Cerpen Aisya



Saat pelabuhan ini kutinggalkan, itulah terakhir kumelihat sorot bola matamu yang bulat bening semerbak embun pagi, begitu menyejukkan hati, sampai bara ini padam dalam diriku, melihat bola matamu Aisya. Senyum manis sekuntum mawar mekar di bibirmu, seakan ingin menyampaikan bahwa kau akan merindu dan terus merindu. Meski tak terucap, kutahu kau telah merangkai kata dalam hatimu. Kutahu kau menjaga, tak boleh ada cerita di antara kita saat kumelangkah dari peabuhan ini. Doakanku sayang, agarku selalu mengingat dekat dengan Yang Kuasa. Kutakut dengan pendidikanku yang berkelana ke ranah serba bermeja membawaku lupa akan diri-Nya.

Telah kukatakan pada kedua orang-tuaku sayang, meninggalkan tanah kelahiran ini sangatlah sulit, sejak pertamaku dilepaskan dari tanah ini, pertamaku beranjak dari budaya ini, tapi ayahku tetap percaya aku pasti akan menjadi seperti dirinya, meneruskan ideologi masyarakatnya. Sungguh bukan itu yang kuinginkan Aisya, namun meninggalkanmu sangatlah perih, setiap kali kumemandang rembulan senyummu selalu hadir, terlebih terakhir kalinya senyummu menggores setetes pilu dalam batinku Aisya. Bukanku tak sayang, bukanku tak setia pada sebuah janji, sebuah ikatan sepasang cinta moyet yang telah kita jalin se-masa remaja.

Namun inilah takdir, garis hidup, waktu yang sesungguhnya, menghantarkanku kepelabuhan untuk meninggalkanmu. Entah kapan kukembali menggenggam erat kembali tanganmu, memulai kembali sepasang cinta moyet itu. Merubah bagai sepasang cinta sayap bidadari senja, yang tak pernah terlepas dari dirinya, selalu membawanya terbang, menari ketika senja kian menjelma.

Kini telah kuanggap mimpi, semua ceritaku ini hanya akan menjadi doa untukmu, seluruh pilu dalam diriku menjadi rindu untukmu, bolamata dan senyum mawar di bibirmu menjadi kenangan dalam hidupku sayang. Tak ada yang salah, inilah jalan untuk rasaku, yang kau tinggalkan dalam hidupku, tenanglah kau di sana kasih, peluklah sebatang pohon putih yang masih muda itu, dia adalah diriku yang nanti akan hadir di sana. Jika pohon itu dewasa bersamu, bersandarlah kau di sana kasih, bersandarlah, semua akan membuatmu tenang, jangan kau bawa cinta kita ke Firdaus, biarkan cinta kita kupersembahkan untukmu nanti, kau hanya menanti, dengan senyummu, dengan sorot matamu. 'Aisya di sini aku semakin luka, tak mampu lagi memnghadirkan senyum, seperti kala dahulu kita bercanda'.

Waktu ini memang lambat berlalu, seperti saat pertamaku meninggalkan tanah kita, kumenatap dan melamun dalam senja, melihat semua mulai lenyap, semua semakin gelap, dan hilang dari pelupuk mata, di tengah laut yang membawa kapal itu semakin melaju, aku berharap waktu akan cepat berlalu membawaku kembali ke tanah kita. Tapi kubukanlah Sang Khalik, yang mampu memutar balikkan alam semesta, yang mampu menghadirkanmu sekejap mata, yang mampu menggenggam seluruh dunia, aku hanyalah manusia Aisya, dan bukan penguasa.
Pendidikanku semakin tua dalam diri ini, semakin dalam, semakin membuatku menjadi seorang yang berpikir idealis, tak ada waktu untukku kembali, karenaku selalu berjuang menggali seluruh isi negeri ini. Memang pernah aku berniat untuk kembali, tapi ayah tak merestui kepulanganku, ia tahu kita akan bertemu kembali, yang membuah kita sulit untuk dipisahkan Aisya.

Ayahku meghampiriku ke tanah seberang, menambah bekal untukku, membah nasehat agarku meneruskan pendidikan ini, sebab ia akan jadikanku raja di tanah kita, ayahku berusahan menenangkan pikiran ini, semuanya baik-baik saja katanya, ia juga berkata tentangmu Aisya, kalau kau baik-baik saja, dan itu ternyata hanya sebagai pengobat luka lara, agarku tak tampak tersiksa oleh batin ini. Inilah kejujuranku Aisya, yang selama ini tak pernah kusampaikan setiap kali kita duduk dalam damai asmara cinta, wajar saja karena kita tengah dilanda bahagia, kuharap kau tak lagi membenciku Aisya, yang terlalu lama meninggalkanmu yang setia pada ikatan cinta moyet kita.

Kini usiaku tak lagi remaja semua telah sampai pada pengujungnya, pernikahan akan menghadiri hidupku, kau yang kudambakan telah pergi bersama gelombang musim lalu, tanpa pesan, tanpa senyuman, jika kukatakan kau tak adil, kuyakin kau akan memarahiku di surga nanti. Tapi aku tak mencintainya sayang, 'Apakahku harus menjelma menjadi Siti Nurbaya? Agarku mampu menjalani kisah kasih tak sampai. Bantulah diri ini sayang untuk mampu pergi dari tanah kita, percuma jika aku terus di sini. Sementara kau dan senyum manismu tak lagi di sini, 'Jangan sampai cintanya padaku menjadikanku durhaka pada orang tua, kirimkan angin malam untuk menghadirkan bayangmu Aisya.'

Sekarang semua telah buram sayang, tanah kita telah kehilangan putra mahkota, generasi sang raja negeri demokrasi, negeri yang telah menggenggam ikatan setia, berbakti demi tanah air tercinta. Aku pergi bukan untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari cinta, bukan untuk menghindari takdir yang akan mendampingiku, di sana kumencari masa tua, yang akan menghantarkanku padamu, yang melepaskanku pada pada ideologi masyarakat tanah kita.

Kau pasti pernah merasakan semua tak bisa dipaksakan Aisya, walaupun pernikahan mengejarku, semua tak bisa dipaksakan karena akan menjadi bumerang untuk hidupku, karena cinta bukanlah intan yang tampak indah sayang, cinta itu misteri, yang akan menghantuiku pabila kuikuti permintaan ayahku. Cintaku berawal dari sepasang cinta moyet untukmu. Meskipun kau telah tiada Aisya, namun hadirlah kau sesaat dalam mimpiku, tinggalkan kenangan cinta moyet yang kau bawa sayang. Jangan biarkan aku gila menjalani kehidupan ini sayang, yang selalu mengajakku berjalan bersama ikatan pendidikan yang telah kuraih. Atau kuhentikan saja perkerjaanku ini, yang memakan daging saudaraku sendiri, kumemang kejam semenjak tak lagi di sisimu sayang.

Tuhan tak lagi tampak dalam hidupku, kutelah dibutakan oleh surga dunia Aisya, hanya menghilangkan seluruh beban ini. Ke mana lagi kaki ini hendak melangkah untuk mencari masa tua, semua telah kutelan, semua telah kucoba. Tapi nyawaku masih setiap setia pada jasad kumuh ini. Bagai sepasang kekasih sejati, seperti rasa cinta kita sayang. Haruskan aku menjadi ayah akan diri dan nyawaku ini, memaksanya untuk berpisah, merenggutnya dengan segelas tuba. Ingin kucoba tetap saja tak bisa, karena kehadiranmu Aisya, yang datang tanpa kabar berita, melalui angin malam saat segelas air tuba di genggamanku. Mengapa masih kau bisikkan? Aku tahu itu dosa sayang. Tapi rasa cinta ini benar-benar misteri, bisikanmu menidurkan amarah dalam hati, mengayunkanku dalam mimpi, bertemu dan bercumbu dalam genggamanmu Aisya.

Setelah malam berlalu, kau pergi dan tentunya tak tahu kapan kau akan hadir lagi. Matahari senja ini bagaikan lukisan sepuluh tahun yang lalu Aisya. Di saatku meninggalkan pelabuhan tanah kita, sorotnya yang mulai memekat emas mengingatkanku pada senyum terakhirmu, pada sorot bola mata yang indah itu.

Hanya satu yang berbeda hari ini sayang, aku tak lagi di sebuah kapal yang tengah berlayar, hari ini kumenikmati senja dari sebuah jendela rumah yang pernah menjadi mimpi kita, di jendela ini kumenikmati sejuknya embun pagi, di jendela ini kuterus menatap senja yang mengukirkan cahaya emas di atas lautan, di jendela ini kumenatap matamu dan senyummu pada seorang wanita.

Lubuk Alung, Juni 2013

Cerpen Karangan: Aris Prima Gunawan
Facebook: Aris Prima Gunawan

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...