Yang Mengetik Tengah Malam


Angin kencang menyapu sebuah komplek warga perkebunan teh. Menambah dingin suhu yang memang sudah dingin. Seusai Magrib tak ada manusia yang mau menembus cuaca pegunungan. Yang bisa membuat tulang kesakitan karena kaku, dan darah membeku. Warga yang didominasi oleh pekerja pabrik dan kaum wanitanya sebagai pemetik teh itu, lebih memilih berdiam diri di rumah dengan tungku yang dibiarkan menyala sepanjang malam. Betul-betul suasana yang kontras dengan iklim perkotaan.


Di sebuah rumah yang biasa disebut bedeng, yang letaknya paling ujung dan tinggi. Terhalang oleh jalan raya tak ada lagi pemukiman, yang ada hanya hutan pinus. Penghuni bedeng itu bukan pekerja perkebunan, tapi dua orang guru perempuan yang masih muda. Mereka adalah dua sahabat yang kebetulan ditempatkan bersama. Mereka adalah sosok-sosok yang sangat berdedikasi dan mencintai profesinya, hingga rela ditempatkan, di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota.


Malam itu Wulan belum terlelap, ulangan semester baru saja berakhir. Tumpukan soal yang belum diperiksa menahannya untuk bergelung dalam selimut. Secangkir kopi yang baru diseduh cepat sekali dingin. Tak ada penghangat ruangan, lazimnya di Eropa untuk menghalau kedinginan yang kian ekstrim. Dengan dandanan ala suku Eskimo Dia masih tekun dengan pekerjaannya. Tak ada yang menemani, Nainy sang sahabat pulang dua hari yang lalu, karena Ayahnya sakit.


Tiba-tiba ada yang bereaksi dalam perutnya, panggilan alam menyeru untuk segera ditunaikan. Dengan malas Wulan bangkit, melucuti jaket, syal dan kaos kaki tebal. Dia ke luar dari kamar yang terletak di bagian depan. Untuk ke kamar mandi dia harus melewati kamar Nainy dan dapur.


“Sssrrrr” hawa dingin menyelusupi tengkuknya.
Tiba-tiba.
Samar-samar terdengar bunyi dari kamar sebelah. Wulan sangat mengenal irama itu. Suara keyboard dari komputer milik sahabatnya yang hobby sekali menulis.
“Ah, gak mungkin” Pikirnya. Jantungnya mendadak berdetak lebih kencang.
Nainy kan belum pulang, masa dia tidak tahu kalau sahabatnya itu telah datang. Tapi, suara itu tetap terdengar. Dan sekarang Wulan berdiri di depan pintu kamar yang tertutup. Lolongan serigala terdengar begitu dekat. Tak heran karena hutan begitu dekat biasanya malam-malam mereka berkeliaran di kawasan itu.


Pelan-pelan dibukanya pintu kamar itu. Pemandangan tak terduga dilihatnya. Seorang wanita dengan rambut panjang tergerai, sedang duduk depan komputer. Wulan terkesiap, rasa takut menguasai benaknya. Hampir saja dia berteriak, tapi wanita itu menoleh.
“Nay, kamu menakutiku!! kenapa pulang diam-diam begitu?”
“Hampir saja jantungku copot!” Cecar Wulan.


Nainy sahabatnya menatap Wulan dengan dingin. Tak ada kata-kata yang ke luar dari mulutnya. Walau sedikit heran Wulan pun merasa lega dan beranjak, meneruskan misinya ke kamar mandi. Diikuti seringai aneh dari Nainy, dan Wulan tak menyadari hal itu. Setelah usai karena kantuknya tak tertahan dia memutuskan untuk tidur.


Keesokkan paginya, Wulan selesai berdandan, dan siap menunaikan kewajiban. Ketika sedang menikmati sarapan di ruang tamu. Terdengar mobil angkutan yang baru datang dari kota. Tak lama kemudian. Pintu diketuk dari luar, satu wajah tersembul di luar. Nainy baru datang. Seketika wajah Wulan berubah pucat pasi mengingat semalam, siapa yang mengetik?


“Hai. Nona cantik! Kenapa dikau seperti melihat hantu? Kangen ya lihat diriku seperti itu”
Nainy memencet hidung Wulan yang sedang bengong.
“Tuh ibu bawain oleh-oleh, cendol dan ote-ote kesukaan kamu, sorry aku kemarin gak bisa pulang. Biasa keburu sore. Mobil rute ke sini kan sudah gak ada lagi.”


Mendadak Wulan pingsan.


The End.


Cerpen Karangan: Nenden Siti Murniati

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...