Cerpen Cry For Love (Part 1)



‘Mengertikah cinta saat aku menginginkan ia datang untuk mengisi ruang hatiku yang kosong? Tahukah ia saat aku sangat merindukannya untuk menemaniku dalam kesunyian yang menyiksa? Pahamkah ia saat aku memanggil namanya untuk bisa merasakannya bahwa aku ingin berbicara dengannya?
Sakitkah ia saat tak bisa mengerti apa yang kupikirkan? Sakitkah ia saat tak bisa membaca pikiranku? Sakitkah ia saat tak bisa memahami apa yang ku mau? Sakitkah ia saat tak tahu aku merindukannya?’
Aku duduk termenung sambil menatap buku biru di tanganku. Aku menutupnya dengan kasar. Kemudian kuangkat tanganku untuk menutupi wajahku sambil sesekali terisak.
Aku merasakan bagaimana sakitnya hatiku mencintai tanpa dicintai olehnya. Bagaimana asyik mengagumi sendiri tanpa pernah terbalas olehnya. Dan asyik dengan pikiranku sendiri yang dipenuhi dengan harapan-harapan palsu yang dapat menghempasku dengan mudahnya. Membuatku hancur dalam sekali hembusan. Sekejap membawaku ke dunia keterpurukanku.
Andai saja aku bisa menghindari kau hadir dalam hidupku. Andai saja aku bisa mencegah rasa yang kau bawa dan menyusup masuk ke dalam hatiku. Andai saja aku tak terlena dalam buaian pesonamu yang memabukkanku dan tak bisa terbangun dari alam mimpiku yang begitu menipuku. Andai saja aku tak patuh menuruti kata hatiku yang memberi sejuta angan tentangmu yang tak akan mungkin aku miliki.
Aku masih terisak dalam kesakitanku yang begitu pahit dan tak akan bisa terobati walau seribu waktu telah kutempuh. Aku masih merasakan sakit itu yang membuatku miris di setiap khayal angan yang membuatku melambung tinggi.
Kuturunkan tanganku dan menoleh ke belakang saat sebuah tangan menyentuh pundakku dan meremasnya.
“Lya.” suara datar renyah yang kudengar di telingaku semakin membuatku pedih.
Kulihat dirinya yang duduk diam di sampingku. Ada pesona dari dirinya yang membuatku kagum dan tak sanggup menolak pesona itu. Ada suatu pancaran yang mampu membuatku termagnet ke dalam banyak angan yang terus meliputiku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan menoleh padaku dan menatapku dengan lekat.
‘Buruk! Sangat buruk! Dan tahukah kau, bahwa itu semua terjadi karenamu!’ Batinku.
“Baik. Sangat baik.”
Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku! Aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa aku tak boleh mengatakannya.
“Baguslah kalau begitu. Itu yang kuharapkan.” sahutnya dengan nada dinginnya.
‘Tidak! Ini tidak bagus! Justru ini buruk! Sangat buruk! Kenapa kau masih saja membutakan matamu untuk bisa melihat ke dalam hatiku? Kenapa kau masih saja menutup telingamu untuk bisa mendengar jeritan hatiku yang terus memanggil namamu? Mengapa kau masih saja berpaling dariku padahal kau tahu bahwa aku ada di sini, ada di depanmu.’
“Besok aku akan berangkat ke London untuk melanjutkan studyku. Mama dan papa sudah menyetujui keputusanku.”
‘Jangan! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku dengan perasaan yang menyakitkan ini! Kumohon, tataplah aku sekali ini saja.’
“Jam berapa kau akan berangkat?”
“Jam delapan.”
Detik berikutnya hanya hening yang menyelimuti kami berdua. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Membuang pandangan ke depan, senja dimana matahari terbenam menuju malamnya. Tak ada satu kata pun yang aku keluarkan untuk menenangkan hatiku. Bahkan aku tak berani untuk melarangnya pergi.
Malam menjadi semakin sunyi dalam hati yang terluka. Kesendirian menjadi suatu penyesalan yang tak pernah berujung. Sampai malam-malam berikutnya yang hadir, tak memberi arti apa-apa lagi. Hanya malam biasa yang tak pernah berbintang. Malam gelap yang tak tersinari oleh terangnya bulan purnama. Malam-malam yang pekat dalam hati yang menghitam karena luka yang menggoresnya.

Di sinilah aku berdiri. Dalam penantian yang tak pernah ada ujungnya. Dalam waktu yang tak bisa kuingat lagi kapan mulai aku menantinya. Dalam kesetiaan yang menuntut pemberhentian karena lelah. Dalam perasaan yang cemas memikirkan akankah ia cepat kembali padaku, kembali dalam cintanya yang selalu setia mencintainya tanpa pernah lelah dan berniat untuk berpaling darinya.
Kulihat senyum yang selama empat tahun terakhir kurindukan. Senyum yang selama ini hanya dapat kulihat lewat mimpiku. Senyum yang tak pernah berubah dari sejak aku mengenalnya. Senyum yang masih memancarkan pesonanya yang dengan mudahnya membuatku mabuk dalam cintanya.
Kulihat tangan kanannya terangkat ke atas, ia melambai ke arahku di sela-sela kerumunan orang-orang di bandara. Tangan kirinya menenteng kuat tas ranselnya. Ia berlari kecil ke tempatku berada. Menyongsong tubuhku dan membawanya ke dalam pelukannya. Membelai lembut kepalaku.
“Aku rindu padamu.” ucapnya dengan tawanya yang masih terdengar renyah seperti dulu. “Aku rindu rumah. Dan yang paling kurindukan dan ingin pertama kali kutemui adalah dirimu.”
Sejenak aku merasa ada desiran halus merayap dalam tubuhku. Membuat tubuhku kaku sementara. Seolah aku salah bangun tidur yang kukira aku telah bangun dari dunia mimpi, namun sebenarnya aku masih tertidur dalam mimpiku.
Detik berikutnya aku kembali merasakan dunia nyata. Aku memeluknya erat. Mengenyahkan dunia mimpi dan menyambut dunia nyata yang tak bisa bersatu dengan dunia mimpi.
“Selamat datang kembali.” kataku ceria.
Ia melepaskan pelukannya dan menatapku dalam. Tangan kanannya menyentuh keningku sambil pandangannya tak beralih dari mataku. Aku senang ia melakukan itu. Menatapku tanpa beralih dari mataku. Seakan aku bisa masuk ke dalam matanya yang hitam dan bening itu. Seolah aku bisa memasuki pikiran dan hatinya, walau kenyataannya tidak.
“Kau masih seperti dulu. Masih tetap cantik dan selalu membuatku kagum akan wajahmu yang selalu bersinar. Menerangi hatiku yang gelap.”
“Dan kau juga masih sama seperti dulu. Masih tetap menjadi orang yang paling kusayangi.”
‘Dan selalu kucintai!’
Ia kembali menarik tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya. Dan kini pelukannya semakin erat… Dan hangat.

Aku memandang diam dalam kehancuranku. Ada rasa sakit yang menyerang dengan hebatnya saat kulihat ia tengah tertawa mesra di sebuah cafe dengan seorang gadis yang aku tahu ada di hatinya. Setetes air mata mengalir membentuk sungai kecil di pipiku. Dengan mulut terkunci, aku masih menatapnya dengan perasaan miris.
Tangan kekarnya yang selalu menyentuhku, kini membelai rambut gadis lain di hadapannya. Mata bening menenangkan yang selalu menatapku lekat, kini memandang nakal pada gadis di hadapannya. Senyum renyahnya yang selalu ia tujukan padaku, kini ia berikan pada gadis lain di hadapannya.
Aku benci melihat semua itu. Aku ingin sekali menjambak rambut gadis itu karena telah merebut kekasih hatiku dari tanganku. Aku ingin menyeret gadis itu jauh dari hadapannya. Aku ingin sekali melakukannya.
Tapi sisi lain hatiku tak mampu melakukannya. Sisi lain hatiku memperingatkan aku, ‘Siapa diriku di matanya!’
Air hangat merembes ke sudut mataku hingga membuat kedua mataku terasa panas. Jantungku berdetak cepat. Membuat dadaku terasa amat sakit menahan luka yang tak punya malu menelusup ke dalam hatiku.
‘Sadarkah ia telah membuatku menangis? Sadarkah ia telah memberi luka dalam hatiku? Sadarkah ia telah membuatku terluka? Sadarkah ia telah menggores hatiku dengan pisau belatinya yang ia sembunyikan di balik bajunya?’
“Maaf nona. Ada yang bisa saya bantu?” aku menurunkan kedua tanganku dan menoleh pada asal suara. Aku melihat sepasang mata tengah menatapku lembut dengan belas kasihannya. “Maaf jika saya mengganggu. Tapi saya lihat kalau anda sedang sedih. Boleh saya tahu kenapa anda menangis?”
Aku menatapnya dengan harapan ia tak akan ikut campur urusan orang lain. Tapi ternyata ia tidak pergi dari hadapanku.
“Baiklah kalau anda tidak mau menceritakannya. Perkenalkan nama saya, Gio.” ia duduk di bangku sebelahku. “Jika anda ingin mengurangi beban anda dengan menceritakan isi hati anda, saya siap untuk menjadi pendengar setia.”
Aku menatapnya dingin dengan mataku yang masih merah dan sembab. Berharap laki-laki tak tahu diri itu enyah dari hadapanku.
“Maaf, aku tak membutuhkan itu. Kurasa aku masih punya teman yang bisa aku jadikan tempat curhatku.” Aku berdiri dengan enggan dan mengambil tas serta jaket yang kuletakan di atas meja. Dan pergi meninggalkannya dengan senyum yang terukir di wajahnya sambil menopang dagunya dan menggeleng pelan.
“Aneh.” kata terakhirnya yang masih kudengar di sela-sela kepergianku.

Kulihat gerimis tipis turun dari langit biru yang sama sekali tak mendung dengan bersandar pada jendela kaca sambil bersedekap. Titik air yang membuat basah daun-daunan di dahannya. Menimbulkan bunyi gemericik indah bagaikan simfoni yang mengalun merdu di relung hati. Menyemarakan hati yang sunyi sendiri tiada berkawan.
‘Akankah aku seperti mereka? Yang selalu memberi senyum pada dedaunan meski membuatnya basah? Akankah aku seperti mereka yang selalu dirindukan saat sang mentari menyinari bumi dengan sinar yang panas? Akankah aku seperti mereka? Yang dapat melukis pelangi di langit biru setelah kepergiannya?’
Aku mendesah pelan. Mencoba membuang rasa lelah di batinku. Menyandarkan kepalaku pada dinding dan dengan pelan kupejamkan mataku. Mencoba merasakan setiap bunyi tetes gerimis yang jatuh mengenai dedaunan.
Bip! Bip! Bip!
Lamunanku buyar oleh suara getar ponsel milikku. Seketika aku beranjak dari depan jendela dan meraih ponselku yang kuletakkan di atas tempat tidur. Sekilas kulihat nama mama tertera di layar ponsel.
“Halo. Mama?”
“Sayang. Sekarang kamu dimana? Bisa jemput Mama nggak?”
Terdengar suara mama yang lelah dan suara ramai, seperti di mall.
“Ya. Sekarang Mama ada dimana?”
“Kamu datang saja ke mall. Mama ada di sini.”
Setelah bicara, mama buru-buru mematikan sambungan teleponnya. Sesekali aku mendesah. Bukan karena tidak ingin menjemput mama, tapi aku merasakan lelah yang benar-benar membuat diriku limbung hingga terjatuh.
Bersambung…

Cerpen Karangan: Mia


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...