Cerpen Izinkan Aku Mencintainya (Part 1)


Kusambut hari dengan berseri
Seiring mentari yang terus menyinari
Selaras hati yang bernyanyi
Serinai kasih yang menyinar di hati
Bersama sahabat yang selalu dekat
Jalin erat terikat kuat
ALIEF Dealova

     Sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang, melainkan masih mampir ke toko buku yang tak jauh dari sekolahku.
"Pak, tunggu sebentar ya saya masih mau beli buku" jelasku pada sopirku yang setia mengantarkanku kemana pun aku mau. "Baik Non" jawabnya dengan penuh hormat.

     Ku jelajahi rak buku yang bertuliskan novel-novel Best Seller itu dengan penuh semangat. Namun kali ini aku harus kecewa karena Novel yang kucari baru saja dibeli orang. Tapi, itu semua tidak membuatku kembali ke mobil. Aku mencari Novel lain yang tak kalah bagusnya dengan Novel yang kucari itu.

     Aku menyesuri kasir dengan beberapa Novel di tanganku. Setelah petugas kasir itu menjumlah dan memberitahukan jumlah dari Novel-novel yang ku beli, ku buka dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu ku tutup kembali dompet itu dan kumasukkan ke dalam tasku.
"Terima kasih," ucap kasir itu dengan senyumannya yang manis. "Kembali" jawabku.

     Pandanganku menyapu ke semua sudut parkiran disana, namun pandanganku tak juga menemukan mobil Avanza silver. Aku pun kerepotan mencarinya dengan membawa Novel yang baru ku beli. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada atas seseorang di atas gedung yang sangat tinggi.
"O, my god, cewek itu mau ngapain?" pikirku dalam hati. "Kalau dia sampai jatuh gimana?" lanjutku.
Ku berteriak dari bawah agar cewek itu mau turun, tapi cewek itu seperti sedang frustasi dan bosan hidup lalu ia ingin mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari gedung yang sangat tinggi.

     Tanpa berfikir panjang, aku pun menaiki gedung itu dan menghampiri cewek itu. "Bak, turun mbak, ntar mbak jatuh." Pintaku dengan hati-hati.
"Apa peduli Lo?" ketus cewek itu.
"Gue tau Lo lagi punya masalah, dan Lo harus hadapin masalah itu, bukan malah lari dari masalah Lo kayak gini."
"Lo gak tau masalah gue apaan, gue udah gak kuat dengan semua ini, gue malu sama temen-temen gue, gue malu sama semuanya." Isak cewek itu
"Allah gak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya"
"Gak usah bawa nama Tuhan deh Lo"
"Hanya orang bodoh yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri"
"Terserah Lo mo bilang gue bodoh, tolol, ato apalah, yang jelas Lo gak usah ikut campur urusan gue" tegasnya.
"Apa Lo gak kasihan sama orang-orang yang sayang sama Lo?"
"Ga ada yang sayang sama gue"
"Lo jangan bicara kayak gitu, gimana dengan sahabat-sahabat Lo, orangtua Lo, dan masih banyak orang yang ingin Lo hidup." Teriakku. Dan ku raih tangan cewek itu lalu ku turunkan dengan hati-hati.

"Kenapa sih Lo selametin gue?" katanya dengan isak tangisan yang membanjiri pipinya. Sepertinya masalah yang tengah ia hadapi sangat membuatnya patah semangat untuk hidup.
"Lo bisa cerita sama gue, insya Allah gue bisa jadi pendenngar setia."
"Kenapa Lo baik banget sama gue, padahal kita kan belum kenal?"
"O ya, gue Nasya. Lo?"
"Gue Arin"
"Oke, Arin. Mulai sekarang kita sahabat"
"Makasih ya"
Aku hanya mengangguk.

Di atas gedung itu, Arin mulai menceritakan masalahnya.
"Vindra adalah cowok yang sangat tampan, pinter, tajir dan juga kapten basket di sekolah gue. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama, sejak MOS gue udah suka tapi gue Cuma bisa memendam perasaan itu."
"Selang berjalannya waktu, rasa cinta di hati gue semakin tumbuh, sedangkan dia belum juga punya cewek. Menurut informasi dari temen-temen gue, dia dingin sama cewek. Namun dengan PDnya gue putuskan untuk mengungkapkan isi hati gue padanya. Gue gak peduli walaupun pada hakikatnya cowok yang nembak duluan. Saat itu, kebetulan di sekolah gue ada Camping ke puncak. Dan sore itu, gue punya kesempatan untuk berdua sama dia. Bibir gue tak bisa tertahan untuk mengatakan semua padanya."
"Vindra ada yang mau gue omongin sama Lo." Kata gue dengan jantung yang berdesir. Dengan cueknya dia menjawab. "Ngomong aja"
"Gue... gue..." gue gak berani bilang saat itu. "Lo mau ngomong apa sih?. Jadi gak nih yang mau ngomong? Kalau gak, gue pergi nih, gue lagi sibuk." Jawabnya dengan ketus.
"Iya jadi. Gue... gue su...ka sama Lo." Gue pejamin mata gue, biar gak lihat ekspresi dia. Tapi tetap aja gue ngelihat cowok itu. Dia sangat kaget begitu mendengar pernyataan gue.
"Ya udah, gue tunggu Lo ntar di malam api unggun. Kalau emang bener cinta sama gue, Lo pasti mau kan mengulang semua kata-kata Lo tadi di depan temen-temen". Mata gue terbelalak mendengarnya. Haruskah gue lakuin itu semua? Tapi demi cowok yang sangat gue cintai, gue akan lakuin itu.

     Tiba di malam api unggun, Vindra menyuruh gue seperti apa yang disuruhnya tadi sore. Dengan gugup gue pun berdiri di tengah-tengah mereka. "gue... gue suka sama Lo." Semua temen-temen berpaduan suara, menyoraki gue. Tapi bukan itu yang buat gue jadi patah semangat. Gue tetep berdiri dengan PDnya menunggu jawaban dari Vindra,
"Lo ngomong apa sich, gue gak denger." Dengan sangat malu, gue ulang perkataan gue. "gue suka sama Lo." Dan dengan perasaan tidak berdosa dia menjawab.
"Terus, gue harus bilang WOW gitu?"
"Maksud Lo?"
"Gue gak suka sama Lo, puas!"
Bagaikan disambar petir seketika itu "Lo brengsek!" teriak gue.
"masalah buat gue"

"Gue pun berlari meninggalkan tempat menyebalkan itu, dengan bangganya cowok berengsek itu mengetawakan kebodohan gue. Dia temen-temen yang lain gak peduli sama perasaan gue, sejak saat itu gue merasa kalau gue baru udah jadi cewek yang paling bodoh sedunia, dan gak ada yang peduli sama gue."

     Aku merinding mendengarkan cerita dari Arin, tak terasa air mata jatuh ke tanganku. Aku membayangkan kalau aku berada di posisi cewek itu. Pasti aku sangat malu dan merasa gak berguna hidup di dunia ini. Tapi, aku terus memberikan motivasi untuk Arin agar dia bisa bangkit dari keterpurukannya.
"Jadi, gara-gara itu Lo mo bunuh diri? Hidup Lo terlalu berharga untuk disia-siain gara-gara cowok berengsek itu."
"Tapi gue malu banget Sya, gue ngerasa temen-temen sekolah gue bakal ngetawain gue, karena gue udah jadi cewek terbodoh di dunia. Mereka semua tau kalau cinta gue bertepuk sebelah tangan." Arin menyandarkan kepalanya ke pundakku.
"Ya udah, terus mau Lo apa?"
"Gue gak akan bisa tenang kalau dendam gue belum tebalaskan, dan satu-satunya orang yang bisa bantu gue, Cuma Lo"
"What! Kenapa harus gue?"
"Karena Lo akan jadi orang baru di kehidupan Vindra. Kalian kan belum kenal."
"Kalo Vindra itu, udah kenal sama gue, gimana?"
"Gak, gue yakin banget kalau Vindra gak kenal sama Lo, jadi plis banget bantuin gue."
"Gue belum bisa jawab sekarang."
"Oke! Gue akan tunggu, tapi gue harap Lo gak bakal ngecewaiin gue."
Aku hanya terdiam. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menjawab ya? Atau tidak?

     Seminggu kenudian, ketika itu aku baru pulang dari sekolah, aku pergi ke rumah Arin. Rumahnya sepi, dan pintunya tidak dikunci. Aku langsung masuk dan menuju kamar Arin. Betapa kagetnya aku saat melihat Arin terkapar di lantai dengan berlumuran darah.
Aku dan pak Udin langsung membawanya ke rumah sakit. Selesai dokter itu memeriksa, aku masuk. Ia sangat lelah dan tak berdaya. Membuatku semakin tidak tega. "Kenapa Lo nyelametin gue lagi?"
"Kita kan udah jadi sahabat, jadi gue gak akan biarin sahabat gue bunuh diri hanya gara-gara cowok berengsek itu." Kata-kataku cukup membuatnya sedikit tenang. "Kalau Lo emang gak mau gue bunuh diri lagi gara-gara cowok berengsek itu, Lo harus mau ngejalanin semua rencana gue."
Aku hanya terdiam, aku tidak tau lagi harus bicara apa sama Arin. Ia menunggu jawabanku. Setelah aku fikirkan semuanya, akhirnya aku memutuskan.
"Oke, gue akan bantu Lo balas dendam sama cowok itu." Ucapku dengan gugup. Arin sangat bahagia dan langsung memelukku. "Makasih ya Sya, Lo emang sahabat gue yang paling baik, walaupun kita baru kenal"
"Tapi, Lo harus janji gak akan ngelakuin hal konyol itu lagi"
"Iya gue janji" jawabnya menyanggupi permintaanku. "Satu lagi Sya"
"Apa?"
"Lo gak boleh jatuh cinta sama cowok berengsek itu, Lo cukup dekati dia, buat dia jatuh cinta sama Lo, habis itu Lo tinggalin dia. Tapi Lo jangan sampe Lo suka sama dia, karena itu akan menjadikan Lo lemah."
"Mana mungkin gue suka apalagi cinta sama cowok itu." Kataku dengan sangat yakin. "Terus rencana Lo apa?"
"Mulai dari PDKT. Biasanya tempat tongkrongan dia tuh di area Balap Liar."
"Apa? Terus Lo mau gue kesana maksud Lo?"
"Ya ialah..."
"Bukan Cuma itu, Lo harus merubah kebiasaan Lo, pokoknya Lo harus sering ketemu sama Vindra."
Bisakah aku melakukan semua itu?

     Aku dan Arin pergi ke Area Balap Liar itu, malam itu merupakan malam pertama aku menginjakkan kakiku di tempat seperti itu, karena sebelumnya walaupun aku serimg diajak temenku, aku selalu menolaknya. Namun, malam ini dengan asyiknya ku berada disana. Arin menunjukkan foto seorang cowok padaku yang tak lain dia adalah Vindra.
Dia memang ganteng, tinggi, berkulit putih bersih dan dia cukup menawan untuk cewek-cewek yang belum tau sifat aslinya. Untung aja gue udah tau sifat aslinya. Dasar serigala berbulu domba.

     Dan dia memang sangat jago. Dia memenagkan pertandingan terlaknat itu. Beberapa cewek mengerumuninya, kecuali aku. Karena ogah banget gue harus ikut-ikutan mengerumuni cowok brengsek itu.
Lalu terdengar suara mobil polisi yang akan siap menangkap orang-orang di tempat itu. Aku kebingungan dan mencari tempat Arin berada. Semua orang di tempat itu berhamburan meninggalkan tempat itu, aku hanya berdiam diri dan pasrah. Ku pejamkan mataku untuk siap ditangkap, namun sebuah tangan menarikku, ku kira kalau dia adalah polisi, aku hanya menurut saat orang itu menyuruhku duduk di jok belakang.

     Baru kusadari setelah motor itu sudah jauh dari area balapan, ternyata aku masih selamat, orang itu bukanlah seorang polisi seperti yang aku bayangkan. Tapi, orang itu adalah targetku untuk balas dendam. Vindra...

     Kita berhenti di sebuah Café, seorang pelayan menanyakan pesananku, tapi aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Orang yang akan ku sakiti kini telah berada di depanku.
"Woiii... Lo mau pesan apa?" suara itu mengagetkanku. "Gue... gue pesen minum aja"
"Ya udah mbak, pesan Orange Jus dua"
pelayan itu pun pergi

"Lo tadi ngapain masih diem disana? Apa Lo mau ketangkep sama polisi?"
"Gue, gue gak tau harus kemana?"
"Lo yang kesana sama siapa?"
"Gue... gue sendirian" jawabku gugup.
Lalu, cowok itu menatapku dari atas sampai bawah. "Kalau gue perhatiin nih ya, kayaknya gue gak pernah lihat Lo di area balap liar ya? Pasti Lo orang baru ya?"
"Emang gue pertama kali ke tempat itu."
"Ngapain?" pertanyaan itu cukup membuatku bingung. "Gue Cuma iseng aja kesana, pengen tau aja, balap liar itu gimana?" untung aja dia percaya dengan jawabanku. "O ya, selamat ya, tadi Lo memenangkan pertandingan itu kan?" kataku memberi selamat dengan mengulurkan tanganku. Ia pun menjawab dengan sangat manis. Tapi itu tidak membuatku simapti padanya. Mungkin ini trik dia menghadapi cewek.

     Pelayan itu pun keluar dengan membawa dua gelas minuman orange jus. Nampaknya cowok itu sangat haus, ia meminumnya sampai habis. "O ya kita belum kenalan. Nama gue Vindra." Disertai senyum manisnya. "Nasya."

     Setelah berbincang agak lama, kami pun memutuskan untuk pulang. Aku memang gak berharap kalau Vindra akan mengantarkanku pulang. Ku berdiri di pinggir jalan untuk memanggil Taxi. "Sya, ayok naik!" ajaknya.
"Gak usah, biar gue naik Taxi aja." Tolakku. Namun ia terus memaksaku akhirnya aku pun mau diantarkan Vindra. Sebelum ku naik ke jok belakang, ku lihat Vindra kerepotan membawa gitar miliknya. "Biar gue yang bawain gitar Lo"
"Gak usah, biar gue bawa sendiri aja." Aku pun tidak memaksanya. "Lo pinter main gitar?"
"Gak begitu juga sih, kenapa?"
"Gimana sih caranya biar cepet bisa main gitar?"
"Belajar yang tekun dan sabar." Jawabnya singkat. "Udah, tapi tetep aja gak bisa, dan satu lagi, jari gue sakit setiap gue belajar main gitar. Dari situ, gue males belajar lagi."
"Lo mau, gue ajarin main gitar?"
"Yang bener?"
"Gue serius..." aku tak melihat kebohongan sedikit pun di mata Vindra. lalu aku segera menyetujui kesempatan bagus itu.

----

"Dalam belajar main gitar itu, Lo Cuma butuh kesabaran, dan Lo harus belajar yang tekun. Mengenai jari Lo yang sakit, itu emang duka bagi orang yang belajar gitar, apalagi bagi pemula kayak Lo." Pesannya cukup membuatku terdiam.

      Aku hanya mendengarkan aba-aba darinya. Peluang untuk mendekati Vindra semakin besar dengan alasan belajar main gitar padanya. Arin yang mengetahuinya, tak henti-hentinya memujiku. Ia sangat bahagia mendengar ceritaku.

     Makin seringnya kita ketemu membuat Vindra makin akrab denganku. Seperti malam ini, ia mengajakku ngedate. "Sya, gue udah ada di depan rumah Lo nih." Suara dari seberang yang sudah tak asing lagi sampai di telingaku. Aku segera keluar, dan benar Vindra sudah menungguku di atas motor berwarna putih.

     Vindra memandangku dari atas sampai bawah. Membuatku jadi SALTING alias salah tingkah. "Kenapa Lo ngelihat gue gitu?" Suaraku membuatnya sedikit kaget. "Lo... terlihat sangat cantik malam ini." rayuan itu sedikit membuatku besar kepala, tapi langsung aja aku tersadar kalau ini adalah bagian dari triknya merayu cewek. "Lo ternyata orangnya suka nge-gombal juga ya."
"Gue beneran, Lo cantik banget."

     Lalu, ku ajak dia untuk berangkat. Seperti biasa ku duduk di jok belakang. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tapi aku tetap menguatkan peganganku pada motornya. "Lo gak pegangan?"
"Gak." Jawabku singkat. "Pegangan aja, ntar jatuh Loh."
Sepertinya dia memang sengaja melaju dengan kecepatan tinggi, agar aku berpegangan padanya. Dan benar. Mau gak mau aku harus berpegangan padanya. Tiba-tiba ia mengerem motornya, secara spontan, aku mempererat peganganku. Ku lihat senyum di wajah Vindra. Aku tersadar akan hal itu, dan langsung melepaskan peganganku.

     Motor itu pun membawa kita ke depan sebuah Mall. Tanpa sungkan atau malu Vindra mengajakku masuk dengan menggandeng tanganku.
"Vin, kita mau ngapain?" tanyaku menunggu jawaban.
"Gimana, kalau kita nonton aja." Usul Vindra. "Mmm... Gimana ya?" kataku mempertimbangkan. "Oke. Tapi mau nonton film apa?" tanyaku lagi.
"Gimana kalau nonton film horror aja."
"Gimana ya?"
"Kenapa? Takut ya?" tuduh Vindra.
"Siapa bilang gue takut, gue berani kok."
"Ya udah, kalau gitu tunggu apa lagi. Lo tunggu sini bentar ya, gue masih mau beli tiketnya dan makanan."
"Oke."

     Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Vindra pun datang dengan beberapa makanan dan minuman di tangannya. "Disana aja yuk!" ajak Vindra setelah berada di dalam bioskop. Kami pun menduduki tempat duduk yang berada di deretan depan. Film itu sudah dimulai, walaupun sebenarnya, aku takut, tapi aku berusaha santai di depan Vindra karena aku gak mau dicap sebagai cewek penakut.

     Ketegangan para penonoton mulai terlihat, apalagi saat si hantu muncul secara tiba-tiba di layar kaca. Semua pun terkejut tak terkecuali aku yang secara tidak sadar menempelkan badanku ke tubuh Vindra. Di ruangan itu penuh dengan jeritan para cewek yang histeris ketakutan, termasuk juga aku.

     Sesaat kemudian aku tersadar dengan kelakuanku yang mengganjal, aku melongakkan kepalaku dan ku lihat Vindra memandangiku dengan senyum manis yang Nampak di bibirnya.
"Kalau Lo takut, kenapa Lo mau gue ajak nonton film horror?" pertanyaan itu menyadarkanku, dan kulepaskan tanganku yang ku lingkarkan di tangan kanan Vindra. "Siapa bilang gue takut?" jawabku menyangkal. "Terus, yang tadi itu apa?"
"Tadi, gue Cuma kaget aja kok."
"Kaget, sama takut itu beda. Dan tadi Lo kelihatan banget kalau Lo itu emang takut."
"Ea dech, gue ngaku klau gue emang takut, tapi gue gak bilang sama Lo karena gue takut dicap sebagai cewek penakut sama Lo." Jelasku. Vindra tertawa terbahak-bahak. Sampai orang di sekeliling kami menegurnya karena mereka tidak mendengar suara cerita itu. Cowok itu pun menutup mulut dengan tangannya.
"Diem dong, ini bukan di pasar, tapi ini di bioskop." Tegurku. "Abisnya, Lo lucu sih. Cewek penakut." Ia kembali tertawa.
"Hufh... rese banget sih Lo." Ketusku. "Ea dech sory."

Lalu Vindra menarik tanganku. "Mo kemana?"
"Katanya Lo takut nonton film horror, ya udah kita nonton film drama aja ya?"
"Gak usah, mending kita pulang aja."
"O ya, gue sampe lupa." Katanya tiba-tiba. Ia mnejitak kepalanya sendiri, seperti sedang mengingat sesuatu yang penting. Ia buru-buru menaiki motornya, aku pun mengikutinya. Sejurus kemudian, motor itu berhenti. Lalu Vindra menutup mataku dengan tangannya.
"Udah belum?" Aku gak sabar. Vindra dibelakangku terus menuntunnya menuju suatu tempat.
"Udah hampir kok." Kata Vindra
"Tapi mata gue perih nih, gak bisa liat," kataku semakin penasaran. Vindra tak menjawab. Dia mendudukkanku di kursi, lalu melepas pegangan tangannya.
Aku masih menutup mataku. Aku sangat penasaran apa yang akan Vindra berikan sampai aku harus menutup mata segala.
"Sekarang kamu boleh buka mata." Kata Vindra lembut.
"Sekarang?" Aku memastikan.
"Iya."
"Gue buka ya?"

Penulis: Alief Dealova


No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...