Cerpen Nostalgia

London, 2014

Liona Melani's Personal Of View

Tanganku yang tadinya lincah melukis, kini mendadak berhenti karena seorang telah berhasil menyentuh pundakku dengan lembut. Aku pun menoleh ke arahnya, dan ia tersenyum kepadaku. Mata onyx-nya yang menurutku indah kalau dipandang itu memandang wajahku lekat-lekat. Pemuda itu adalah teman sejurusanku di London University dulu, dan sekarang ia telah bekerja sebagai seniman terkenal di seluruh dunia.

Dan sedangkan aku, bukanlah seniman terkenal sepertinya tetapi aku adalah seniman jalanan. Demi menarik perhatian orang-orang-aku membuat sebuah stand dekat rumahku untuk melukis dan memajang semua karyaku. Robbert Joshua namanya. Ia menyodorkan sekaleng minuman isotonik kepadaku, dan aku pun menerimanya dengan mengucapkan terima kasih kepadanya.

“Dari mana kau mendapatkan inspirasi? Lukisan ini indah sekali!” Wajahku seketika merah padam seperti kepiting rebus karena ia memuji lukisanku. Ia sedikit tertawa melihat wajahku yang sudah tak tahan. Aku mengembungkan kedua pipiku.
“Kau menertawaiku? Dasar bodoh! Apanya yang lucu Robb?” Tanyaku sambil melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda. Aku iseng saja memoleskan warna soft pink pada bunga lily yang seharusnya berwarna kuning oranye untuk menutupi wajahku yang sudah malu.
“Soft pink? Bukannya itu warna yang paling kau benci Liona? Kau pernah bilang bahwa jika ada warna bodoh itu di lukisanmu kau tak segan-segan untuk mematahkan kayu kanvasnya. Tetapi sekarang kau lebih menyukai warna–” Aku cepat memotong pembicaraannya.
“Secara tak sadar, aku menyadari betapa miripnya aku dengan warna ini. Hm, iya memang aku membenci warna ini sangat benci malahan. Soft pink warna pucat yang bodoh, jelek, dan juga bisa merusak lukisanku, aku sama dengan nasib warna itu. Aku bodoh, jelek dan juga bisa merusak hubungan orang. Hahaha! Diriku memang seharusnya tak menjadi pelukis” Jelasku.

Robbert pun mulai bingung dan sedikit meneguk sisa minuman isotonik itu dengan habis lalu membuang kalengnya di tempat sampah dekatnya.
“Kau tidak bodoh, kau cantik. Dan apa maksudmu merusak hubungan orang?” Tanya Robbert dan kembali memandangku.
“Kau ingat? Saat lukisanku yang ingin ku pamerkan di International Painting Competition sewaktu kita kuliah? Lukisan itu dipatahkan oleh kekasihmu. Waktu itu aku menangis hebat dan kau memarahi kekasihmu demi aku, akhirnya kau dan kekasihmu hampir putus karena aku. Apa itu tak merusak hubungan orang?” Aku semakin terpuruk. Aku menunduk dan menahan air mataku agar tak jatuh sedikitpun. Robbert menatapku dengan tatapan sayunya.
‘Dengarkan saat aku bicara dengan nada samar. Aku tidak akan memaksakan diri untuk menjadi kuat, tapi aku tidak akan menangis seperti itu lagi.’

Tiba-tiba handphone Robbert baru saja berbunyi. Itu menandakan seorang meneleponnya. Ia menatap layar handphone-nya itu dengan kesal lalu ia mematikan dengan memencet tombol reject yang ada di layar itu.
“Kenapa kau matikan? Itu pacarmu kan, jangan segan-segan mengangkat telepon pacarmu di depanku. Aku itu temanmu Robbert” Ucapku sedikit sungkan. Dan benar saja handphone milik Robbert kembali berbunyi dan kali ini Robbert mengangkatnya.
“Hello?” Dia berbicara sedikit datar.
“What the hell! Yesterday you had asked me to meet my mother. And now again? Can you delay it? Now I must meet my friend she needs me more than you! You can visit my mother at her office alone!” Wajahnya mendadak berubah, lalu ia keras memencet tombol trun off the call di layar handphone itu.
“Tak baik Robbert, aku tak membutuhkanmu kok. Kau bisa menemuiku nanti” Aku berusaha tersenyum kepadanya. Lalu ia mengusap lembut kepalaku dan meninggalkanku. Dadaku sesak, semakin lama semakin sesak. Kepalaku panas mendengar pembicaraannya tadi. Itu pasti dari pacarnya atau mungkin tunangannya.

Menyakiti ku secara bertahap.

Aku mendapat kabar bahwa hari ini, Robbert akan menuju Tokyo untuk tinggal menetap di sana. Aku berlari secepat mungkin menuju Heathrow Airport yang tak jauh dari kediamanku. Aku pastikan pesawat yang dipakai Robbert belum lepas landas. Aku berhenti di apron bandara untuk beristirahat sejenak. Napasku tersengal. Lalu ku lihat sebuah sepatu besar tepat di hadapanku. Ah! Itu kaki manusia. Ku pandang kaki itu sampai ke ujung rambutnya.
“Robbert?” Ku dekati dirinya. Wangi parfum khasnya tercium begitu menyengat.
“Maafkan aku, aku baru mengabari hal ini tadi. Oh iya, sekarang aku akan flight menuju Tokyo. Aku akan diam di sana dan menikah bersama kekasihku. Maaf, ini mendadak sekali”

Mendengarkan penjelasan Robbert kali ini aku benar-benar ingin menonjoknya tetapi aku tak bisa. Mataku membulat sempurna, kelopak mataku panas dan cairan bening itu ke luar tanpa ku panggil. Ia memelukku dengan hangat. Mungkin ini perpisahan yang paling ku benci. Aku membenci ini lebih dari membenci warna soft pink.

“Jaga dirimu, Robbert! Kirimlah pesan email setiap minggu padaku. Dan aku tunggu kabar keluarga kecilmu nanti! Kirimi fotonya lewat pos ya!” Aku menyeka air mataku, aku tahu bahwa diriku hanya pura-pura tegar di hadapannya. Ku lepaskan pelukan itu dengan lembut lalu tersenyum padanya.
“Oke! Waktunya aku pergi Liona! Thank you for everything, i’m sorry I can’t reply it. You’re my special comrade. I Love you as my best friend. Bye!” Ku lihat punggunggnya memasuki pintu untuk check in, ku hela napas berat. Air mataku yang baru saja mengering kini kembali ke luar lagi. Ku langkahkan kakiku untuk pulang. Langit mendung menjadi saksi bahwa hari ini hari yang paling menyakitkan. Selang lima menit kemudian hujan datang dengan lebatnya membuatku menutup telinga. Aku tak peduli, ku biarkan hujan menemaniku. Bahkan bunyi hujan membuatku takut, kita bagaikan bagian dari payung.

Memoriku yang masih kuat mendorongku untuk mengingat perkataan seorang Robbert pada saat kami lulus dari London University. Wajahku yang basah terlihat menyedihkan, orang-orang yang berlalu lalang menggunakan payung dan mantel melihatku iba.

“Ah, hujan!” Ku peluk Robbert dengan ketakutan saat itu. Kami tak membawa payung ataupun mantel. Cukup dengan jaket tebal Robbert aku berlindung. Entah aku takut hujan dari dulu.
“Tenanglah, aku di sini! Siap ada untukmu kapanpun!” Ucapnya menenangkanku. Jaket musim dinginnya yang tebal serta panjang membuatku cukup hangat. Kami mencari tempat teduh untuk sementara waktu.
“Dingin sekali!” Ku usap-usapkan kedua telapakku di jaket Robbert. Lalu tanpa kusuruh Robbert memelukku dengan erat agar aku terasa hangat.
“Thank you” Aku menggelamkan kepalaku di dada bidangnya memejamkan mata yang sudah lelah ini.

Ku harap kau ingat dengan semua itu. Sebenarnya hatiku menolakmu saat kau pergi. Aku tak ingin sendirian di bumi ini tanpamu. Entah sekarang aku merasa aku membencimu 'sangat benci' Putus asa, itu adalah target di luar kepalaku. Tubuhku goyah saat mendengar kalau kau ingin menikah dengan gadis lain selainku. Mungkin aku terlalu banyak berharap. Tetapi, itu sebenarnya ingin ku wujudkan. Dan kini semua hanya kenangan indah yang bisa membuatku berhalusinasi.
Kenangan, ingatan tentangmu bersinar tanpa dosa.

“Ah maaf atas kejadian tadi! Kau tak apa?” Tanya Robbert saat aku menangisi sebuah puing-puing kanvasku yang sudah mungkin tak memiliki seni. Ini semua gara-gara pacar Robbert itu. Aku tak menyukainya!
“Robbert! Cepat putuskan hubunganmu dengannya! Aku tak kuat, dia membuatku gagal mengikuti kompetisi itu, masa depanku. Dia meremehkanku. Aku benci ini!!” Ku keluarkan semua unek-unekku yang dari tadi terpendam di hati. Aku marah pada Robbert.
“Apa maksudmu?! Aku tak bisa Liona, kau tak berhak untuk mencampuri urusan itu. Aku mencintai Clara 'gadis yang menjadi pacar Robbert' Untuk kompetisi itu kau bisa menggambar ulang! Aku tahu ini sakit bagimu, tetapi Clara adalah kekasihku” Robbert membuang muka kepadaku. Ia berlari meninggalkanku. Cairan bening yang paling aku tak suka datang menghiasi pipi lembutku.

“CUKUP!!! Aku tak mau mengingat itu lagi! Tuhan Jangan buat raga ini ikut bersama masa lalu lagi aku muak!! Aku ingin menghapusnya, aku ingin bumi menelan ingatan itu dan membawa jauh-jauh dari otakku! Tuhan tolong aku!”
Hei, jangan berkata apapun lagi, air mata ini jatuh di tanganku yang gemetar.

Pohon cemara pagi menitikkan embunnya ke hidungku. Aku tak bisa melupakannya, mungkin doaku kemarin tak cukup. Apa aku harus menyembah diriku sendiri agar bisa lupa dengannya? Aku juga tak tahu. Ku putarkan music list di handphone-ku dan ku pasang earphone di kedua telingaku. Aku mulai memejamkan mata, meresapi semua lagu-lagu itu. Tiba-tiba perasaan ini muncul lagi, perasaanku padanya dan menginginkan hidup seperti dulu lagi.
Ku pikir bisa melupakanmu, ku ingin keakraban kita seperti dulu.

Satu tetes.

Dua tetes.

Dan yang terakhir. Aku menangis lagi! Mataku telah bengkak hanya gara-gara menangis. Aku tak mengerti, mengapa aku menangisinya yang akan berbahagia dengan orang yang ia pilih. Mengapa aku yang terbebani? Ah, aku mengingatnya lagi, seperti kucing yang mengorek-ngorek makanan bekas manusia di timbunan sampah. Ku tak bisa percaya, alasan kenapa air mata ini mengalir. Satu hal yang hanya ingin ku ungkapkan dari dulu, dan sampai sekarang masih ku pendam dan ku kubur dalam-dalam. Aku sadar bahwa aku mencintainya, sangat mencintainya. Aku ingin ia bersamaku di hari kedepan. Kan ku simpan perasaan yang sebenarnya ini di dalam hati, sebelum kita menghilang esok
Aku sangat lelah dengan semua ini. Lebih baik ku pejamkan mata ini dan memeluk bantal kesayanganku.

Di alam bawah sadarku, aku sedang pergi ke Tokyo ikut bersama Robbert. Aku menikah dengannya menggunakan Kimono putih khas jepang. Aku mencium kening lebarnya dan mengucapkan janji-janji suci di hadapan pendeta. Air mata kini jatuh tetapi ini adalah air mata keharuan. Aku sudah resmi menjadi istrinya. Tetapi, setelah prosesi itu selesai terlihat sebuah cahanya melintas melewati mataku. Oh tidak, itu bukan cahaya. Itu adalah sebuah katana yang menghampiri Robbert dan menusuk dada bagian kirinya. Aku menutup mulutku seakan tak percaya. Lalu ku peluk Robbert yang sudah tak bernyawa dan memanggil namanya dengan kesedihan.

Peluh dinginku ke luar, mataku semakin mengeram. Gerah dan panas, itu seakan menjadi satu. Aku tidur dalam keadaan tak tenang. Ku buka mata lelahku dan menyadari apa yang baru saja terjadi. Entah itu mimpi atau halusinasi. Lalu ku teguk habis air mineral yang ada di meja samping dekat tempat tidurku. Hal ini membuat hatiku semakin sakit.
Hatiku terguncang dan semua yang ku butuhkan hanya cinta biasa. Ilusi yang mengelilingiku bagai seorang anak yang menghilang ke langit

Satu Bulan Kemudian.

Salju turun dengan langkah pelan. Ku buka sedikit jendela kamarku agar aku bisa melihat beberapa anak berbain bola salju. Ah! Aku jadi mengingat masa-masa childhood-ku yang sangat menyenangkan, bersama Ibu dan Ayah. Aku tersenyum lembut mengingat semua itu.
Sudah satu bulan aku berdiri tanpa seorang Robbert yang selalu mensupport-ku dalam keadaan apapun. Tak terasa, waktu telah berjalan cepat. Tetapi aku tetap tak bisa melupakannya. Dia adalah darahku, denyut nadiku bahkan nyawaku. Dia yang sudah memberiku segalanya. Surat yang ia janjikan bahkan email ia tak pernah kirimkan.

“Kali ini kau mengingkari janjimu, Robbert! Sudah seharusnya aku membencimu. Nanti kalau kau berkunjung ke London tak segan-segan aku akan membunuhmu dengan sadis! Kisah kita akan ku tutup sampai di sini. Namun Tak bisa. Aku memang bodoh! Cih..” Ku lihat kembali dunia luar yang dipenuhi oleh salju, bahkan hati ini juga ikut merasa dingin. Aku menunduk, aku bersedih lagi. Aku ingin menangis tetapi tak bisa, air mataku sudah habis karena ulah Robbert. Mungkin besok aku akan menangis darah kalau mendengarnya mati. Ku tak bisa menghentikan jarum jam yang bergerak dengan dinginnya. Benang cinta, menghilangkan bentuk keraguanku, serta membuatku sedih.

Ku tutup kembali jendela itu. Ku langkahkan kakiku untuk menuju cermin yang biasa ku gunakan untuk bercermin. Ku lihat diriku yang menyedihkan berdiri berkaca di sana. Lalu ku ambil sisir dan langsung menyisir rambut blonde panjangku, merapikannya sedikit. Ku poleskan blush on tipis ke daerah pipiku dan tak lupa ku gunakan lip gloss agar wajah sedihku tertutupkan. Ku sambar jaket hitam panjangku yang sudah siap tergantung di hanger dan ku pakai itu dengan cepat. Sepatu boots cokelatku sudah siap untuk ku pakai dan sepasang slop tangan tebal berwarna merah.

Ku buka pintu itu dengan pelan. Dan ku lihat dunia luar yang begitu menyenangkan, anak-anak berlari ke sana ke sini di hadapanku membuatku menyunggingkan senyum manisku.
“Be carefull, so you don’t fall!” Pesanku anak perempuan yang sedang mengejar seorang anak laki-laki di depannya. Ia pun mengacungkan jempol padaku.
“Aha, thank you a lot miss” Ia tetap mengejar anak laki-laki itu, sampai benar-benar ia dapatkan.

Di tengah salju, ku rasakan dingin yang menusuk tulang rusukku. Aku menyenderkan badanku di kursi panjang dekat aku sering berbagi inspirasi dengan Robbert. Itu hal yang kini tinggal kenangan, aku telah lepas contact dengannya. Tetapi, seiring jalannya waktu juga aku akan berusaha melupakannya dan berpikir kedepan.

“Kyaaaa!!! Hey, stupid kid! Give back my pencil. Because of you I can’t drawing now! Huaaaa!” Aku melihat anak perempuan itu menangis karena seorang anak laki-laki yang merebut pensilnya. Lalu, anak laki-laki itu menggembalikkan pensilnya dan memandang iba ke arah anak perempuan itu.
“Fo*l!! Huaaa Stay away from me!” Anak perempuan itu menjerit dan memukul kaki mungil anak laki-laki itu. Tetapi, anak laki-laki itu memeluknya dan menenangkan anak perempuan itu.
“I’m sorry. I didn’t mean to make you cry, angel. Hm, i like you so much! And I can’t let you go from me!” Rangkulannya lebih kuat dari sebelumnya. Anak laki-laki itu mencium kening anak perempuan itu. Ah, itu membuatku ingin lebih belajar dari mereka. Aku ingin move on, walau cinta yang belum sempat ku nyatakan dan lepaskan. Aku ingin menemukan seorang yang bisa mengisi hatiku selain Robbert Joshua. Itu juga membutuhkan waktu panjang. Mungkin sampai aku berhenti bernapas.

Kan ku lampaui cinta, membuang kesedihan, dan menemukan diriku yang baru. Ku tak bisa melihatmu lagi di masa depan yang indah, yang kelak kan datang,
Kan ku simpan perasaan yang sebenarnya ini di dalam hati, hingga ku temukan hari esok yang cerah.

“Thank you for the food, uncle. Bye” Aku meninggalkan kedai itu dan mendorong koper bawaanku. Aku akan pergi dari Negara yang penuh kenangan ini bersama Robbert. Dan sekarang aku akan pulang ke tanah kelahiranku. Indonesia. Setelah 10 tahun aku menjalani pendidikan dan profesiku menjadi seniman jalanan.
“London, ini adalah terakhir kali aku akan berdiri di London Brigde mewah ini. Tempatku dan Robbert pertama bertemu. Thank you, London you bring me anything here. If there are more time, I’ll back here again for spend my holiday. Maybe with my husband and my children Hahaha, bye!” Ku tinggalkan tempat itu dan menuju Airport sekarang. Akan ku lupakan sosokmu dan melangkah menjalani hidup baru. Tanpamu. Walau besok dan seterusnya tak akan ada dirimu lagi. Robbert.

Kan ku lampaui cinta, membuang kesedihan, dan menemukan diriku yang baru. Ku tak bisa melihatmu lagi di masa depan yang indah, yang kelak kan datang.
Kan ku simpan perasaan yang sebenarnya ini di dalam hati, hingga ku temukan hari esok yang cerah.

Aku menggenggam koperku, menunggu waktunya untuk pesawat untuk lepas landas. Aku duduk di sebelah pemuda tampan. Aku terkejut saat ia menyodorkan sebuah permen kepadaku.
“Sepertinya, kau tak membawa sedikit makanan. Nih, ambillah! Untuk mengurangi tekanan telingamu saat pesawat ada di atas. Jangan takut!” Aku pun menerimanya. Dia menanyakan lagi tentangku, namaku, pekerjaanku, rumahku. Dan ah, tak bisa ku jelaskan sekarang.
“Mulai sekarang kita teman! Dan kebetulan, aku salah satu pecinta seni dan membuka sebuah museum internasional. Aku harap kau memamerkan karyamu di museumku” Aku tersenyum dan tak percaya apa yang barusan ku dengar.
Aku senang, dan menerima kartu namanya. Mulai detik ini, aku akan berusaha menghapus jejakmu yang masih di hatiku. Tetapi, kau tetap menjadi yang pertama. Robbert Joshua. Terima kasih untuk segalanya!

Hontou no kimochi wa mune ni shimau Futari no asu ga kieru mae ni
Kan ku simpan perasaan yang sebenarnya ini di dalam hati, sebelum kita menghilang esok.

Owari.

Cerpen Karangan: Widipradnyani
Facebook: https://www.facebook.com/uzumakinomichi

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...