Skip to main content

Cerpen 14 February


Empat belas Februari.

Hari valentin yang paling menusuk bagi gadis yang sedang duduk termenung di bangku putih panjang. Bulir-bulir bening sedaritadi membasahi pipinya. Wajahnya memerah, efek dari tangisannya.

Gadis itu hanya menangis, seakan-akan itu pekerjaannya, dan setiap ia mengeluarkan bulir-bulir terkutuk itu, setumpukan benda persegi panjang dan sangat dibutuhkan jatuh dari langit.

Kisah itu memang begitu pahit jika diberikan pada gadis yang terlihat tegar, tapi aslinya ia begitu rapuh. Layaknya kayu reyot, sekali sentuh, pasti akan rusak.

Hari valentin. Hari kasih sayang. Hari yang memahitkan untuk gadis itu. Mengingatnya saja membuat otak sang gadis meraung-raung tidak jelas.

Gadis itu, Tiffany Hwang. Gadis yang ceria dan gembira. Gadis yang kuat. Tapi, jangan terkecoh. Itu hanya ucapan. Dibalik senyumannya, sebenarnya ia menyimpan kisah yang sangat perih.

Flashback

Empat belas Februari.

Senyum merekah dari wajah Tiffany. Hari valentin. Ia segera membuka lokernya, dan menemukan banyak cokelat dari sahabat-sahabatnya. Tiffany segera membongkarnya satu-persatu. Betapa senang hatinya saat ini. Ya, itulah arti persahabatan.

Tiffany membaca satu persatu surat yang dititipkan melalui cokelat-cokelat yang Tiffany sudah duga, pasti lezat.

Saat memeriksa cokelat terakhir, Tiffany terhenti sesaat. Cokelat itu lebih besar dari cokelat yang lain. Tiffany berpikir, tidak mungkin bahwa sahabat-sahabatnya yang bisa dibilang.., sedikit ‘pelit’, memberikan cokelat itu padanya.

Tiffany mengambil cokelat itu. Terselip sepucuk surat kecil. Tiffany lantas membacanya.

‘Sudah lama aku memperhatikan gerak-gerikmu, Nona Hwang. Hmm, jangan takut. Aku bukan mata-mata yang ditugasi untuk menangkapmu. Jujur. Err.., aku menyukaimu. Maukah kau menjadi pacarku? Temui aku sepulang sekolah di atap!’

Tiffany hampir menjatuhkan cokelat-cokelat di pelukannya. Tapi, ia sadar, bahwa cokelat-cokelat itu ia jatuhkan, ia takkan dapat merasakan gejolak kelezatan dari cokelat-cokelat tersebut. Apalagi, Tiffany termasuk gadis yang mencintai cokelat.

Berbagai tanda tanya mulai menari-nari di benak Tiffany. Ia lalu membawa cokelat-cokelat itu menuju tasnya.

—

Pulang. Saat yang ditunggu-tunggu semua siswa-siswi. Tiffany memakai tas selempangnya, dan berjalan ragu menuju atap sekolah.

Sampai di sana, ia melihat sebuah boneka beruang yang besar, sangat besar. Beruang itu tampak seperti monster untuk ukurannya. Tapi, tampangnya? Menggelikan.

Di pelukan boneka itu, banyak sekali cokelat. Tiffany lantas mengambilnya. Ketika cokelat itu sudah beralih pada pelukan Tiffany, sepucuk kertas tertempel pada dada si boneka beruang.

‘Aku tahu kau menyukai cokelat. Maka, aku memberikanmu banyak cokelat. Sehabis kau membaca surat ini, aku akan datang tepat di belakangmu.’

Pluk. Sepasang telapak tangan menutupi indera penglihatan Tiffany. Gelap.

'Lepaskan!' Seru Tiffany, kencang.

'Aku adalah penulis surat yang sekarang kau pegang dan kau baca,' ujar suara berat yang Tiffany yakini adalah pemilik sepasang tangan hangat yang kini menutup matanya.

Tiffany benar-benar tak mengenali suara tersebut. Otaknya sibuk berpikir.

Pemilik suara berat tersebut pun melepas telapaknya dari mata Tiffany. Sekarang, di hadapan Tiffany kembali seperti semula, boneka beruang raksasa.

Tiffany segera menoleh ke belakang. Ia sempat bingung dengan pria yang kini di hadapannya. Ya, pria yang menyukainya. Ia sama sekali tak mengenalinya!

'Maaf,' ujar Tiffany, 'tapi, kau siapa?'

Pria itu tersenyum hangat, 'Nickhun Buck Horvejkul.'

'Aku yakin kau berdarah Thailand,' balas Tiffany cepat.

'Gadis pintar,' gumam pria itu -Nickhun-, 'jadi, kau sudah membaca suratku?'

Hening. Baik Tiffany maupun Nickhun tengah sibuk mempersiapkan ucapan yang akan mereka lontarkan.

Tiffany menghirup oksigen banyak-banyak. Membiarkan oksigen menari-nari menuju paru-parunya. Lalu menjawab, 'sudah.'

'Bagaimana jawabanmu?' Tanya Nickhun cepat. Ia menunduk.

Tiffany berkali-kali memandang pria yang tengah menunduk layaknya teroris yang tertangkap basah, ragu.

Dan, entahlah. Tiba-tiba, otak Tiffany kembali memutar memori-memori tadi, saat Nickhun menutup penglihatannya dengan jemari-jemari hangatnya. Tiffany merindukan hangatnya jemari-jemari pria itu sekarang. Dan kini, otak Tiffany mereka ulang senyum Nickhun dan perkenalannya.

Tiba-tiba, Nickhun berdeham, menghentikan otak Tiffany yang layaknya menjadi film reka ulang.
Tiffany menoleh, 'maaf.'

'Aku tahu. Tidak apa-apa.'

'Jawabanku..,' Tiffany sibuk menimang-nimang jawaban.

'Jawabanku…'

'Aku tahu kau gugup,' balas Nickhun, 'anggap aku angin sepoi-sepoi.'

Tiffany menghela napas -lagi-, 'ya. Aku mau.'

Canggung. Suasana menjadi canggung. Tiffany merasa bodoh dengan jawabannya. Tapi, entah. Bibir tipisnya-lah yang berkata seperti itu.

Tiba-tiba, Tiffany merasakan sekujur tubuhnya hangat. Nickhun memeluk Tiffany. Tiffany hanya diam. Tidak membalas, tapi juga tidak menolak. Hangat sekali. Tiffany benar-benar nyaman berada di sisi Nickhun.

—

Empat belas Februari.

Tiffany dengan riang melangkahkan kakinya menuju loker. Dengan harapan, banyak cokelat disana. Dan, harapan Tiffany terkabul!

Di antara cokelat-cokelat tersebut, tentu saja, ada satu yang paling besar dan terlihat mewah. Cokelat dari Nickhun. Tiffany tersenyum senang. Ia membawa cokelat-cokelat itu menuju tasnya.

Tiba-tiba, langkah Tiffany terhenti. Ada jemari-jemari hangat yang mencegahnya. Siapa lagi pemiliknya jika bukan..,

'Nickhun oppa,' tebak Tiffany, lalu menoleh pada Nickhun yang tersenyum hangat padanya.

'Hei, Manis,' sapa Nickhun. Ia lalu merogoh saku celananya, dan menggenggam dua batang cokelat, 'untukmu. Happy anniversary 1st!'

Tiffany menerimanya dengan senang hati. Ia bahkan baru ingat, kalau ini hari jadinya dengan Nickhun.

'Tak terasa sudah satu tahun kita menjalin hubungan spesial, oppa,' ujar Tiffany, sambil menarik tangan Nickhun menuju tasnya, untuk menyimpan cokelat.

'Iya.'

Tiffany tersenyum, 'oppa, ayo berjanji. Kau takkan meninggalkanku.'

Tiffany mengacungkan jari kelingking. Nickhun tersenyum hangat, dan menautkan kelingkingnya dengan kelingking Tiffany, 'janji.'

Tiffany lalu memeluk Nickhun, tanpa memedulikan ia sedang berada di mana sekarang.

—

Empat belas Februari.

Tiffany tak menemukan cokelat di lokernya, karena ia memang berpesan pada teman-temannya, untuk tidak memberinya cokelat di loker, melainkan langsung memasukkan ke dalam tasnya.

Tapi, Tiffany heran. Kenapa Nickhun tak memberinya cokelat? Ia tak melarang Nickhun untuk memasukkan cokelat ke lokernya. Sejenak, Tiffany berpikir, mungkin Nickhun belum datang. Ya, ini memang masih terlalu pagi.

Tiffany pun melangkah menuju kelasnya. Beberapa siswi berkumpul di salah satu meja. Tiffany pun ikut bergabung.

'Hei, hari ini menyenangkan sekali! Aku mendapat cokelat dari Thailand!' Pekik seorang siswi. Tiffany tersenyum miris. Tanah kelahiran Nickhun, Thailand.

'Dari siapa?' Tanya yang lain.

'Dari sepupuku! Ia membawa satu pack cokelat asli dari Thailand untukku!' Balasnya antusias.

Terdengar gumaman iri dari beberapa siswi. Terkecuali Tiffany. Ia masih menjadi pendengar yang setia. Tiba-tiba, seorang siswi datang dengan ponselnya.

'Lebih baik kita menonton berita baru!' Ujar siswi tersebut, lalu menunjukkan layar ponselnya.

'Kim Taeyeon disini, melaporkan kejadian yang baru terjadi sekitar lima belas menit yang lalu. Seorang pria tertabrak truk saat sedang keluar dari toko cokelat,' ucap sang reporter.

Entah, tiba-tiba, Tiffany berkeringat dingin. ‘Singkirkan pikiran kotormu, Tiffany! Pria itu bukan Nickhun!’

'Pria malang ini keluar dari toko cokelat dengan langkah bersemangat. Tiba-tiba, sebuah truk menabraknya. Diduga, supir truk tersebut mabuk. Sedangkan, indetitas pria malang tersebut baru sedikit yang didapat. Nama pria tersebut adalah Nickhun Buck Horvejkul, keturunan Thailand.'

Darah Tiffany berdesir. Keringat dingin membasahi pelipis Tiffany. Nickhun Buck Horvejkul. Pacarnya. Pelupuk mata Tiffany tak dapat menahan semuanya. Bulir-bulir bening berdesakan keluar.

'Malang sekali nasibnya,' gumam siswi lain.

'Tiffany. Dia pacarmu?' Pertanyaan seorang siswi lain mengagetkan Tiffany.

'I-iya,' suara Tiffany bergetar.

Siswi lain sibuk menghibur Tiffany. Tiffany tak kuat lagi. Ia pun berlari menuju tempat kejadian yang tak jauh dari sekolahnya.

Saat ia hendak mendekati pacarnya, orang-orang banyak yang mencegahnya. Tiffany mendorong mereka. Dan, penglihatan Tiffany pun terpaku pada sosok Nickhun yang terbaring lemah di jalanan aspal yang dingin. Langsung saja, Tiffany mendekatinya.

'Oppa,' lirih Tiffany, 'jangan meninggalkanku.'

Nickhun tersenyum lirih, 'Hai, Cantik, jangan menangis.'

'Oppa, kumohon,' suara Tiffany bergetar, 'aku mencintaimu.'

'Aku juga,' jawab Nickhun pelan, 'kita akan bertemu lagi. Di tempat yang sangat indah.'

Tetesan bening terkutuk itu mulai jatuh. Tiffany tak mampu membendungnya.

'Mana janjimu setahun yang lalu, oppa? Kau berjanji takkan meninggalkanku, bukan?' Isak Tiffany.

'Cantik,' panggil Nickhun, lalu dengan tangan bergetar dan lemah dan masih sama hangatnya, ia membelai rambut Tiffany, 'kita akan bertemu lagi.'

'Dan,' lanjut Nickhun. Ia lalu memberikan cokelat yang dibungkus kotak berpita pada Tiffany, 'hadiah terakhir dariku untukmu.'

Tiffany menerimanya dengan tangan bergetar. Nickhun tersenyum hangat. Dan setelah itu, tangannya yang tadinya mengelus rambut Tiffany melemah. Kelopak mata Nickhun perlahan tertutup. Senyum hangat Nickhun sekarang menjadi garis datar. Ia pergi.

'Nickhun oppa!' Tiffany menangis meraung-raung.

Flashback end

Hari ini, hari valentin, hari jadi Tiffany dengan Nickhun. Tiffany menangis meraung-raung.

'Oppa!' serunya, 'aku merindukanmu!'

Tiffany kembali terisak. Dan tiba-tiba, penglihatannya menangkap sosok bayangan pria.

'O-oppa?' Tiffany terperanjat. Ya, sosok itu -Nickhun- kini tersenyum hangat padanya. Bibir pucatnya berkomat-kamit, membentuk kata, ‘aku mencintaimu.’

Tiffany lantas berseru, 'aku juga mencintaimu, oppa! Selamanya!'

Bayangan Nickhun itu pun perlahan menghilang bersama angin. Tiffany tersenyum sambil terisak pelan dan melambaikan tangannya.

Aku mencintaimu, oppa. Aku percaya pada semua ucapanmu. Aku yakin kau takkan pernah berbohong untuk akan selalu mencintaiku. Ya, kita akan bertemu lagi di tempat yang sangat indah, oppa. Bersama-sama. Berbahagia. Tak ada tangisan. Tak ada isak pilu.

Saranghae, oppa…

- Tiffany Hwang

Cerpen Karangan: Cherylgloria

Comments

Popular posts from this blog

The Painting of Destiny

"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...

Good Morning America is a popular

Good Morning America is a popular morning news show that airs on ABC. It has been a staple in American households since its debut in 1975. The show covers a wide range of topics including news, entertainment, lifestyle, and pop culture. With its team of talented hosts and reporters, Good Morning America provides its viewers with the latest updates on current events and trending stories. One of the things that sets Good Morning America apart from other morning shows is its lively and energetic atmosphere. The hosts, including Robin Roberts, George Stephanopoulos, Michael Strahan, and Lara Spencer, bring a sense of fun and camaraderie to the show. They engage with their audience and each other in a way that feels genuine and relatable. In addition to its engaging hosts, Good Morning America also features a variety of segments that cater to a diverse audience. From cooking demos and fashion tips to celebrity interviews and human interest stories, the show offers something for everyone. Wh...

The liz hatton

The liz hatton is a unique piece of headwear that has been gaining popularity in recent years. This hat is characterized by its wide brim and low crown, which gives it a distinctive and fashionable look. The liz hatton is often made of materials such as wool, felt, or straw, making it a versatile accessory that can be worn in various seasons. One of the key features of the liz hatton is its versatility. This hat can be dressed up or down, making it suitable for a range of occasions. Whether you're going for a casual look or a more formal outfit, the liz hatton can easily complement your ensemble. Additionally, the wide brim of the hat provides excellent sun protection, making it ideal for outdoor activities such as picnics or garden parties. In terms of style, the liz hatton can be compared to other types of hats such as the fedora or the boater. While these hats may have similar silhouettes, the liz hatton stands out for its unique shape and design. The low crown and wide brim of ...
  • Saat pertama kali bertemu

    Saat pertama kali bertemu Ini adalah hari yang panas lainnya di West Bruke. Matahari bermekaran di atas langit Senin yang cerah, seperti bunga matahari di tengah taman Periwinkle, mencerahkan hari dengan cuaca yang menyenangkan. Bus tiba di terminal. Membuka pintu, penumpang keluar dari bus, dan seo... Readmore

  • Masa Hidup Seorang Liontin

    Masa Hidup Seorang Liontin Saat matahari membuat cakrawala menjadi tempat tidurnya di kejauhan, sulur-sulur emasnya membentang di atas pepohonan dan bangunan seolah-olah mencoba untuk bertahan di siang hari sedikit lebih lama, nenek itu tersenyum tipis. Dia tidak pernah bosan dengan pemandangan mata... Readmore

  • BANGLE EMAS

    BANGLE EMAS Raghuram sedang menunggu di lounge Hotel Solitaire, sebuah hotel bintang lima yang terkenal di kota. Dia sedang menunggu rekan-rekannya berkumpul di sana untuk Brunch. Itu adalah pertemuan resmi dan umumnya dilakukan di sana setiap kuartal. Sementara beberapa sudah muncul, beberapa lagi ... Readmore

  • The Reuni

    Reuni Saya bahagia sampai saya sampai di rumah. Sejak Denise dan saya kembali bersama, segalanya menjadi hebat. Saya sangat menikmati semuanya. Saya berjalan di pintu. "Hei kamu," Denise bangkit dari mejanya dan datang dan memberiku ciuman besar. "Bagaimana pekerjaannya?" "Oh lho. Menjawab beberapa ... Readmore

  • Potong rumput

    Potong rumput Evans duduk di sana di bangku taman dengan jas hujannya, dengan koran pagi di satu tangan dan ponsel pintar di tangan lainnya. Dia menanggung tanda-tanda usia paruh baya yang akan datang, kerutan di sekitar mata, rambut yang surut. Tanda-tanda awal penuaan itu mungkin telah dicegah jik... Readmore

  • Baik George anakku

    Baik George anakku "George, anakku, jika kamu bisa menciptakan apa saja- apa pun di seluruh dunia, apakah itu?" Kakek duduk di sebelah saya di kayu di pondok tua yang berbau pinus dan getah, matanya yang keriput abu-abu tersenyum, janggut putih panjang menggelitik permukaan kayu bernoda, celananya, ... Readmore

  • Kamar Henry

    Kamar Henry Henry telah menunggu sepanjang sore sampai bibinya membawa anak-anak pergi. Sekarang dia punya, tetapi jamnya sudah larut dan pikirannya tetap pada jam saat dia bergegas ke atas. Di belakangnya, dari bawah di ruang makan, neneknya memanggilnya untuk menurunkan dua taplak meja lagi dari l... Readmore

  • Anjing Luar Angkasa dan Kubis

    Anjing Luar Angkasa dan Kubis Mobil kami masuk ke jalan Bibi Juno. Ayah terengah-engah dan menggerutu. Ibu berbalik ke arahku dan bayinya. "Sekarang anak-anak, kita tidak akan terlalu lama, oke? Anda hanya berperilaku sendiri dan saya yakin Anda akan bersenang-senang dengan Juno " Ayah meringis. Kam... Readmore

  • Persimpangan jalan

    Persimpangan jalan "Persimpangan jalan" -------------- Tinggal seperti tongkat dengan ayah saya yang sakit selama lima tahun yang panjang, saya kehilangan dua tahun akademik berturut-turut karena keramahannya. Untuk ini, saya tidak menyesal. Tetapi pelajaran yang saya pelajari sambil tetap bersamany... Readmore

  • Kolektor

    Kolektor Mungkin jika lebih banyak orang mendengarkan wanita tua mereka akan hidup lebih lama. "Ada satu lagi di North Hampton." Selalu ada satu lagi, selalu ada rumah lain untuk dibersihkan setelahnya. Semua ini, hanya karena dia meninggalkanku. Aku mengenakan kaus tebalku, menarik hoodie ke atas k... Readmore