Pembalasan


Sore itu, hujan yang beradu dengan angin menghantam di sebuah daerah perumahan yang terbilang masih layak huni. Petir sesekali melontarkan geramannya, gelap menyelimuti langit walau matahari sebenarnya masih bersembunyi di baliknya. Terdapat rumah sepi berlantaikan keramik dan bertingkat dua yang berhadapan dengan masjid yang selalu mempunyai kegiatan berkumandang lima kali sehari. Rumah itu bagai lahan kosong yang tak berpenghuni, sunyi sepi tanpa suara.


Di kamar atas terdengar isak tangis seorang perempuan yang setengah lemas, di sampingnya tergolek bayi kecil berjenis kelamin laki-laki berlumuran darah segar dan diselimuti dengan tirai. Tampaknya perempuan tersebut baru saja melahirkan dan tak seorang pun mengetahuinya apalagi membantunya. Perempuan tadi dengan sedikit tenaga membungkusnya dengan tas keresek. Dengan langkah yang terseok-seok, dia membawa tas berisi manusia yang baru melihat dunia tersebut ke depan masjid depan rumahnya yang kebetulan saat itu tidak ada orang beserta kegiatan yang berlangsung.


“Maafkan Ibumu nak.” Bisik perempuan itu dengan lirih disertai tetesan derai air mata yang bercampur hujan sore itu. Dia menaruh bayi tersebut tepat di depan pintu masjid yang tertutup itu. Berharap ada yang menemukan dan bersedia merawatnya. Dengan diiringi petir, dia berjalan menjauh dan kembali ke kamarnya.


Tak lama setelah kejadian tersebut, seorang muadzin yang hendak melantunkan adzan maghrib melangkah masuk masjid dan menemukan tas kresek di depan pintu masjid.
“Dasar orang tak bertanggung jawab, naruh sampah di tempat suci.” Seketika dilemparkannya tas kresek tersebut ke tempat sampah di bawah pohon mangga tanpa tahu apa isinya.
“Ada apa Bang Saleh?” Sapa ustadz yang biasanya menjadi imam saat jamaah menunaikan sholat di tempat ini.
“Eh Pak Ustadz, ini lho Pak, ada orang buang sampah di pintu masjid, buakankah itu dosa besar?”
“Sudahlah, jangan berpikiran buruk, mari lekas mendirikan sholat maghrib.”
“Oh iya, saya lupa, mari Pak.”


Keesokan paginya, aktivitas dimulai dengan bunyi gesekan sapu dengan tanah, suara ternak yang riuh seperti siswa dalam kelas. Tak lama terdengar teriakan dari arah tempat sampah sekitar masjid.
“Tolong! Mayat!” Teriak petugas kebersihan.
Semua orang bergegas menuju tempat tersebut dan melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa di dalam tas kresek hitam tersebut tergolek seonggok bayi tak bernyawa yang tubuhnya membiru dan dikrumuni lalat di tempat sampah yang terletak di bawah pohon manga depan masjid tersebut. Salah seorang warga yang melihat segera berbalik ke rumah depan masjid dan mengunci diri di kamar. Tak lain dia adalah ibu dari bayi malang tersebut.
“Maafkan ibumu, anakku.” Dengan mendekap sebuah bantal, dia terus menangis terisak-isak.




Mira, seorang perempuan cantik yang selalu berganti-ganti pacar saat SMA. Dia selalu memilih seorang laki-laki yang menurutnya bisa memuaskannya dari setiap permintaan yang dilontarkannya. Ketika lelaki tersebut tak sanggup, maka yang keluar hanyalah kata-kata putus.
Sampai suatu hari, dia mendapatkan sosok kekasih yang bernama Geralds. Tampan dan tajir, idaman setiap perempuan. Dia berhasil menaklukkan hati Mira dengan mengabulkan setiap permintaannya. Kalung emas, handphone, peralatan kosmetik, semuanya dipenuhi layaknya seorang pasangan suami istri. Namun Geralds bukanlah orang yang bodoh, dia juga meminta suatu hal kepada Mira. Akhirnya, suatu hari Mira diputuskan oleh Geralds karena Mira telah mengandung dan Geralds tak mau mengakuinya.


Berbulan-bulan Mira menyembunyikan semua itu dari orangtua dan semua orang yang dikenalnya. Walaupun dia selalu masuk dan mengikuti semua pelajaran, tak tampak sekali akan perutnya yang lambat laun membesar. Bermodalkan jaket dan baju yang sedikit longgar, taktik jitu tersebut berhasil mengelabuhi mata teman dan keluarganya. Geralds pun sudah pindah sekolah karena takut rahasianya terbongkar. Sandiwara mereka benar-benar berhasil. Semua tahu, sekolah akan mengeluarkan anak didiknya yang hamil diluar nikah dan masa depan pun akan bergantung dari situ semua. Kesenangan yang mereka lakukan hanya sesaat, beban hidup selamanya telah menanti. Karena cinta serong dan iman yang lemah, hidup telah robek bagai kertas yang tersayat silet.


Sebulan menjelang Ujian Nasional, semua siswa sibuk mempersiapkan performa terbaik mereka setelah menuntut ilmu selama tiga tahun di almamater tercinta ini. Saat itu ada kegiatan pendalaman materi atau pelajaran ekstra, Mira minta izin karena tidak enak badan. Dia segera pulang ke rumah walau hujan lebat mengguyur jalanan. Kebetulan orangtua Mira saat itu sedang bekerja dan belum pulang, Mira mengunci diri di kamar.




Insiden di depan masjid telah berlalu, polisi menyerah karena tidak berhasil menemukan pelaku. Pak Shaleh pun tutup mulut dan tidak bercerita apa-apa kepada polisi yang melakukan penyelidikan. Kejadian itu telah menjadi cerita misteri yang tak terpecahkan. Lambat laun, kejadian itu telan berlumut dan basi, tak ada orang yang peduli lagi, semua menganggap itu hanya misteri, sampai sekarang pun tak satu pun orang yang tahu. Tidak satu pun kecuali Mira sendiri.
Setelah Ujian Nasional berlalu, pengumuman kelulusan telah bertebaran kemana-mana. Disambut dengan pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Mira masih aman-aman saja dengan rahasia yang dikubur rapi dan dalam melebihi inti bumi. Dia diterima di sebuah universitas favorit. Mira melanjutkan sekolahnya hingga sarjana dan bekerja menjadi sekertaris sebuah perusahaan ternama.


Di perusahaan ini, dia bertemu dengan laki-laki yang membuatnya jatuh hati. Namanya Anton, walau dia Tampan, kondisi ekonominya tak sebaik wajahnya. Namun Mira sepertinya telah kehilangan sifat jeleknya waktu SMA dulu. Dia tak memperhatikan seberapa uang yang dimiliki oleh lelaki, Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik mirip ibunya. Anak perempuan tersebut diberi nama Sati.


Menginjak SD, Sati menjadi anak yang tergolong pandai. Dia diberi kamar sendiri dan ruang belajar yang nyaman oleh orangtuanya. Dia selalu mendapat juara kelas setiap semester di tingkatannya. Banyak teman yang mendekati Sati karena dia adalah anak yang baik, ramah dan selalu rendah hati kepada siapa pun.


Suatu pagi saat jam istirahat, ada anak laki-laki yang menghampiri Sati yang sedang duduk di bangku taman sekolah sendirian.
“Hai Sati.”
“Hai juga, ada apa?”
“Aku hanya ingin berteman denganmu.”
“Siapa namamu?”
“Andi, kamu mau kan menjadi temanku? Besok aku akan datang lagi.” Kata anak laki-laki tersebut sambil melangkah pergi yang meninggalkan Sati dengan kebingungan.


Setelah kejadian itu, anak laki-laki tersebut selalu menemui Sati setiap hari dan berbincang-bincang dengan akrab. Mereka membicarakan hal-hal lucu ataupun serius dan membahas cerita-cerita tentang dongeng-dongeng lama. Mereka kemudian menjadi sahabat baik. Andi selalu bercerita tentang dongeng yang selalu disukai oleh Sati. Berikut ceritanya:


Di sebuah kerajaan ada putri.
Putri mencintai pangeran seberang yang kaya raya.
Hubungan mereka menghasilkan sebuah bayi.
Namun sang Putri takut dimarahi Raja.
Bayi pun dibuang ke sungai diwadah peti.
Dikira sampah, peti tersebut dibakar.
Setelah hangus, baru tahu isinya adalah bayi.


Kenapa bayi tersebut malang sekali. Apakah Tuhan tidak merasa kasihan dengan bayi tersebut. Seharusnya Putri dan Pangeran tersebut dihukum. Selalu demikian celoteh Sati menanggapi dongeng dari Andi yang sangat dia sukai tersebut.


Setelah lulus SD, Sati tidak pernah bertemu dengan Andi. Untuk mengusir penat dan rindu terhadap Andi, dia menulis dongeng tersebut dalam buku diarynya. Dia terus terbayang wajah Andi yang selalu menemani dan menghibur Sati waktu SD dahulu.


Pada suatu malam, Sati tertidur lelap di kamar tercintanya. Dia bermimpi bertemu dan bercengkrama dengan Andi persis waktu SD dulu. Namun Andi tidak seperti biasanya, wajahnya kaku dan pucat. Dia berkata pada Sati.
“Kamu adalah sahabatku bukan?” Tanya Andi dengan wajah datar.
“I-iya.” Jawab Sati tergugup dan sedikit takut.
“Kamu harus mau menuruti kemauanku,”
“Apa itu? Apa yang kau mau?”
“Ibumu cantik, tapi aku tidak suka dengannya. Dia harus dibunuh.”
“A-apa M-mak-maksudmu?”
“Jika kau sahabatku, turuti perkataanku!”
Sati terbangun dengan segera dan mengusap matanya. Dia ternyata hanya bermimpi. Dengan melenguh dan menghela nafas panjang, dia bersyukur itu hayalah mimpi.


“Sati!” Suara dari sesosok lelaki yang dikenalnya itu telah berada di samping Sati dengan berpakaian SD rapi dan berwajah putih pucat pasi.
“Andi!”
“Kau sahabatku! Kau ADIKKU! Turutilah permintaan kakakmu ini!”
“Apa maksudmu?”
“Dongeng yang kau sukai itu! Putri itu adalah ibumu, bayi itu adalah aku! Tolong bebaskan aku Sati!”
Dengan cepat sosok itu telah menghilang. Detak jam semakin berbunyi keras seiring dengan jalan sang malam. Sati masih tertunduk lesu. Dengan sedikit lemah, Sati beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar Ibunya.


“Mama.” Teriak Sati.
“Iya sayang, malam-malam begini ada apa?” Kata Mira sambil mengusap-ngusap mata tanda mengantuk yang membukakan pintu kamarnya untuk Sati.
“Aku mau mangga Ma.” Kata Sati.
“Ya ampun Sati, malam-malam begini kamu minta mangga! Besok saja ya?”
“Nggak mau! Pokoknya sekarang! Aku tidak bisa tidur Ma.” Rengek Sati menjadi.
“Baiklah-baiklah.” Kata Mira dengan malas dan bergegas menuju dapur utuk menguliti manga. Sati mengikuti dari belakang.
“Ambilkan pisau itu, Sati.” Perintah Mira.
Sati mengambil pisau di dapur dan bukan segera memberikannya kepada ibunya. Dia menghujamkan pisau tersebut ke perut ibunya tersebut, seketika darah mengucur pelan dari perut Mira. Sati melanjutkan dengan merobek perut ibunya secara pelan. Mira hanya bisa menatap anaknya dan perutnya yang mulai terbuka.
“S-s-s-sa-sa-sa-sati.”
“Bukan, aku anak yang pernah Ibu buang! Aku bayi yang tak Ibu inginkan! Aku di sini ingin membalas dendam! Agar Ibu tahu betapa sakitnya aku dulu!”
Mira tersadar bahwa Sati tidak pernah memanggilnya dengan sebutan “ibu”.
“Sekarang rasakan sakit hatiku Bu,” Dengan senyum kecil dari bibir anak kecil itu, pisau dihujamkan menusuk dalam di bagian dada. Darah bercipratan ke dinding dan muka Sati.
“Maafkan aku Ibu, mafkan aku adikku.” Dengan pisau masih di genggaman tangan, Sati yang pikirannya sudah dijajah tersebut segera menghunuskan pisau tersebut ke perutnya sendiri. Di dapur tersebut, tergeletak dua sosok manusia yang bersimbah darah.


Buku diary Sati malam itu terbuka tertiup angin. Halaman menunjukkan tulisan berisi dongeng kegemaran Sati. Namun tulisan-tulisan bertambah dengan sendirinya.
Kamu sudah tahu rahasiaku, sekarang kamu sahabatku, aku selalu bersamamu, kapan pun dan dimana pun.


Cerpen Karangan: Dinar Herindo Harya

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...