Cerpen Buku Helen

 Hujan masih meneteskan sisa airnya. Beberapa saat yang lalu suasana gelap terselimut awan. Namun dalam hitungan menit angin menyapu langit dan mengirim sinar matahari kembali ke bumi. Jalan-jalan basah tergenang air. Sebagian aliran saluran air di sisi kiri dan kanan tumpah. Percik-percik air akibat dihantam roda kendaraan menjenuhkan air menjadi warna kehitaman.

      Aku masih berdiri di halte. Berjubel diantara para pengendara yang menepikan diri menghindari basah kuyup. Selain itu, beberapa pejalan kaki yang kebetulan sedang menunggu bus, ikut menambah sesak suasana halte. Namun semua membubarkan diri. Serentak seketika selepas hujan mereda.

      Akupun mundur sejenak, memberikan kesempatan mereka yang hendak keluar dari halte. Satu persatu mereka meninggalkan tempat ini. Dan tersisa hanya sekitar satu dua orang yang memang berniat naik bus untuk pulang. Jam menunjukkan pukul 2.30 siang. Selepas hujan matahari bersinar sangat terik, namun telah berkurang kadar panasnya. Sejenak tampak suasana awal sore yang cerah.

      Aku terduduk di bangku halte. Menyelipkan kedua telapak tanganku dibalik saku jaket. Suasana hangat menyelimuti jalan. Namun deru mesin kendaraan menaburkan aroma sengau gas yang dibuangnya. Lelahku masih belum berkurang. Dan segera saja kusandarkan bahuku ke sisi tiang dimana aku duduk disebelahnya. Kubenahi letak kaca mataku. Kuusap dengan tisu akibat kotor terkena tetes

      Kubuka tas hitamku. Kurogoh dalamnya. Kutemukan yang kucari lalu kukeluarkan. Sebuah buku berada di tangan kiriku. Kuamati dengan cermat keseluruhan bagian luarnya. Dari sampul depan, sampul belakang, serta sekilas halaman-halaman didalamnya. Tertera tanda kuning diujung kiri bawah halaman cover dalamnya. Kubaca tulisan di samping tanda tersebut.

"Kembalikan ketika kau tak mengenalnya lagi"

***

      Angin semilir menembus lorong bangunan yang beruang rapi. Saling berhadapan tiga-tiga. Tetapi di bagian ujung ketiga terakhir terputus oleh bangunan keempat yang berhadapan dengan lapangan basket kecil. Tampak bangku panjang berada di sudut lapangan. Suasana sore menjemput menggantikan terik matahari.

"Jadi yang tadi bisa dikerjakan sendiri tanpa bantuanku", aku bertanya sambil tetap membaca kertas ditanganku.
"Kalau cuma matriks sederhana aku bisa, tapi kalau yang udah diatas 3×3 masih kesulitan", jawabnya.
"Yang pentingkan tahu konsepnya, aku aja awalnya gak bisa ngerjain", timpalku.
"Bohong, masa kamu bisa ngomong kaya gitu, gak mungkin siswa terpintar disekolah gak bisa ngerjain", kembali ia menimpaliku. Kali ini terdengar sindiran dari mulutnya.
"Masih ada yang ditanyain gak, kalo gak ganti yang lain", jawabku acuh. Kukembalikan kertas ditanganku padanya. Ia tersenyum. Napasku seperti terhenti ketika bertatapan dengan dirinya. Senyumnya selalu membuatku menghilang dari muka bumi. Namun aku segera sadar, secepat aku memulihkan diri.

Ia merogoh tasnya, dan mengambil beberapa lembar kertas. "Sebenarnya masih ada", katanya.
"Kalau ini gimana ngerjainnya?", ia menyodorkan kertas yang berisi soal-soal.
"Yang mana", aku mendekat dan melihat soal yang ia tunjukkan.
"Yang ini, tentang persamaan lingkaran", ia menandai soal tersebut. Kuambil kertas di tangannya.

      Aku perhatikan sejenak soal tersebut. Mataku menatap tajam seraya otakku berpikir cara penyelesaiannya. Aku mengambil kertas kosong dan mulai menuliskan ringkasan soal tersebut seperti apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Kulihat ini membutuhkan perhitungan panjang. Kubuat sketsanya agar ia mengerti garis besar soal tersebut. Selesai menulis kuberikan padanya. Lalu kujelaskan secara mendetail apa sebenarnya yang ditanyakan soal itu. Ia mengangguk dan sesekali bertanya jika ada hal yang tak mengerti.

"Len, istirahat sebentar bisa kan", aku beranjak berdiri dan bergerak kecil untuk meregangkan otot yang kaku.
"Oke Ar", ia masih menulis dan menyelesaikan apa yang tadi kuperintahkan.

      Mataku menatap lapangan basket didepanku. Lalu menyapu sekitar termasuk deretan ruang kelas di sisinya. Kulihat beberapa orang ada didalam salah satu kelas. "Mungkin mereka juga belajar", pikirku.

      Kulihat sesorang keluar. Ia membuang sesuatu di tempat sampah depan kelas. Ia lalu menoleh ke aku dan Helen. "Woi asik banget berduaan", ia berteriak. "Gak adil Kau Ar, giliran Helen kau terima ajakan belajarnya, tapi kalau kita-kita yang ngajak gak mau", kembali ia berteriak kali ini semakin keras.

"Huh, ganggu orang aja, berduaan apanya, jelas-jelas lagi belajar", pikirku tapi bener juga. Aku sengaja menerima ajakan Helen kali ini. Dan ini saatnya tepat. "Tenang aja, besok aku janji belajar bareng, besok kan minggu. Aku temenin seharian juga gak ada masalah", jawabku sedikit berteriak.

      Ia menyeringai dan seorang lain dari dalam kelas memanggil dirinya. Ia lalu masuk kelas. Perhatianku kembali ke Helen. "Pindah tempat Len, jangan disini, gak enak", kataku padanya. Ia sepertinya mengerti. Aku dan dia beranjak dari kursi dan memilih taman depan sekolah. Disana lebih rindang.

"Boleh aku tanya", kataku memulai pembicaraan. Sontak ia menengok kearahku. "Ya, tanya apa?", ia seperti keheranan dengan roman mukaku. Kubetulkan letak kacamataku. "Dah berapa lama kita seperti ini, maksudku hubungan antara aku dan kamu", aku mulai pembicaraan. Terdengar serius di telingaku. Tapi inilah yang sering aku tanyakan kepadanya setiap saat.

      Senyumnya mengembang. Tangan kanannya merapikan rambut depannya. Ia menatapku dengan santai tapi sorot matanya tersirat keseriusan. Ia menarik napas dan perlahan membuka mulutnya. Perlahan suara lembut keluar dari bibirnya.

"Ar, aku sebenarnya gak bisa bohong sama kamu", katanya terhenti. Jeda lima lima detik serasa satu jam bagiku. "Aku yakin kamu tahu apa jawabanku, setiap kamu tanya soal ini, itulah yang akan aku jawab. Aku hanya butuh waktu. Dan kamu butuh penegasan. Aku sudah bahagia saat ini bersamamu. Namun dirimu sendirilah yang membuat keadaan semakin rumit. Saat ini aku bertanya balik. Apa yang kamu harapkan dari hubungan kita?", serangan kata-katanya membuatku mematung.

      Apa yang harus kujelaskan padanya. Ia sudah tahu seperti apa aku saat ini. Justru aku yang berhutang padanya. Tega menyeretnya dalam badai perselisihanku. Sejujurnya aku tak mengerti mana yang akan aku berikan. Ia sangat baik dan senyumnya seperti tali terakhir yang menjadi genggaman tanganku.

      Perlahan sinar mataku layu tak kuasa menahan haru. Entah perasaan bersalah, sedih, kecewa, bimbang, atau apapun itu membuatku tak berani memandangnya langsung. Suara angin terdengar olehku. Keheningan panjang yang menyakitkan menenggelamkan rasa tinggiku. Aku yang dipandang oleh mereka sempurna. Namun berhati dua didalamnya. Aku tidak bisa menutupinya lagi. Semakin kututupi, semakin jelas terkuak.

"Arya, ngapain kamu!!!", suara teriakan mengagetkan kami. Sontak pandangan terjurus ke arah datangnya suara. Rona mukaku berubah semakin layu. Helen melihatnya. Dan dia disana yang berteriak, melihatku bersamanya. Kukepalkan tanganku lemah. Bahuku terasa hilang. Samar-samar ia mendekati kami. Semakin dekat dan kami pun terpaku tak bergerak. Tatapan jauhnya menusukku tapi tidak untuk Helen. Dan ia sekarang berdiri diantara kami.

***

      Udara pagi menyambutku keluar dari kereta. Perjalanan panjang yang kutempuh semalaman telah tiba di tempat tujuan. Kuhindari tukang ojek yang berebut menawarkan jasanya. Aku keluar stasiun. Kususuri jalanan yang mulai ramai. Aku berjalan diemperan baris pertokoan yang memanjang. Tampak toko-toko belum buka dan beberapa penjual makanan menjajakan makanannya. Jalan ini berujung di sebuah pasar.

      Kukenali kembali kota ini. Kota yang memberiku banyak kenangan. Kuhabiskan sebagian masa sekolahku disini. Tiap saat kuamati dengan seksama toko-toko yang kulewati. Kulihat sekelompok ibu-ibu membawa dagangan di boncengan sepeda. Sebagian sepeda itu dikayuh, namun ada yang hanya dituntun. Kuteruskan menyusuri hingga bertemu perempatan. Aku menyebrang jalan dan mengambil arah ke kanan. Aku tahu kemana tujuanku. Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi atau siapa yang kutemui nanti.

      Kulirik jam tanganku. Pagi pukul 5.30. sisa dinginnya malam masih terasa. Namun matahari mulai bergeliat di timur. Kubetulkan resleting jaketku. Kurekatkan lebih kuat dan ketat. Udara dingin menerpaku karena angin pagi mulai membawa gelap kesarangnya. Sebuah lapangan yang sangat luas tampak dari jauh

       Itu adalah sebuah alun-alun, lapangan yang luas biasa dalam penyebutan masyarakat jawa. Alun-alun merupakan pusat kota dan dikelilingi oleh beberapa bangunan penting. Biasanya terdapat masjid dan kantor pemerintahan disampingnya. Kali ini aku menuju bangunan bergaya jawa terbuka di sisi utara alun-alun tersebut. Masyarakat biasa menyebutnya pendopo. Bangunan ini biasa sebagai tempat pertemuan atau acara-acara pemerintahan. Dibagian luar sering dipakai masyarakat untuk sekedar duduk-duduk atau bersantai ria melihat aktifitas yang terjadi di alun-alun, karena posisinya berhadapan langsung.

       Aku duduk disana dan kulihat jam. Aku menunggu seseorang. Tak lama orang tersebut datang. Ia berjalan perlahan. Lama aku tak melihatnya. Sekilas tak ada yang berubah darinya. Sekarang kami saling berhadapan.

"Kamu kemana aja selama ini?", tanyanya. Aku tersenyum. Ia pasti tidak tahu kalau aku jauh-jauh datang untuk menemuinya. Ia tak tahu dimana aku sekarang tinggal. Perpisahan menghentikanku menghubunginya. Namun lama tak menjalin kabar. Kuketahui dirinya masih ada rasa denganku.

"Aku dari jakarta, dan baru tiba pagi ini", jawabku. Ia terperajat. "Apa, kamu tega tak memberi kabar kepadaku, kamu menghilang begitu aja setelah meninggalkanku, kamu tak tahu kalau aku berusaha menghubungi selama ini, bahkan hingga kamu tiba-tiba membangunkanku tengah malam tadi?", dengan terisak ia memeluk tubuhku. Pelukannya menyadarkanku bahwa dialah selama ini yang selalu membuatku tersenyum.

      Kulepas pelukannya, dan kuambil sesuatu dari dalam tasku. "Kuberikan ini, karena aku tidak bisa menyimpannya lagi", kataku sambil menyodorkan sebuah buku padanya. Ia mengambilnya dan memandangku. Tetes air matanya membahasi pipinya yang lembut.
"Maafkan aku, kali ini aku sadar kalau kamu adalah yang terbaik. Aku tak bisa melupakanmu. Aku bisa menghapusmu tapi serpihan itu tak kan hilang. Aku ingin kamu melupakanku. Biarkan aku berjalan sendiri. Len, kaulah matahari itu. Biar kupandang dirimu dari tempat gelapku berada. Biar kuterima hangatmu tanpa memberi luka di senyummu".

***

"Sekarang hentikan semua omong kosongmu, aku sudah muak", sergahnya. Ia membungkam mulutku seketika. Secara langsung aku sadar kalau aku telah bersalah padanya. "Len, dengarkan aku dulu. Kamu tahu kalau dia bukan siapa-siapa lagi". Ia meneruskan rasa kecewanya.

"Aku salah dan aku akan pergi darimu sekarang". Aku berseru lemah. Berbeda dengan sebelumnya kali ini aku tak kuasa melangkahkan kaki memdekatinya. Terdapat jurang pemisah yang telah terbangun diantara aku dan ia. Semua yang kubangun telah hancur. Ia yang selalu membuatku tersenyum tak lagi memberikan hatinya padaku.

      Kujejakkan kaki tanpa kusadari apa yang akan terjadi esok hari. Tanpa menoleh, kutinggalkannya sendiri. "Maafkan aku, Helen", lirihku. Membisu aku menjauh hingga punggungku menghilang dari mukanya.

***

      Aku buka lembar demi lembar buku ini. Kubaca setiap tulisan yang tertera di dalam. Sedikit gambar tampak dibeberapa halaman. Sengaja tak kubaca secara mendetail karena keterbatasan waktu. Kucermati salah satu halaman dibagian akhir. Sesuatu disana membawaku ke masa lalu. Serpihan kenangan lama terurai di mataku

      Kuingat kala itu hujan turun dengan deras. Tapi kami terdiam menatap tiap detik tetes air yang turun. Ia membetulkan letak rambut depannya setiap kali angin berhembus. Kami terduduk terdiam. Melewati waktu sore ditemani sang hujan. Ah, andai aku datang lebih cepat pasti tak seperti ini jadinya, penyesalan tercetak dalam hatiku. "Maafkan aku", kataku berseru di tengah riuh suara hujan.

"Ar, boleh aku memberikan ini padamu", katanya sambil menjulurkan tangannya yang berisi sebuah buku. Segera kuambil dan kulihat buku apa itu. "Buat apa ini", tanyaku keheranan. "Hari ini kau tak menangis lagi kan", kupandangi kedua bola matanya. Aku tahu rona kemerahan di susut matanya telah menerangkan semuanya. Bodohnya aku menanyakan hal itu saat ini.

      Kudekapkan tanganku padanya. Ini terakhir kali kubiarkan dia bersandar di bahuku. Entah apa yang terjadi kemarin. Pertengkaran hebat diantara kami menggariskan kalau aku dan dia berbeda. Kumasukkan buku itu ke dalam tas.

      Hujan mulai reda, namun tetes air masih tampak. Ia beranjak dan kembali menatapku. "Boleh aku minta satu permintaan", katanya. "Silahkan", jawabku. Aku merasa memenuhinya menjadi jalan terbaik untuk memberinya kenangan indah. Simpan buku itu selama kau membenciku". Aku tersenyum heran

      Suara orang-orang berkerumun membuyarkan lamunanku. Dari kejauhan bus yang kutunggu datang. Aku bergegas memasukkan buku ini kembali ke tas. Kulihat jam tangan. "Masih sore", pikirku, aku punya banyak waktu sebelum ke stasiun nanti malam. Dan diriku menghilang ditelan bus yang meluncur membelah jalan raya.

Penulis: Dwi Surya Ariyadi


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...