Skip to main content

Cerpen Asembagus, Situbondo


     Arum cepat-cepat melepaskan sandal jepitnya yang usang. Melipat celana panjangnya. Lalu, merendam kakinya buru-buru. Ia duduk di bibir sungai. Merendam kaki mungilnya di sungai kecil itu. Cara ini memang selalu ampuh melepas duka Arum. Dalam tatapan kosongnya, Arum terisak sedih kehilangan sahabat 'tua'nya telah dibabat habis oleh orang-orang kekar yang membawa gergaji listrik.

"Paman pohon asam, semoga paman ditempatkan di surga, ya. Terimakasih sudah menemani Arum ketika belajar dan bermain. Kaso'on," sambil memandangi buah asam yang ia ambil, Arum menahan air suci keluar dari pelupuk matanya.

"Wira," tiba-tiba, terdengar suara lembut dari seorang pemuda. "Namaku Wira," tegasnya sekali lagi ketika Arum menoleh ke arahnya. Pemuda itu mengulurkan tangannya. Mengajak Arum berkenalan. Kemudian duduk di sebelahnya.

     Dengan nada canggung, Arum menyambut tangan Wira, "Arum." Sejenak kemudian, Arum memaksakan senyumnya seperti anak usia 9 tahun kebanyakan, kemudian menunduk. Melihat kakinya yang digigit kecil oleh ikan-ikan kecil.

"Oh, ya. Maaf ya, kak. Arum harus cepat-cepat pulang. Takut diculik!" mata Arum melotot, membuat wajahnya amat menggemaskan. Karena Arum teringat sesuatu. Sesuatu yang selalu ibunya bilang. Hati-hati dengan orang asing.

Wira tersenyum, mengiyakan. Tatapan Wira seakan mengatakan : sebenarnya saya bukan orang asing, bahkan orang jahat. Kamu sebenarnya amat mengenalku, Arum.

"Arum?" Wira memanggil Arum saat Arum hendak memakai sandalnya.

"Buah asam ini?"

"Ah! Ya, kak. Terima kasih," jawab Arum sambil mengambil asam yang ia jatuhkan ketika hendak berdiri dari tangan Wira.

"Daaah, Kak Wira!" Arum pergi sambil melambaikan tangan. Wira tersenyum sinis. Wira tiba-tiba menghilang, membias bersama cahaya yang menyilaukan.

----

     Di tengah perjalanan pulang, Arum menjatuhkan buah asam yang dibawanya. Ketika Arum hendak memungutnya, seseorang tak sengaja menginjak buah asam itu, "Krekkk..." Entah apa yang dipikir Arum kemudian. Ia hanya melongo ketika membungkukkan badannya. Kemudian terduduk lemah di tanah yang berdebu itu. Tatapannya kosong. Tak percaya tentang apa yang barusan terjadi.

     Antara khayalnya yang terbang entah kemana dan sadarnya, sesuatu yang diluar nalar manusia terjadi. Jalanan aspal, rumah-rumah penduduk yang berdiri kokoh, ibu-ibu yang bergossip di toko kelontong, serta apa-apa yang ada di zaman itu, lagi-lagi terbiaskan menjadi cahaya silau yang merusak mata bila dipandang 5 detik. Sama seperti Wira yang menghilang dimakan cahaya. Dunia seperti diputar berlawanan dengan arah jarum jam, diputar amat cepat bagai globe yang biasa dimainkan Arum di ruang kelasnya. Namun, Arum tak merasakan apa-apa.

     Arum mencubit pipinya. Bundar mata Arum terbelalak! Arum berdiri takjub. Suasana kerajaan pekat terasa. Perempuan desa memakai kemben, lelaki memakai sarung dan bertelanjang dada, anak-anak memainkan permainan tradisional yang samar-samar dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang, serta....

"Woro-woro! Woro-woro!" sontak, setiap aktivitas masyarakat terhenti. Merapat pada arah datangnya suara.

"Wahai penduduk kerajaan Sok Parse. Sesuai titah dari Baginda Raja Buto Ireng, setiap warga wajib menyerahkan tiga per empat dari hasil usahanya. Bila tidak, istri serta anak-anak kalian yang akan dijadikan budak kerajaan. Atau nyawa kalian jadi upeti itu," lantang lelaki berbadan kekar berbaju bagus yang dilengkapi aksesoris dari emas yang ada di kepala serta pergelangan tangan. Ia gagah dengan mengendarai kuda coklat yang gagah pula.

     Setelah menyampaikan woro-woro, lelaki yang diketahui sebagai Patih Singo Petteng kerjaan Sok Parse tersebut bersama prajuritnya pergi meninggalkan keramaian penduduk. Mereka melewati Arum yang sedang melongo. Memandang Arum dengan aneh. Karena ia satu-satunya orang yang berpakaian bagus saat itu, pakaian modern. Kaos lengan panjang warna pink lembut dipadukan celana jeans ketat dengan ujung meruncing di bagian bawah, -masyarakat zaman modern sering menyebutnya celana pensil-. Namun, Patih Singo Petteng tak acuh.
Selepas Patih Singo Petteng dan prajurit meninggalkan tempat tersebut, masyarakat berdiskusi, menggerutu satu sama lain. "Bagaimana bisa membayar upeti? Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan saja hanya setengah hari terpenuhi," bisik-bisik seseorang mengganggu telinga Arum. Penuh iba.

"Padahal, saya kira bermukim di tempat ini akan membuat hidup kita jadi lebih baik. Kabur dari Kerajaan Barat. Tapi, sejak Buto Ireng serta pengikutnya kalah dari perang dan kabur kemari juga, didirikanlah kerajaan Sok Parse yang membuat hidup kita sama menderitanya seperti dulu," sesal seorang wanita paruh baya yang menggenggam geram seikat sayur pakis yang baru saja dibelinya.

"Sudahlah, bu. Sabar..." seorang lelaki yang lebih tua dari wanita itu menenangkannya. Rupanya, ia adalah suaminya. "Saya usahakan akan membayar upeti agar keluarga kita selamat."

"Saya kabur dari Kerajaan Blambangan. Berharap ada lahan yang nyaman tanpa kekuasaan raja. Tapi..." kalimat lelaki tua yang telah beruban terpotong, pahit mengingat masa kerajaan Blambangan yang lebih baik daripada di kerajaan Sok Parse ini.

     Arum menggeleng sendiri. Ia hanya mengamati keadaan sekitar dengan matanya yang binar dan polos. Meninggalkan kerumunan orang tadi yang sama sekali tak menggubrisnya. Di tengah perjalanan yang entah kemana kaki Arum menapaki jejal-jelal jalanan yang bergerigi oleh bebatuan, ia melihat seorang yang tak asing baginya.

     Dua orang berpakaian putih-putih terlihat amat suci sedang beristirahat di bawah pohon asam yang amat kokoh. Teduh sekali di sana. Mereka berbagi air yang disimpan dalam kendi serta nasi gulung yang kelihatannya amat lezat bagi Arum. Arum menelan ludah. Mendekati dua orang suci itu.

     Seorang telah tua, memiliki janggut putih serta memakai surban yang dililitkan di atas kepalanya. Sedangkan satunya masih muda, umurnya sekitar 16 tahunan. Namun, punya rahang kokoh yang menunjang ketampanan dan kharismanya. Kak Wira, kah?. Melihat Arum yang semakin mendekat pada kedua lelaki itu, lelaki tua menyambutnya dengan ramah. "Cah ayu, kenapa kamu sendiri di dalam hutan ini? Amat berbahaya."
Arum menggeleng.

"Kamu lapar, bukan?" tanya lelaki yang lebih muda kepada Arum.

Arum mengangguk.

"Muridku, Wira Bagus Prasetyo. Baru saja gagakku berkata bahwa ada seorang raja yang bengis terhadap rakyatnya. Ia membebaninya dengan upeti yang sangat besar," sambung lelaki tua itu setelah gagak mata-matanya telah datang. Arum mendengarkan penuh antusias sambil mulutnya yang penuh mengunyah makanan.

"Menurut penerawanganku, akan banyak nyawa yang melayang sia-sia karena rakyat di kerajaan itu banyak yang tak bisa membayar upeti."

"Jadi, apa yang seharusnya kulo lakukan, guru?"

"Datanglah ke kerajaan itu! Aku dengar, nama kerajaannya ialah Sok Parse. Sebaiknya malam ini kamu harus berkemas dan menuju kerajaan itu. Namun, aku tak bisa mendampingimu. Aku harus segera kembali ke padepokan."

"Kulo siap, guru."

"Bawalah ini, tanamlah sebelum engkau bertarung dengan Raja yang bengis itu," Ki Ageng Kertasoma, guru Wira memberikan 5 biji pohon asam pada Wira Bagus.

     Wira Bagus segera berkemas, manjalankan titah gurunya, Ki Ageng Kertasoma. Sedangkan Arum, selepas ia menghabiskan makanannya, ia terlihat ketakutan. Tak membayangkan apa yang akan terjadi pada pertarungan antara pendekar dan Raja. Apakah akan ada banyak darah? Siapa nanti yang akan menang? Bagaimana kak Wira memenangkannya sedangkan Raja punya banyak prajurit. Tapi, kak Wira hanya punya 5 biji pohon asam? Arum jadi teringat tentang sinetron di salah satu stasiun televisi yang gemar menayangkan tentang kisah kerajaan. Gelisah hati Arum. Sialnya, Wira Bagus mengajak Arum ke kerajaan Sok Parse.

     Menempuh hutan belantara, siang-malam jadi teman perjalanan, serta hewan buas silih berganti 'mengawasi' Arum dan Wira Bagus. Rasa-rasanya, Arum beranjak dari kampung kerajaan Sok Parse sampai bertemu Wira Bagus dan Ki Ageng hanya butuh beberapa langkah, mengapa sekarang bisa jadi sejauh ini? Tak habis pikir.
Hingga ketika bekal Wira Bagus dan Arum habis, sampailah mereka di tempat tujuan. Tempat dimana pertama kali Arum sadar dunia modern-nya secara ajaib berganti jadi zaman kesengsaraan, mundur beratus tahun silam. Kebetulan, pada waktu yang bersamaan saat mereka menginjakkan kaki di wilayah kerajaan tersebut, Patih Singo Petteng bersama prajuritnya sedang menagih upeti.

     Nanar, mata Wira Bagus menangkap proyeksi rakyat yang diperlakukan semena-mena. Hasil kebun, hewan ternak, hasil berdagang, dan hasil jerih payah rakyat lainnya dirampas! Kakek tua renta yang sudah tak dapat bekerja pun tak luput dari kekejaman penguasa. Alhasil, cucunya yang cantik jelita dipaksa menjadi budak di kerajaan. Sungguh malang.

"Kak Wira, kak Wira..." polos Arum menarik-narik baju putih Wira Bagus.

"Ya?"

"Kita kan sama-sama rakyat Indonesia. Tapi, kenapa Raja tega menyiksa rakyatnya sendiri? Hubungannya tidak H-A-R-M-O-N-I-S."

Wira tersenyum, mengusap lembut kepala Arum, "Mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok. Kamu masih terlalu kecil tahu masalah politik, cah ayu"

"Wahai, pemuda! Serahkan upetimu!" bentak Patih Singo Petteng dengan amat berwibawa namun tegas pada Wira Bagus.

"Nyuwun sepuro. Saya tidak memiliki harta apapun."

"Ah! Omong kosong! Prajurit, periksa buntalan yang ia bawa!"
Prajurit memeriksa buntalan yang dibawa oleh Wira Bagus. Namun, yang ada hanyalah baju-baju Wira Bagus.

     Tak ada benda berharga yang pantas dijadikan upeti. Namun, melihat perawakan Wira Bagus yang gagah bak pendekar, Patih Singo Petteng berfikir akan mengangkatnya sebagai pimpinan perang, mungkin. Tapi, ia tak akan menyangka bahwa kedatangan Wira Bagus sesungguhnya ialah memberontak kepemerintahan Raja Buto Ireng.

"Sebaiknya, kamu ikut saya ke kerajaan menghadap Raja Buto Ireng!"

Sesampainya di pusat pemerintahan kerajaan Sok Parse, Wira Bagus dihadapkan kepada Raja Buto Ireng. Arum berdiri di samping Wira Bagus. Namun, tetap tak dihiraukan oleh penghuni kerajaan.

"Ampun, Baginda. Pemuda ini begitu lancang masuk wilayah kerajaan Sok Parse. Selain itu, ia tak membayar upeti," terang Patih Singo Petteng sambil bersimpuh di hadapan Raja.

"Jadi, untuk apa kau buang waktuku hanya untuk meladeni dia? Mengapa kau tak penggal saja kepalanya?!" Sang Raja rupanya murka.

"Ampun, Baginda. Setelah hamba pikirkan, ada baiknya kita jadikan dia panglima perang."

"Apa?! Mohon ampun, Patih Singo Petteng dan Raja Buto Ireng yang berkuasa, lebih baik kulo mati daripada dijadikan pembantu kerajaan yang bengis!" Wira Bagus menyela.

Raja tersentak mendengar jawaban Wira Bagus. Biasanya, tak ada satu pun yang menentang titahnya. Namun, kali ini ia temukan seorang pemuda pengembara yang tak kenal ancamannya.

"Baiklah, anak muda. Aku terkesan dengan keberanianmu. Aku tak ingin kamu mati sia-sia. Aku ingin bertarung denganmu. Sampai titik darah penghabisan!" tantang Raja.

"Ampun, Baginda. Apakah baginda yakin?" tanya Patih dengan sangat berhati-hati.

"Kau meragukanku? Mana bisa pemuda itu bisa mengalahkanku dengan tangan kosongnya?"

"Baiklah! Saya terima tantangan Raja," Wira Bagus menyanggupi. Arum yang masih polos menelan ludahnya. Benar-benar seperti yang ada di televisi! Wira Bagus kemudian menyambung kalimatnya, "Namun, sebelum bertarung, hamba minta izin untuk menanam biji pohon asam ini di taman kerajaan."

"Hahaha.... Silahkan, aku anggap itu permintaan terakhir."

     Tanpa diaba-aba, Wira Bagus menanam biji pohon asam itu di taman kerajaan Sok Parse. Semoga kamu bisa membantuku. Desah Wira Bagus dalam hati. Setelah menanamnya, pertarungan pun dimulai. Raja menggunakan pedang yang terhunus mengerikan. Sedangkan Wira Bagus hanya mengandalkan ilmu silatnya serta do'a yang tak henti ia panjatkan untuk keselamatannya. Kini, Arum berdiri jauh dari Wira.

     Wira berdiri di sekitar tanah yang telah ditanami biji pohon asam. Wira Bagus dengan lincah dapat menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh Raja Buto Ireng. Hingga kesempatan Wira Bagus untuk menyerang Buto Ireng, tiga kali pukulan ke arah dada, 3 kali pukulan ke arah perut, serta 1 kali pukulan pamungkas yang diajarkan oleh Ki Ageng cukup membuat Buto Ireng bermandikan darah. 1 kali pukulan lemah ke arah dada atau perut, akan membuat Buto Ireng mati. Namun, Wira Bagus membiarkan Buto Ireng agar tetap hidup, dengan harapan sifatnya akan berubah.

     Sangat heroik apa yang telah dilakukan Wira Bagus. Memang sifat licik tak akan lepas dari hati Buto Ireng. Ia memulihkan dirinya. Membaca aji-ajian yang membuat proses penyembuhannya lebih cepat. Kemudian, Buto Ireng mendorong dari belakang badan Wira Bagus. Sehingga, tubuh Wira Bagus tersungkur di atas rerumputan kerajaan. Buto Ireng dengan sigap mengambil pedangnya. Menghunuskan ke leher Wira Bagus.

"Kalaupun ini akhir dari hidupku, aku berharap rakyat kerajaan ini tidak menderita lagi," Wira mengendus pasrah, melepaskan kebencian yang ia punya. Berharap kematiannya takkan sia-sia.

     Seketika itu, keajaiban datang! Biji pohon asam yang ditanam Wira Bagus pertumbuhannya tak terduga. Amat cepat! Benih yang tengah menyaksikan pertarungan itu geram. Tumbuh bersama kebencian karena kesewenang-wenangan serta kelicikan Buto Ireng.

     Batang, daun, ranting, akar, serta buah pohon asam yang baru tumbuh itu terlihat amat tua. Seperti pohon yang telah berusia puluhan tahun. Dahan dan ranting yang biasanya rapuh serta mudah patah, menjadi kekar, lebih kekar dari tubuh Buto Ireng, Singo Petteng, serta prajuritnya. Menggapai-gapai tubuh Buto Ireng yang siap memenggal leher Wira Bagus. Kemudian, dahan dan ranting pohon asam melilitnya.

     Pohon asam mengambil pedang dari tangan raja, tak ada ampun lagi, pohon asam menghunuskannya pada Buto Ireng. Raja susah bernafas, darah segar yang cair jatuh perlahan dari leher raja yang disentuh oleh mata pisau yang tajam. Nafas Arum tertahan di tenggorokan, ia tersengal mendapati kejadian tersebut. Biasanya, ia melihat leher sapi terpotong, disembelih untuk qurban. Tapi ini? Ini sungguh nyata. Pembunuhan yang dilakukan oleh pohon asam pada manusia!

     Nafas para penghuni kerajaan tertahan. Tegang. Beberapa saat kemudian, terdengar sorak sorai dari penghuni kerajaan yang ternyata adalah budak. Mereka berduyun-duyun mengerumuni Wira Bagus dan pohon asam. Sepeninggalan Raja Buto Ireng, kekuasaan jatuh pada Wira Bagus. Ia merawat dengan penuh kasih dan cinta pohon asam yang telah menolongnya. Baginya, pohon asam itu simbol pelindung sekaligus simbol 'pembersihan' daerah bekas kesewenang-wenangan penguasa.

----

     Jam berdentang lima kali. Arum kembali membuka buku IPSnya. Tiba-tiba, ia teringat kembali pesan terakhir yang disampaikan kak Wira sambil mengusap poni Arum, "Arum, terima kasih selama ini kamu menjaga dan bermain dengan pohon asam ini. Saya juga ikut bersedih karena kehilangan pohon asam di daerah ini. Namun, apa daya. Zaman telah berubah. Memang sudah saatnya pohon asam beristirahat bersamaku, di tempat yang telah dijanjikan. JASMERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"

Arum menyeringai, "Asembagus!"

Penulis: Wahyu Gemilang


Comments

  1. buy spironolactone onlineis used to treat hypertension and cardiovascular breakdown. Bringing down hypertension forestalls strokes, cardiovascular failures, and kidney issues. Spironolactone fills in as a diuretic, which implies that it makes the body eliminate additional fluid. Decreasing fluid in the body can bring about bodyweight reduction.

    ReplyDelete

Post a Comment

Informations From: Omnipotent

Popular posts from this blog

The Painting of Destiny

"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...

Good Morning America is a popular

Good Morning America is a popular morning news show that airs on ABC. It has been a staple in American households since its debut in 1975. The show covers a wide range of topics including news, entertainment, lifestyle, and pop culture. With its team of talented hosts and reporters, Good Morning America provides its viewers with the latest updates on current events and trending stories. One of the things that sets Good Morning America apart from other morning shows is its lively and energetic atmosphere. The hosts, including Robin Roberts, George Stephanopoulos, Michael Strahan, and Lara Spencer, bring a sense of fun and camaraderie to the show. They engage with their audience and each other in a way that feels genuine and relatable. In addition to its engaging hosts, Good Morning America also features a variety of segments that cater to a diverse audience. From cooking demos and fashion tips to celebrity interviews and human interest stories, the show offers something for everyone. Wh...

The liz hatton

The liz hatton is a unique piece of headwear that has been gaining popularity in recent years. This hat is characterized by its wide brim and low crown, which gives it a distinctive and fashionable look. The liz hatton is often made of materials such as wool, felt, or straw, making it a versatile accessory that can be worn in various seasons. One of the key features of the liz hatton is its versatility. This hat can be dressed up or down, making it suitable for a range of occasions. Whether you're going for a casual look or a more formal outfit, the liz hatton can easily complement your ensemble. Additionally, the wide brim of the hat provides excellent sun protection, making it ideal for outdoor activities such as picnics or garden parties. In terms of style, the liz hatton can be compared to other types of hats such as the fedora or the boater. While these hats may have similar silhouettes, the liz hatton stands out for its unique shape and design. The low crown and wide brim of ...
  • Cerpen Penjual Ikan

    Seseorang mulai berjualan ikan segar dipasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan ”Disini Jual Ikan Segar” Tidak lama kemudian datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisannya. ”Mengapa kau tuliskan kata :DISINI ? Bukankah semua orang sudah tau kalau kau berju... Readmore

  • Cerpen Cinta Dan Waktu

    Alkisah disuatu pulau kecil tinggallah benda-benda abstrak seperti cinta, kesedihan, kekayaan, kebahagiaan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Suatu ketika datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan segera menenggelamkan pulau itu. Semua penghun... Readmore

  • Menemukan Damai Melalui Kristus

    Baca: Roma 5:1-11 "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." (Roma 5:1) Jutaan orang di dunia selalu mencari damai sejahtera tetapi tidak bisa memperolehnya. Semakin mendekat ke damai itu (yang hanya ditemu... Readmore

  • Menyangkal Diri

    Baca: Lukas 9:22-27 "...Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." (Lukas 9:23) Paulus berkata, "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." (Galatia 2:20). ... Readmore

  • Menari dalam Badai Kehidupan

    Menari dalam Badai Kehidupan Markus 4:35-41 Badai kehidupan dapat menimbulkan perasaan bahwa Tuhan jauh dan tidak memedulikan kita. Ia seakan-akan diam, tak peduli, dan membiarkan kita mati-matian menghadapi badai. Akhirnya dalam ketakutan kita merasa akan tenggelam dan binasa. Kepercayaan kepada ... Readmore

  • Cerpen Gadis Kecil Dengan Kotak Emas

    Di sebuah keluarga miskin, seorang ayah tampak kesal pada anak perempuannya yang berusia tiga tahun. Anak perempuannya baru saja menghabiskan uang untuk membeli kertas kado emas untuk membungkus sekotak kado. Keesokan harinya, anak perempuan itu memberikan kado itu sebagai hadiah ulang tahun pada ... Readmore

  • Cerpen Darimana Kebahagiaan Itu Sebenarnya?

    John C Maxwell suatu ketika pernah didapuk menjadi seorang pembicara di sebuah seminar bersama istrinya. Ia dan istrinya, Margaret, diminta menjadi pembicara pada beberapa sesi secara terpisah. Ketika Maxwell sedang menjadi pembicara, istrinya selalu duduk di barisan terdepan dan mendengarkan semina... Readmore

  • Cerpen Lampu Merah

    Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Mike segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kun... Readmore

  • Melangkah Di Jalan Yang Benar

    Baca: Matius 7:12-14 "karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya." (Matius 7:14) Perjalanan hidup ini penuh dengan liku-liku. Ada jalan yang terjal, curam, mendaki dan kadang penuh dengan onak duri. Meski demikian kita tidak boleh meny... Readmore

  • Doa Yang Di Jawab

    Baca: Yohanes 16:16-33 "Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu." (Yohanes 16:24) Mari belajar tentang doa sebab doa adalah yang paling utama dan paling sederhana dari semua praktek kekristenan. Doa yang terjawab ... Readmore