Cerpen Love Song In The Rain (Part 1)


     Hujan selalu mengingatkanku padamu. Katamu, hujan adalah malaikat yang turun dari langit. Jadi, hujan adalah anugrah bagi setiap makhluk hidup yang tinggal di permukaan bumi ini. Hujan itu indah. Bunyi rintiknya bak nyanyian merdu yang menggema. Aromanya yang lembut perlahan menyusup dan menciptakan kedamaian dalam hati.

----

     Langit tampak muram sore ini. Serat hitam yang mengantung di kaki cakrawala menjelma tirai-tirai kelabu penghalang cahaya keemasan milik mentari. Hujan baru saja reda, tetapi gerimisnya masih tersisa untuk menemani langkah seorang gadis yang terdengar berkecipak membelah genangan air hujan.

     Namanya Fiorenza. Sama seperti arti namanya, Dia tampak cantik seperti bunga. Bingkai wajahnya yang begitu manis dengan rambut panjang dan sedikit ikal. Gadis ini setengah berlari memasuki sebuah Pedesaan yang benar-benar hijau. Kakinya melangkah tanpa ragu, seolah tempat ini sudah sering dia kunjungi. Dia semakin mempercepat langkahnya menuju suatu tempat. Gadis itu berhenti sebentar. Diamatinya pemandangan yang saat ini berada tepat di depan matanya. Sebuah rumah mungil yang berdiri kokoh dengan posisi membelakangi danau kecil yang terbentang indah di sekitar tempat itu. Itu adalah rumah masa kecilnya, di sanalah dia merajut mimpi-mimpi masa depannya. Dia mendesah pelan lalu masuk ke rumah mungilnya itu.

     Interior yang ada di dalamnya sederhana saja, tak ada yang mewah. Semua yang ada di sana masih tampak sama. Tak seperti kehidupan yang selalu mengalami perubahan setiap waktu. Rasanya, baru kemarin gadis itu menjalani hari-harinya di desa ini. Kenangan itu begitu kental dan jelas di ingatannya, walau sudah berlalu sangat lama.

     Matanya beralih menatap sebuah foto pernikahan yang menggantung di dinding ruang tamu. Tangannya ingin meraih foto itu, namun ditariknya kembali menyadari ponselnya berdering.
"Hallo Devin?" sapanya pada orang yang ada di seberang sana.
"Finza? Kamu udah nyampe?" tanyanya khawatir. Finza, begitu Fiorenza akrab disapa.
"Udah kok Dev. Aku udah nyampe setengah jam yang lalu." Finza tersenyum sambil melanjutkan langkahnya melihat-lihat isi rumah satu persatu.
"Syukurlah, aku khawatir tau."
"Emang aku anak kecil? Aku ngak pa-pa kok. Khawatiran banget sih. Hehe."
"Iya dong. Gadis-ku pergi liburan sendirian dan aku nggak diizinin buat nemenin." Devin tertawa kecil.
"Ayolah. Aku cuma pengen mengenang masa kecilku. Lagian aku juga perlu mempersiapkan diri untuk acara kita dua minggu lagi." Finza merengut manja. Maaf Devin, bukan mengenang masa kecil, tetapi melupakan semua kenangannya. Kata itu hanya mampu dilontarkannya dalam hati.
"Baiklah. Aku nggak akan ganggu kamu selama seminggu ini. Nikmati liburannya. Aku pasti bakal rindu kamu di sini. Dan aku bakal nyiapin undangan buat disebar. Kamu nggak usah repot-repot mikirinnya, aku yang beresin semuanya. Nggak deh, minta bantuan Berness dikit. Hehehe. Oke?" Devin terdengar bersemangat.
"Dasar.. Heehe. Iya. Aku bakal balik seminggu lagi. Hati-hati dan jaga kesehatan. Jangan terlalu sibuk kerja." Finza mengingatkan.
"Ya. Kamu juga hati-hati. Love you."
"Love you too."
Klik! Ponsel sama-sama di matikan. Ada sedikit rasa bersalah yang terbesit di hati Finza.

     Dua minggu lagi adalah pesta pertungannya dengan Devin, pria yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Pria yang sangat baik, juga pemilik Hotel terkenal di kota tempat dia tinggal selama sepuluh tahun ini. Dia menyayangi Devin tapi dia juga tidak bisa menghapus cintanya pada seorang tokoh dari masa lalu. Cinta pertama yang sampai hari ini tak mampu dia lupakan dan masih menjadi bayang-bayang dalam hidupnya. Menjelma sebuket kenangan manis yang menciptakan harapan-harapan kemustahilan. Tetap seperti itu, walau sudah sepuluh tahun berlalu.
Sepuluh tahun, tentu bukan waktu yang sebentar. Sangat banyak yang bisa terjadi dalam kurun waktu selama itu. Entah itu pada dirinya, pada orang itu, atau pada siapa saja yang melaluinya. Tapi tetap saja, kerinduan takkan mampu dikalahkan oleh apapun.

----

     Seorang gadis yang kira-kira berumur sepuluh tahun, duduk jongkok di depan rumah barunya, kedua telapak tangannya ditumpu pada dagu. Gadis kecil itu baru saja pindah bersama Ayahnya. Ibunya sudah meninggal ketika dia terlahir ke dunia ini. Dialah Fiorenza Damara Elysia atau Finza. Mata kecilnya mengawasi butir-butir hujan yang saat ini turun dengan sangat deras. Butir-butir hujan yang menyapu tanah dan beradu dengan batu-batu, menciptakan nada-nada bernilai abstrak. Sesekali dia memainkan hujan dengan ujung telunjuknya atau membasahi wajah cantiknya dengan maja terpejam.

     Tanpa sadar matanya menangkap sosok mungil yang sedang berjalan di antara guyuran hujan. Pemuda kecil yang sepertinya sebaya dengannya. Dia tetap melangkah menembus benteng-benteng yang dibuat air hujan secara berkoloni. Tangan kanannya memegang bunga keladi besar yang digunakannya sebagai pelindung kepala. Merasa menemukan seorang teman, Finza langsung berlari ke arah pria itu dan ikut berlindung di bawah bunga keladi yang dibawanya.
"Namaku Fiorenza Damara Elysia. Panggil aja Finza." ucap Finza polos dengan mata berbinar.
Pria itu menghentikan langkahnya. Keningnya bertaut menatap tingkah aneh Finza. Tak lama sebuah senyum terlukis di bibirnya. Melihat itu Finza sangat senang. Kemudian mereka melangkah bersama menerobos ribuan pasukan hujan.

     Hujan sudah reda ketika mereka sampai di sebuah sungai kecil yang sangat jernih, di sekitarnya dipenuhi tumbuhan-tumbuhan air.
"Aku Kenzie. Kenzie Javas Nircala." Pria itu memperkenalkan diri lalu menoleh ke arah Finza yang berdiri di sebelahnya. Finza membalasnya dengan senyuman.
"Aku masih baru di sini. Aku tinggal berdua sama Ayahku di rumah dekat danau. Tempat kita ketemu tadi." Finza mulai bercerita.
"Jadi kamu tinggal di rumah danau itu? Wahh.. tiap hari aku selalu main di danau itu lho. Sendirian, nggak ada temennya. Biasanya rumahnya kosong." Kenzie membalas cerita Finza. Sepertinya mereka sama-sama suka bercerita.
"Dan sekarang kamu udah punya temen. Aku." Finza berkata bangga.
"Kamu mau jadi temen aku?"
"Mau dong. Kenzie nggak mau jadi temen Finza ya?"
"Mau kok. Aku juga baru setahunan di sini. Di sekitar sini yang sebaya sama aku nggak ada dan sekarang ada kamu. Mulai sekarang kita temenan?" Kenzie menelengkan kepalanya. Finza mengangguk mantap.
Sepasang cucu adam saling menautkan hati untuk memulai rajutan kisah baru. Kisah persahabatan yang baru saja dimulai untuk dipamerkan pada dunia. Apakah suatu hari waktu akan membuatnya terus berlanjut atau justru waktu yang merampasnya dari mereka. Entahlah. Yang mereka tau, mulai detik ini mereka adalah teman.

----

"Kenzie.." ucap Finza lirih. Gadis itu berdiri menghadap danau yang tenang. Semalam tadi tidurnya kurang nyenyak karena terus menerus memikir Kenzie. Entah apa yang pria itu lakukan saat ini.
Cuaca pagi ini masih sama dengan sore kemaren. Awan mendung yang tak kunjung beranjak, menghalangi senyum mentari untuk menyambut insan-insan yang baru saja terjaga dari tidur lelap mereka. Senyum mentari yang menjadi ucapan selamat pagi penyemangat bagi siapapun. Kini senyum itu bersembunyi malu-malu di balik awan hitam yang tampak geram.

     Mata besar Finza menyipit menatap punggung seorang pria yang sedang duduk di atas batu besar di depan danau. Berjarak 8 meter dari arah kanannya. Finza tak mengerti kenapa tiba-tiba saja jantungnya berdebar tak karuan, kenapa tiba-tiba saja pandangannya mengabur, dan kenapa tiba-tiba langkahnya tak bisa dihentikan.
Finza tertegun menatap wajah teduh yang saat ini berada tepat di hadapannya. Pria berwajah tampan dengan tatapan mata yang lembut. Sepasang matanya sedang asyik memperhatikan danau yang tak beriak dan menyaksikan pertunjukan tarian ikan-ikan kecil. Finza terus menatap punggung pria itu, sampai akhirnya hujan menyadarkan Finza. Finza ingin pergi dengan cepat, tapi pria itu membalikkan badannya lebih cepat lagi.
Mereka sama-sama mematung dan saling bertatapan. Tak mereka hiraukan ribuan air hujan yang merembes menjalarkan hawa dingin dalam tubuh mereka. Walaupun wajah mereka sudah sangat berbeda, namun tatapan mereka masih sama.
"Finza?" Pria itu berkata dengan lembut. Nyaris tak dengar karena berbaur dengan ritmik hujan yang keras.
Finza tak membalas. Dia terduduk lemas. Air matanya mulai berjatuhan, namun bercampur dengan air hujan sehingga tak lagi bisa dibedakan.
Pria itu memeluk Finza beberapa saat, kemudian mereka berdiri dan berjalan dalam hujan menuju sebuah rumah di dekat sungai.
"Kamu... kenapa di sini?" Finza membuka pembicaraan ketika mereka telah duduk di dalam rumah. Secangkir coklat panas telah terhidang di hadapan Finza saat ini.
"Aku selalu ke sini tiap tahun. Mungkin ini yang terakhir." Pria itu berdiri membelakangi Finza. Matanya menatap tajam ke luar jendela.
"Selalu? Tapi kenapa?" Finza menyesap coklat panasnya.
"Aku juga nggak tau. Mungkin kamu lupa, tapi aku nggak akan. Hari ini adalah hari pertama pertemuanku dengan seseorang yang bilang kalau aku ini temennya."
Finza tersentak. Tubuhnya serasa membeku. "Kenzie kamu masih inget itu?"
"Mau ke sungai? Hujan udah reda." tawar Kenzie tanpa menghiraukan pertanyaan Finza. Finza mengangguk dan mengikuti langkah Kenzie menuju sungai yang tak jauh dari rumah ini. Dulunya, ini adalah rumah kakek Kenzie, tapi entah kenapa mereka memilih keluar dari desa ini, sama seperti pilihan Finza dulunya.
"Kakek meninggal dan aku kembali ke orangtuaku." Kenzie berkata seolah baru saja membaca habis isi pikiran Finza.
Mereka kembali terdiam. Menatap aliran sungai yang jernih, di tambah lagi tumbuhan-tumbuhan airnya menyegarkan mata. Mereka berjalan bersebelahan di jembatan kayu yang digunakan sebagai penghubung untuk bisa sampai ke taman bunga luas yang ada di seberang sungai.
"Hujan adalah malaikat yang turun dari langit. Jadi, hujan adalah anugerah bagi setiap makhluk hidup yang tinggal di permukaan bumi ini. Hujan itu indah..." Finza merasa semakin terluka ketika Kenzie berkata seperti itu.

----

"...Bunyi rintiknya bak nyanyian merdu yang menggema. Aromanya yang lembut perlahan menyusup dan menciptakan kedamaian dalam hati." Kenzie mengakhiri kata-katanya. Finza bertepuk tangan dengan riuh, tak percaya dengan kata-kata puitis yang diucapkan teman barunya hari ini.
"Wahh.. Kenzie puitis deh." puji Finza tulus.
"Kakek yang ngajarin aku." jawab Kenzie antusias.
"Oh ya? Jadi di sini kamu tinggal sama kakek? orangtua kamu mana?"
"Iya. Ada sih, tapi di kota. Aku pengen aja tinggal di sini. Suasananya tenang. Kalau di kota kan Bising. Berisik." Kenzie mengangkat bahunya.
Finza hanya mengangguk-angguk mengerti.
"Kenzie, di seberang jembatan itu apa?" Finza menunjuk sebuah jembatan kayu.
"Kamu mau ke sana? di sana ada taman bunga yang luaaass banget. Pohon-pohonnya juga banyak." promosi Kenzie senang.
"Mau mau. Kita ke sana sekarang yuk?" ajak Finza tak sabar. Ditariknya tangan Kenzie dengan cepat. Kenzie hanya menurut dan menuntun langkah Finza menuju taman bunga di seberang sungai.
Mereka berteriak-teriak dengan keras. Tertawa bersama, kemudian berlarian di antara beraneka ragam bunga indah yang tumbuh di sana.
"Kenzie.. di sini ada dandelion. Kita tiup sama-sama yuk?" Finza menemukan sebuah bunga liar di sudut taman. Bunga bewarna putih dan mudah lepas jika ditiup.

----

"Ternyata masih sama ya? dari dulu suka banget niup dandelion." Kenzie memperhatikan Finza yang sedang duduk berjongkok meniup dandelion yang kemudian berterbangan seperti kapas.
Finza tersenyum tipis. "Ya. Aku suka banget dandelion. Nggak akan pernah berubah."
"Dan kamu juga nggak berubah?" pertanyaan Kenzie sontak membuat Finza terdiam. Dia sudah banyak berubah. Semuanya, kecuali cintanya untuk Kenzie.
"Kamu nggak usah jawab Fin. Waktu lima tahun yang kita lalui sama-sama nggak akan berkesan apa-apa dibandingkan dengan hari baru yang kita lewati setelah berpisah selama sepuluh tahun." Kenzie ikut berjongkok di sebelah Finza. Tangannya memainkan dandelion-dandelion yang berterbangan.
"Eh, ada pelangi tuh. Liat dari bukit yuk?" Finza memecah suasana kaku di antara mereka. Cerita-cerita sendu yang sudah lama ditutup, kembali dibuka dengan lebar oleh Kenzie. Finza tak ingin mengingatnya lagi. Karena saat ini, di tempat lain seseorang sedang menunggu kehadirannya kembali.

     Mereka melangkah menuju bukit yang letaknya tak jauh dari sungai. Orang-orang desa menyebutnya bukit pelangi. Karena dari atas bukit itu kita dapat menyaksikan pelangi dengan jelas. Dari atas sana, pelangi tampak seperti jembatan menuju langit. Spektrum-spetrum warnanya seolah bergandengan tangan dan tersenyum ke arah orang yang menyaksikannya.
"Kamu lebih cantik dari pelangi itu." Kenzie berkata tiba-tiba. Finza bingung, apakah dia harus berbahagia dengan pujian Kenzie atau justru bersedih hati. Karena sebesar apapun cintanya pada Kenzie, untuk saat ini dan seterunya hanya bisa dimasukan ke dalam kotak impian yang takkan mungkin bisa untuk diwujudkan.

----

"Kenzie, cantikan aku atau pelanginya?" Finza tertawa sambil berpose-pose seperti artis terkenal.
"Ah Finza ah. Mending tadi nggak usah aku bawa ke sini. Hehe.."
"Yah.. Kenzie gitu.." Finza memanyunkan bibirnya.
"Nggak kok. Gimana? Pelanginya tambah bagus kan kalau diliat dari atas bukit?" tanya Kenzie. Dia sangat berharap kalau Finza menyukainya.
"Iya. Aku pengen tiap hari ke bukit pelangi ini."
"Nggak masalah. Tiap hari aku bakal temenin kamu." janji Kenzie.
Kemudian mereka berdua tertawa bersama. Awal perkenalan yang sangat indah untuk sebuah hubungan yang dinamakan teman. Mereka sama-sama mengukir harapan dalam hati, agar hari esok, esoknya lagi, dan esoknya lagi mereka bisa terus bersama-sama seperti ini. Sampai kapan pun.

Penulis: Sahila Daniara


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...