instingnya sebagai polisi ia coba menangkap maling tersebut.

     Namun ironisnya, saat ia mengejar maling tersebut yang kabur karena merasa aksinya ketahuan, Alwin tertabrak sebuah mobil dengan kecepatan tinggi sesaat setelah ia berlari beberapa meter dari pintu gerbang ke jalan raya.
Ia luka parah, sangat parah. Kedua kakinya terpaksa harus diamputasi karena tulangnya remuk terlindas ban mobil yang menabraknya, setelah kejadian itu tak ada ambisi hidup lagi pada diri Alwin hingga badannya yang dulu kekar kini habis jadi kurus karena sudah tak ada sedikitpun nafsu makan dan selera lidahnya pun sudah tak bekerja dengan baik lagi.

"Aku sudah tak layak vi buat kamu, aku malu dengan keadaanku sendiri, aku malu dengan keluargamu aku malu..."
Alwin bersuara dengan nada bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya yang pecah di hadapan Vivi, telapak tangan pipi dengan spontan menutupi mulut Alwin untuk tak melanjutkan lagi segala ucapan-ucapan yang akan Alwin lontarkan.

"Ssst... Aku sudah tau semuanya dari ibu soal kecelakaan yang menimpa kamu dan Cukup win, cukup, semakin kamu berucap seperti itu semakin sakit juga hati aku"
Tangisan Vivi pun kembali pecah, sekarang ia menjatuhkan kedua dengkul kakinya ke lantai persis di hadapan Alwin, ia coba menatap Alwin tajam.

"Itu artinya selama ini kamu belum yakin dengan ketulusan cintaku untukmu win, kamu belum memahami. Sepenuhnya arti sayangku padamu win" Vivi kembali menegaskan isi hatinya dengan kucuran air mata yang sesekali ia hapus dengan tangan kirinya.

     Alwin masih terdiam pilu, entah apa yang ada dalam benaknya kala itu, tapi yang jelas ia pun hanya ingin bilang bahwa ia sangat mencintai wanita yang sekarang bersimpuh di hadapannya, namun lidah terasa kaku dan suara seakan terkunci untuk melontarkan kata-kata itu.

"Aku mencintaimu tulus apa adanya, tak peduli dengan Keadaanmu kini ataupun nanti, sekarang ataupun lusa, tahun ini ataupun tahun-tahun kedepannya, aku gak peduli win, aku gak peduli..." Tangisan Vivi makin menjadi, kali ini ia menutup kedua mukanya di paha Alwin.
Alwin yang sedari tadi hanya diam dengan isak tangisnya yang ikut menyeruak, kini ia coba mengangkat wajah Vivi dengan kedua tanganya.
"Aku hanya gak mau kamu mendapat rasa malu dan ejekan dari orang-orang dengan bersuamikan orang cacat seperti aku, aku gak mau itu menimpa kamu, cukup aku yang merasakannya vi... Cukup aku"
Nada bicara Alwin yang bergetar yang dibarengi rintihan tangis kepiluan nyaring terdengar, beberapa saat keduanya saling bertatapan dengan mata yang berkaca-kaca satu sama lain.
"Win, aku gak bisa menikah dengan orang lain, aku hanya ingin kamu yang mendampingiku hingga kelak kita tua"

"Tapi. Dengan keadaanku saat ini..." Kembali mulut Alwin ditutup oleh jari telunjuk Vivi yang mengisyaratkan untuk Alwin tak meneruskan kalimatnya.

"Aku mencintai kamu tulus dari lubuk hati aku yang terdalam... Tak peduli dengan gimanapun keadaan kamu sekarang... Sekali lagi aku tegasin, aku.. hanya.. akan.. mencintaimu.. untuk saat ini.. dan selamanya"

     Alwin tersenyum kali ini, tapi tak dipungkiri jika ia pun menangis terharu dengan cinta kasih yang Vivi berikan untuknya.

"Kamu yakin mau menerimaku? Kamu yakin orangtuamu mau menerimaku? Kamu juga sudah yakin keluarga besar kamu akan menerimaku?" Lontaran pertanyaan yang Alwin ajukan untuk Vivi, membuatnya tertegun sekali lagi.

"Kami akan menerima dengan senang hati keadaanmu nak Alwin"

     Alwin juga Vivi kaget, dengan suara yang barusan mereka dengar dari arah belakang. Sontak keduanya menengok dan berbalik arah ke belakang.

"Papa... Mama!!!"

"Maafkan mama vi, mama tak jujur sama kamu kalau mama sama papa menyuruh pak kuntoro untuk mengikutimmu hingga kesini demi keselamatanmu," Mamanya Vivi atau sebut saja bu Ranti menjawab dengan santai dan tersenyum.

"Dan setelah kami tau bahwa kamu menemui Alwin, papa sama mama langsung menyusulmu kesini" Pak Tio yang tak lain papanya Vivi pun kembali ikut berkomentar.

"Jadi...?" Kali ini Alwin maupun Vivi yang bertanya secara bersamaan.

"Minggu depan pernikahan kalian akan kembali dilangsungkan" jawab pak Tio lantang. "Bukan begitu bu Ning?". Lanjutnya melirik ibu dari Alwin yang berdiri di sampingnya.
Bu Ning hanya mengangguk seraya mengembangkan senyum pada setiap orang di sekelilingnya kala itu.

     Tak kuasa menahan rasa kebahagiaan yang amat mendalam dan luar biasa, Alwin dan Vivi merangkul satu sama lain, Air mata mereka makin lancar mengalir namun tak lagi tangisan kesedihan sekarang, melainkan telah menjadi tangisan kebahagiaan.

THE END

Penulis: Galang


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...