Cerpen Terima Kasih Telah Mencintaiku


Bekali-kali kulihat layar ponsel dan layar itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berbunyi. Sudah kurang lebih satu bulan dia tak menghubungiku. Dia yang selalu mengejar cintaku, dia yang selalu mengirimkan kata-kata indah, dan dia yang rela tak berstatus demi mendapatkanku. Sekarang aku adalah gadis 17 tahun dan dia menyukaiku sejak kami masih berseragam putih biru. Ya, sekolah menengah pertama. Aku tak tahu kapan percisnya yang jelas kala itu aku tak pernah menanggapi responnya. Malah aku selalu meledeknya dengan salah seorang sahabatku yang menyukainya. Dan yang membuatku heran adalah dia tak pernah marah ataupun membalasku, hanya tersenyum memandangku sebentar kemudian pergi. Memang dia tak pernah mengungkapkan kalau dia mencintaiku tapi aku tahu dari caranya yang tak biasa menatapku.

Kelulusan yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba dan ini saatnya aku dan dia harus berpisah, aku mendapatkan sekolah terbaik di kotaku sedang dia hanya bersekolah di sekolah yang baru saja selesai dibangun. Prinsipku adalah lebih baik menjadi orang bodoh di kalangan orang pintar daripada harus menjadi orang pintar di antara orang biasa-biasa saja. Dan benar saja, karena SMP kami adalah SMP terpandang jadilah dia ikut dalam segala keorganisasian di sekolahnya. Sedang aku just ordinary girl yang yaaa mungkin bisa dibilang pelengkap penderitaan.

Perlahan tapi pasti, pupuk-pupuk itu menumbuhkan tanaman yang bernama cinta tanpa aku sadari. Hubungan kami tak pernah putus karena dia selalu mengirim pesan-pesan singkat. Saat itu kami berumur 15 tahun. Dan semenjak kelulusan itu untuk pertama kalinya kami bertemu. Awalnya agak kagok juga tapi lama kelamaan pembicaraan mengalir begitu saja,“Kapan aku bisa jadi pacarmu? Aku capek gini terus, aku nggak bisa nolak cewek-cewek yang suka sama aku tanpa alasan yang jelas”.

“Terima aja, gampang kan”, jawabku pendek.

Kulihat dia menghembuskan nafas panjang, menata hati kemudian berbicara lagi,”Aku memang gak pernah bisa ngerti kamu. Hatimu tak pernah bisa kutebak. Mengertilah aku sedikit”.

“Ribet banget sih, yang penting kita udah saling tahu kalo kita cinta satu sama lain”, kali ini nadaku agak meninggi. Terus terang aku gak suka komitmen, aku gak suka status. “Aku pengen langsung nikah, aku pengen nikah muda, lulus kuliah langsung nikah”, lanjutku.

“Tapi kita kan masih SMA, kuliah masih lama. Dan aku gak mau buru buru nikah, terlalu muda, Din”

“Kalo kamu gak mau juga gak apa, aku mau cari laki-laki matang yang berpikiran dewasa yang bisa ngemong aku”.

Dan itu menjadi sebuah awal yang buruk dari hubungan kami. Meski dia masih terus menghubungiku. Hipokrit sebenarnya bila aku menolaknya, karena aku pun mulai mencintainya. Mencintai cara dia mencintaiku.

“Apa? Jadi dari lahir lo belum pernah pacaran? Gilee, tahan banget. Adek gue aja ni yang masih SD udah pacaran tiga kali”, gelak tawa Lita, teman dekatku, membuatku agak tersinggung juga. Gimana enggak, masak aku disamain sama adeknya yang masih SD. Sedang aku udah SMA. Kata mama si aku gak jelek-jelek amat. Mungkin nasib yang belum memihak kepadaku. Mungkin juga aku terlalu baik untuk sekadar mendapatkan teman-temanku yang kucel dan dekil yang kerjaannya cuma belajar dan belajar. Dia, dia pasti mau jadi pacarku. Daripada diledek Lita terus mending aku segera berubah status. Tapi gak mungkin, aku kan udah bertekad gak mau berkomitmen sama dia. Dia yang dari tadi aku ceritakan bernama Doni, sengaja tak kusebut namanya setiap kali kuceritakan karena dialah yang akhir-akhir ini membuat aku galau. Sudah sebulan lebih tak ada kabar. Aku malu untuk sekadar menghubungi terlebih dahulu, aku sadar aku perempuan.

Akhirnya meski dengan menyimpan malu aku mencoba untuk mengirim pesan untuknya,”Heii, apa kabar? Sibuk ya? :D”

“Baik. Iya ni sibuk sekarang”, balasnya sangat singkat. Ya Tuhan, aku malu sekali. Harusnya aku tak usah mengiriminya pesan, ini sama saja merendahkan harga diriku. Mulai saat itu aku berjanji tak mengiriminya pesan. Aku tak mau memulai, dia harus sadar dialah lelaki, dialah yang harus memulainya. Aku rasa dia masih mencintaiku karena pada saat umurku genap 17 tahun dia mengirmku kata-kata indah. Yang aku sesalkan adalah kata-kata terakhir. Dia menuliskan namanya di akhir kalimat. Ganjil sekali pikirku. Tanpa dia harus menuliskan namanya pun aku sudah tahu kalau itu pesan darinya. Jelas-jelas nomer ponselnya sudah aku save dari jaman batu. Mulai saat itulah aku selalu berasumsi buruk tentangnya. Pertama, dia mulai bosan padaku karena aku tak pernah bisa dimengerti olehnya. Kedua, dia membutuhkan cinta yang pasti yang selalu bisa berada di dekatnya saat dia merasa membutuhkan bahu. Ketiga, dia sibuk dengan semua kegiatannya yang menurutku membosankan sekali dan aku tak pernah suka dengan semua kegiatannya. Keempat, dia sudah punya pacar. Asumsi-asumsi ini membuatku setengah gila. Hidup dibayangi asumsi bodoh yang tak pernah aku tahu kebenarannya. Hidupku sudah pincang, semua terasa hambar. Saat aku mulai menyukai caranya merayuku, caranya memintaku untuk menjadi pacarnya, bahkan caranya memintaku untuk makan. Perlahan membuatku takut kehilangannya dan aku sadar aku mulai ditinggalkan. Jangankan bertemu untuk sekedar membalas pesan-pesan singkat dariku saja agaknya sudah menjadi hal berat untuknya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tak memulai, tapi hatikulah yang menuntun untuk hanya mengirim pesan say hello padanya. Benar kata Sheila on 7 yang liriknya, “Kau takkan pernah tahu apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan”, dan kini benar-benar kehilangan setelah semua yang aku lewati, setelah semua yang dia berikan kepadaku. Untuk kali pertama aku benar-benar merasa menjadi pecundang.

Menatap kosong keluar jendela. Hujan menyisakan pelangi sebagai penghias langit. Ah, indah. Tapi tak seindah hatiku kini. Aku masih berjuang untuk menghapus sisa-sisa kenangan dan ingin segera membuang jauh-jauh perasaan ini. Mungkin lebih baik begini, lebih baik sendiri. Ini yang selalu aku takutkan, ditinggalkan, ditinggalkan kenangan. Tiba-tiba aku merasa tak pantas untuknya. Dia sekarang menjadi lelaki hebat, dengan jabatan Ketua Osis membuatnya merasa di awan. Sungguh, aku tak pernah berharap dia bosan dengan semua rutinitasnya dan kembali padaku. Karena akulah yang menancapkan duri dalam hatinya maka aku pula yang akan mencabutnya kemudian membuangnya. Rindu itu masih ada saat tahu bahwa dia telah menjalin hubungan khusus dengan rekan dalam organisasinya. Biar saja aku yang merasa sakit sendiri, biar saja aku menangis kemudian menyekanya sendiri. Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang bisa menggantikan dia. Bahagia pernah menjadi sepotong cerita masa lalunya. Meski menyesal telah mencintainya.

Beberapa bulan lagi kami akan berpisah, kota impian kami beda dan lagi misi dan visa kami beda dan dia sudah menjadi milik sesorang yang beda, sayang bukan aku yang akan memiliki hatinya seutuhnya. Aku ingin melanjutkan kuliahku di kota impianku, Depok. Dulu saat kami masih dekat, sepertinya dia ingin menetap di Jogja dan meneruskan impiannya untuk menjadi seorang wartawan. Beberapa bulan ini mungkin akan menjadi saat terberat bagiku. Tapi aku tak mau terkalahkan oleh hati. Perasaan akan aku singkirkan, aku tak ingin sakit lagi, aku tak ingin menangis lagi. Dan beberapa bulan ini akan menjadikan aku lebih kuat melangkah sebagai remaja yang siap meraih semua impiannya. Semoga!


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...