Cerpen (Dinda III) Mawar Merah


Kau tahu dinda, malam saat kau melingkarkan kedua tanganmu di pundakku dan mencoba merangkulku, aku tahu bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Cinta telah bermain-main di kedalaman hati kita, namun ia tidak memberi ruang bagi kita untuk hidup bersama lebih lama.

Aku ingat saat pertama kali kita bertemu di sebuah jalanan kota. Aku tengah berteduh dari derasnya hujan yang mengguyur sore itu dan Aku ingin sejenak memanjakan kakiku yang telah berjam-jam mengelilingi kota yang kemudian aku tahu ini adalah kotamu, sembari mataku melihat-lihat keriuhan orang-orang yang berlari-lari menghindari guyuran air hujan.

Semalam sebelumnya aku baru sampai di kotamu untuk sebuah pertunjukan kelompok band ku di sebuah gedung kesenian yang diselenggarakan oleh pengusaha rokok sebagai bentuk iklan dan jauh-jauh aku datang ke kotamu sebagai kecintaanku terhadap musik. Pagi harinya, aku meminta ijin pada teman-temanku untuk berkeliling sendirian mengakrabi kotamu yang indah itu. kemudian hujan pun turun dengan lebatnya membuatku berhenti untuk menepi di teras sebuah pertokoan yang telah tutup atau mungkin tutup karena hujan. Guyuran hujan itu yang kini aku tahu sebagai sebuah keharusan takdir yang hendak mempertemukan aku denganmu, dindaku.


Saat itu engkau berlari-lari kecil menghindari genangan- genangan air dan menembus derasnya hujan. Aku tidak tahu dari mana engkau datang. Dan memang nya apa yang harus kuketahui dari orang – orang yang tak kukenali

rambut panjangmu tegerai basah kena air hujan menghampiriku. Ah, kau bukan menghampiriku tentunya. kau hanya ingin mencari perlindungan dari guyuran hujan sepertiku dan seperti yang lainnya. pakaian hitammu terlihat basah. Setelah sampai di dekatku, kau memberi seulas senyuman. kau cantik dan anggun, Butir-butir air sisa kehujanan aku perhatikan mengalir melalui pipi dan hidungmu. Segera kau menyekanya dengan tanganmu yang indah yang juga basah, kulitmu putih mulus, dalam hati aku diam-diam mengagumimu

Aku hanya bisa mencuri-curi pandang untuk menatap wajahmu yang basah, karena aku takut jika tatapan mataku engkau artikan tatapan mata seorang lelaki penuh nafsu atau tidak sopan.

Detak jantungku tiba-tiba berpacu lebih cepat saat tanpa sengaja kita bertatapan mata seaat. Kau tersenyum malu dan kembali mengalihkan pandanganmu menatap titik-titik hujan yang tak kunjung reda. Aku tahu kita berpikiran sama waktu itu, tentang hujan yang entah kapan berhentinya.

Kaulah yang mengajakku bicara waktu itu.

'Mau kemana?' tanyamu.
'mau ke gedung kesenian'

Hanya itu yang bisa kujawab karena selanjutnya aku tidak tahu harus ngomong apa Aku hanya memaksakan diri untuk melanjutkannya dengan senyuman. Meski aku bisa saja menggunakan teknik berkenalan yang diajarkan pakar percintaan ‘ronald frank’ namun di depanmu semua kemampuanku itu lenyap, aku tidak berkutik dalam dunia nyata

Sebuah angkutan kota terlihat di kejauhan. Kau melambaikan tangan yang kemudian angkutan kota itupun berhenti, tiba-tiba ada sebuah dorongan dalam hatiku untuk menyampaikan pesan padamu

'Nanti malam datang ya.' Detik selanjutnya aku terdiam, menyesali apa yang baru saja aku ucapkan.

Siapalah aku, siapalah engkau.. apa hubungannya aku menyuruhmu untuk datang, aku sangat malu sekali jadinya, Namun sebelum kau masuk angkutan itu, kau berbalik menatapku, tersenyum dan mengangguk pelan.
Dan kubalas dengan senyuman pula, aku merasa lega sekali kemudian selanjutnya Aku hanya bisa memandangimu di dalam angkutan kota yang membawamu menjauh dan menjauh sampai menghilang di kejauhan.

Tak pernah kukira dan tak pernah kumenduga ternyata engkau benar-benar datang di malam hari itu. Mulanya tentu aku tidak mengenalimu di antara kerumunan pengunjung yang melihat pertunjukan band ku karena saking banyaknya jumlah mereka. Kaulah yang menyapaku terlebih dulu.

'Permainan yang bagus,' katamu mengagetkanku.

Aku sedang berjalan ke arah penonton bersama teman-temanku untuk membaur dengan mereka dan melihat Pertunjukan kelompok band yang lain. Kitapun berdiri berdekatan dan mulai berkenalan, dan andai kau tahu betapa bergemuruhnya dadaku, Dinda. Sampai-sampai aku hanya bisa berucap sepotong-potong kalimat menanggapi apa yang kau katakan tentang pertunjukan band yang tengah kita lihat bersama itu. Saat itu aku tahu, ternyata kau juga seorang anggota band, bahkan kau berkata kalau kau tengah serius berlatih vokal. Aku jadi semakin tertarik untuk mengenalmu lebih dekat ketika itu.

Adakah cinta yang tumbuh di dalam hati kita atau hanya aku yang merasakannya ketika itu, ku tak tahu kenapa aku jatuh hati kepada seseorang begitu cepat, memang banyak perempuan-perempuan cantik yang pernah kutemui ditempat kerja atau ditempat umum tapi itu hanya sebatas kagum saja bukan sebuah perasaan khusus yang dalam seperti cinta. Berapa orang yang pernah kita temui dalam hidup kita yang memang benar-benar membekaskan ingatan yang dalam dalam ingatan kita? Aku yakin hanya satu berbanding seribu dari orang-orang yang sesungguhnya pernah kita temui.

Namun, pelukanmu di malam itu meruntuhkan semuanya. Tentu aku juga tidak menduga kau berani memelukku, tapi bukankah kita tidak pernah tahu pikiran seseorang itu bagaimana. Inilah saat yang mungkin dirasakan oleh semua pejalan saat menemukan tempat di mana ia ingin sekali berhenti, karena telah yakin di tempat itulah sesuatu yang ia cari berada. Aku seperti menemukan belahan hati yang selama ini menyendiri

Kemudian pelukanmu yang lekat di halte bus itu, abai akan pandangan mata semua orang yang memperhatikan kita abai akan tatapan teman-temanku juga, dengan tatapan yang kita tahu bukanlah tatapan-tatapan saat melihat film drama romantis. Kita berdua tahu, bahwa saat itu adalah akhir dari sebuah kebersamaan kita yang sesaat.

“dinda harap kakak kembali dengan bunga mawar merah” katamu melepasku

Kemudian bus membawaku jauh darimu, ada sebuah kesadaran aneh dalam anganku ketika kau meminta mawar merah, namun aku tak tahu apa, hanya yang kurasa aku tidak akan berjumpa denganmu lagi walau setelah perpisahan itu kita masih bisa menjalin hubungan lewat baris-baris kata dalam layar kaca dan suara-suara pada alat komunikasi atau sebagainya, namun ruang kosong antara kau dan aku tetap tak terisi oleh perjumpaan raga.

***

Tiga tahun berlalu dan kini aku kembali menjejakkan kaki di kotamu dinda, namun keadaannya telah jauh berbeda

Di genggaman tanganku seikat bunga mawar merah yang masih segar seperti yang kau minta. Dengan langkah gontai aku menyusuri jalan-jalan di kotamu. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.

Kumasuki sebuah pemakaman dan berhenti di sebuah gundukan tanah yang masih terlihat baru. Kutabur bunga itu di atas pusaramu. Bunga yang kau minta, pertanda yang kau katakan padaku 3 tahun yang lalu, ternyata selama ini sebuah penyakit telah menggerogotimu sejak lama dan kau tak pernah memberitahukannya padaku. 3 tahun kita terpisah hanya lewat dunia maya kita menjalin hubungan dan kini aku tahu selamanya kita akan terpisah.

Dinda, hanya sehari itu kita berjumpa dan bercinta dalam perjumpaan raga, namun kenangan akan engkau tidak akan pernah hilang dan tak kan pernah kulupakan selama nafas masih tersisa
hanya sehari itu tak kan pernah kutemukan lagi dirimu, dimanapun…

Cerpen Karangan: Ruslan
Blog: lanz-alzilann.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...