Skip to main content
Prolog:   Angin laut berbisik di telinga, membawa aroma garam dan kisah masa lalu.  Di pesisir utara Jawa, di tengah hiruk-pikuk kerajaan dan pergulatan budaya, hiduplah seorang wali yang namanya terukir abadi dalam sejarah: Sunan Kalijaga.  Bukan sekadar wali, ia adalah seniman, negarawan, dan juru dakwah ulung yang berhasil menyebarkan Islam di Tanah Jawa dengan cara yang unik dan penuh hikmah.  Novel ini akan menguak perjalanan hidup Sunan Kalijaga,  merangkai peristiwa-peristiwa penting,  dan  mengungkap  strategi dakwahnya yang jenius.   Bab 1:  Raden Said, Putra Seorang Adipati   Kisah dimulai di tengah kemegahan dan kemewahan Kesultanan Demak.  Raden Said,  putra seorang adipati,  hidup dalam lingkungan yang kaya akan seni dan budaya Jawa.  Namun,  di balik kemewahan itu,  ia merasakan gelisah batin.  Ia mencari makna hidup yang lebih dalam,  sesuatu yang melampaui batas-batas kesenanga...

Cerpen Pulau Hamil


"Anginnya sejuk, Yah. Tempat apa ini?"
"Ini namanya Pantai, Nak."
"Pantai apa, Yah?"
"Namanya Pantai Ujung"
"O, ujungnya yang mana, Yah?" ucap Latifah sementara dua jari telunjuk mungilnya yang baru berusia hampir lima tahun menunjuk ke arah yang berlawanan.
"Aduh, Fah, kamu banyak tanya. Dari tadi tidak pernah diam," kata Maliki, sebuah tangannya merangkul tangan Latifah kecil yang hampir berlari di sampingnya.
"Yang mana, Yah?" ulang Latifah seakan tidak mendengar keluhan ayahnya. Pertanyaan beruntun tak putus-putusnya keluar dari mulut mungil anak itu, menghujani Maliki sejak mereka tadi meninggalkan Rumah dan di sepanjang jalan di dalam mobil, hingga mendarat di Pantai Ujung tidak jauh dari Kota. Tempat mereka biasa melepaskan kepenatan di akhir pekan.

     Maliki tidak habis pikir dengan anak tunggalnya itu yang sangat rajin mengoceh dan tidak mengenal lelah. Padahal jarak dari rumah ke pantai tidak kurang dari lima jam perjalanan. Dan perjalanan itu pun mengantukkan bagi orang dewasa. Tetapi Latifah tetap bersemangat, kadang-kadang kasihan juga Maliki melihat anaknya. Dicobanya untuk mengajak istirahat sebentar sambil tidur-tiduran di tenda dekat mobil mereka diparkir, tetapi Latifah menolak. Dan terus bertanya.
"Kenapa pohon kelapanya banyak yang condong ke arah laut, Yah?"
"Itu karena angin lebih kencang dari darat ke laut,"
"Yah, disana itu apa?" Jari kecilnya menunjuk lagi.
"Semacam kapal. Ayah tidak tahu..."
"Bukan, Bukan kapal itu."
"O, yang bulat itu. Namanya..."
"Bukan!" Suaranya meninggi. Kakinya yang mungil dihentak-hentakkan ke tanah, jengkel karena ayahnya tidak tahu apa yang dimaksudkannya. "Bukan Batu."
"Yang mana?"
"Itu," katanya sambil menunjuk lagi.
"Pulau itu?"
"Pulau? Pulau itu, apa, Yah?"
"Pulau adalah tanah yang ditumbuhi tanaman juga tempat hidup para binatang dan dikelilingi oleh air laut"
"Berarti seperti tempat tinggal kita juga, Yah?"
"Ya, kita dan semua orang juga tinggal di atas Pulau."
"Apa disana ada orang, Yah?"
"Tidak, pulau itu tidak ada orangnya."
Latifah menghentikan langkahnya. Dan terus memandang ke arah laut. Kemudian bertanya, "Mengapa pulau itu kelihatan seperti orang hamil, Yah?"
Maliki paling merasa susah jika ditanya "mengapa" oleh Latifah. Kalau "apa" masih tidak terlalu sulit untuk dijawab. Anak-anak lainnya seusia Latifah juga senang sekali bertanya. Ya, keingintahuan anak kecil. Namun, Latifah bertanya bukan hanya sekedar ingin tahu. Perhatian Latifah juga tertuju pada alam sekeliling, pada jawaban yang diberikan pada setiap pertanyaannya, baik oleh Ayahnya atau siapa saja.
"Itu ada ceritanya, Fah," jawab Maliki. "Pulau itu namanya Pulau Hamil."
"Bagaimana ceritanya, Yah?"
"Panjang ceritanya, Fah. Nanti malam Ayah ceritakan,"
"Janji, Yah?"
"Ya, Ayah janji."

     Latifah tambah senang hatinya dan tambah tegap langkahnya. Janji Maliki membuatnya berhenti bertanya tentang pulau itu, tetapi hujan pertanyaan makin lebat. Tentang air laut yang terasa asin, ombak yang bergiur diterpa angin, tentang serpihan binatang laut yang berserakan di bibir pantai.

     Dahulu kala hidup di wilayah pantai ini sebuah keluarga kecil. Di dalam keluarga itu hanya ada dua orang: suami dan istrinya. Mereka sudah lama menikah namun belum mendapatkan buah hati. Mereka merupakan keluarga sederhana yang tidak kaya dan juga tidak begitu miskin. Pasangan itu hidup di sebuah pondok. Untuk menghidupi mereka, suaminya bekerja sebagai penangkap ikan dan istrinya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).

     Hidup di lingkungan bersama masyarakat setempat. Mereka merupakan keluarga yang sombong dan kikir, tidak pernah mau untuk membantu orang lain yang lagi kesusahan. Setiap ada warga yang meminta bantuannya selalu ditolak dengan berbagai alasan dan tepisan. Kadang tidak bisa membantu, tidak memiliki uang, lagi sibuk dan berbagai alasan lainnya selalu muncul dari bibir mereka baik suami maupun istrinya.

     Hubungan keluarga itu dengan warga setempat pun semakin memburuk. Orang-orang sudah tidak begitu peduli dengan mereka. Kala itu, istrinya diketahui mendapatkan kado istimewa dari Tuhan yaitu kehamilan. Alangkah senang hatinya. Dia kemudian menceritakan kepada suaminya. Dan suaminya pun ikut senang. Tujuh bulan berlalu. Sang istri makin jelas kehamilannya dengan perut yang menonjol ke depan seakan sangat berat membawanya dan semakin nampak besar bulatannya.

     Suatu hari, sang suami sedang pergi menangkap ikan. Tinggallah istrinya sendirian di rumah berduaan dengan anaknya yang masih dalam kandungan itu.
"Bapak ke laut dulu, Bu. Mencari ikan untuk kita makan nanti malam."
"Iya Pak." Jawab istrinya dengan nada rendah.
"Ibu baik-baik di rumah, ya, jaga kondisi Ibu dan buah hati kita!" pesan suami kepada istrinya, lalu pergi ke luar rumah dengan memikul serumpun jala.

     Setelah beberapa jam berlalu suaminya pergi, tiba-tiba wanita itu sangat ingin makan buah lamun: buah dari tumbuhan laut yang bisa dipetik ketika air laut sedang surut dan rasanya manis. Berfikirlah Ia bagaimana cara mendapatkannya. Hendak keluar rumah untuk mencari, terasa agak begitu repot dengan kondisi kehamilannya. Karena terpaksa oleh keinginan yang tidak boleh ditunda-tunda. Keluarlah Sang istri menuju rumah-rumah warga untuk mencari segelintir bala batuan.
"Pak, saya sedang ingin makan buah lamun, dapatkah membantu untuk mencarikannya?" Pintanya kepada seorang warga yang tampak sedang duduk di teras rumah yang tidak jauh dari pondoknya.
"Saya sedang tidak sehat sekarang, Bu." Jawab lelaki itu yang kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.

     Wanita itu terus mengayunkan langkahnya, berharap ada yang bersedia menerima permohonannya.
"Bu, bisakah mencarikan buah lamun untuk saya. Kebetulan air laut sedang surut."
"Aduh Bu, saya sedang buru-buru mau ke pasar sekarang." Jawab wanita yang ditemuinya itu.
Dengan mata sendu yang melambangkan keputusasaan serta langkah lesunya yang semakin melemah, wanita itu menuju pesisir pantai untuk mencari buah yang di idamnya. Tanpa harus menunggu bantuan yang tidak pasti, Dia terus berjalan di tepian. Air setinggi tumit mengharuskan pandangan matanya tidak lepas dari gundukan-gundukan pasir di bawah air dengan harapan menatap serumput lamun yang siap untuk disantap.
"Dimana buah itu, dari tadi tidak satupun ku temukan." Gumamnya dalam hati. Kemudian Ia berenti sejenak mengenang kehadiran buah lamun yang tidak kunjung datang.
"Mungkin mereka hidup di air yang lebih dalam." Pikirnya.

     Teruslah dia menyusuri ke arah laut yang sedikit dalam dan menjauh dari pesisir pantai. Dengan alunan langkah yang lentur namun pasti, ditemukan juga buah lamun itu. Dan di petiknya lalu dimakan. "Mungkin disana akan lebih banyak." Katanya sambil terus melangkah menyusuri lautan dangkal itu. Tidak sadar air laut semakin pasang yang kini sudah setinggi lutut rapuhnya. Melihat buah lamun yang makin banyak didapatkan, Dia semakin bersemangat.

     Air laut terus meninggi. Hari mulai gelap tanda akan turun hujan. Bergegaslah ia hendak kembali kedaratan. Dengan ayunan langkah yang lamban dan keletihan sudah melanda dirinya. Ia terus menuju pesisir. Kini air laut mencapai dadanya. Semakin lambatlah langkah wanita renta itu. Silauan petir mulai terasa. Langit mulai gelap. Seketika wanita tua itu tergelam yang akhirnya mengapung dengan perutnya menonjol di atas permukaan laut. Jadilah ia sebuah Pulau yang berbentuk seperti orang hamil. Pulau itu hingga kini terletak didepan Pantai Ujung yang bisa kita datangi dengan berjalan kaki ketika air laut sedang surut.

"Kenapa wanita itu jadi Pulau, Yah?"
"Itu karena Tuhan marah kepadanya yang sombong dan pelit, Nak."
"Orang yang sombong Tuhan tidak suka, ya?"
"Iya, Tuhan telah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain."
"Kalau badan berubah jadi pulau, sakit ya, Yah?"
"Tentu. Itu hukuman bagi orang yang tidak patuh kepada perintah Tuhan."
Latifah terdiam. Maliki melihat anaknya menatap langit-langit. Matanya melukiskan bahwa otaknya sedang berputar cepat. Entah apa yang dipikirkannya. Maliki khawatir Latifah takut dengan ceritanya. Ia khawatir latifah ngeri membanyangkan sakitnya perubahan diri menjadi Pulau.
"Yah," kata latifah sambil mengalihkan pandangannya ke wajah Maliki yang berdekatan dengan wajahnya. Maliki memeluk anaknya yang terbaring di tempat tidur. Senyum manis Maliki mencoba meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutinya. "Kalau aku tidak patuh pada perintah Tuhan, apa tuhan akan menghukum aku."
"Kamu anak yang baik."
"Ini kalau saja, Yah. Bagaimana kalau aku tidak patuh?"
"Kamu akan jadi anak yang patuh, Fah."
Lama Latifah berpikir. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak menjawab pertanyaannya. Dia terlalu kecil untuk membaca kerumitan pikiran ayahnya. Pikiran kecilnya terlalu lugu untuk mengarungi pikiran orang dewasa yang selalu punya banyak pertimbangan.
"Ya, ini kalau. Kalau anak Ayah tidak patuh, bagaimana?"
"ayah akan berdo'a kepada Tuhan agar Latifah di ampuni-Nya."
Latifah diam lagi. Lalu, "Kenapa, Yah?" tanyanya sambil memainkan kerah baju ayahnya.
"Karena Ayah sayang Latifah."
"Kenapa, Yah?" lanjut Latifah.
"Kenapa Ayah sayang kepadamu?"
Latifah mengangguk.
"Itu kewajiban orang tua, Fah."
"Apa disuruh Tuhan?"
"Ya, Tuhan menyuruh manusia berbuat baik sesama manusia. Orang tua sayang kepada anaknya dan anak sayang kepada orang tuanya."
Latifah berpikir lagi. Kemudian, "Kalau begitu, warga tempat keluarga itu tinggal juga tidak patuh, ya, Yah?" Terkejut Maliki mendengar perkataan anaknya.
"Kenapa Fah?"
"Mereka tidak patuh kepada perintah Tuhan. Mereka juga tidak mau membantu keluarga itu. Apa warga tadi juga di hukum Tuhan, Yah?"
"Ayah tidak tahu."
"Apa warga tidak mau menolongnya karena warga disana juga orang-orang yang tua renta, Yah?"
"Entahlah, Fah." Kata Maliki sambil mengusap pipi Latifah yang dihinggapi nyamuk. Mata anaknya hampir tertutup. Kantuk makin terasa menguasai dirinya.
"Apa ayah yakin yang menjadi Pulau itu istri penangkap ikan. Bukan warga yang lain, Yah?"
"Ayah tidak begitu yakin, Fah. Ini cerita orang."
Latifah terlelap dengan seulas senyum tercipta di bibirnya.

Penulis: Siswari


Comments

Popular posts from this blog

The Painting of Destiny

"Are you sure of this, Navan?" The old pirate stared at King Mannas' chief merchant. However, his bright emerald green eyes sparkled with laughter. "The information came from Daoud, one of my former crew members, when I was ravaging the coastal villages of Vyrone." Navan smiled at the expression crossing Gerrod's face, whose family had fled from one of these villages. The Iron Falcon was a legend and parents had always used the threat of its crew and its flaming-haired captain to scare naughty children into sleeping and behaving differently. Gerrod quickly recovered and smiled. "Then he must be a man to be trusted, indeed." "Ah!" cried Navan. "Daoud will take the coin from the mouth of a dead man while it is still warm. I trust him only because he knows the fate of him who lies to me." I may have made him captain when I decided to infiltrate King Mannas' court, but he still knows who is in charge. "We must tell ...

Good Morning America is a popular

Good Morning America is a popular morning news show that airs on ABC. It has been a staple in American households since its debut in 1975. The show covers a wide range of topics including news, entertainment, lifestyle, and pop culture. With its team of talented hosts and reporters, Good Morning America provides its viewers with the latest updates on current events and trending stories. One of the things that sets Good Morning America apart from other morning shows is its lively and energetic atmosphere. The hosts, including Robin Roberts, George Stephanopoulos, Michael Strahan, and Lara Spencer, bring a sense of fun and camaraderie to the show. They engage with their audience and each other in a way that feels genuine and relatable. In addition to its engaging hosts, Good Morning America also features a variety of segments that cater to a diverse audience. From cooking demos and fashion tips to celebrity interviews and human interest stories, the show offers something for everyone. Wh...

Tingkatkan Kecepatan Situs Web Anda: Teknik Pengoptimalan Front-End Tingkat Lanjut

Jelajahi strategi lanjutan untuk meningkatkan kecepatan dan responsivitas situs web melalui teknik pengoptimalan kinerja front-end yang efektif. Teknik Lanjutan untuk Optimasi Kinerja Front-End Pengguna mengharapkan kepuasan instan dan situs web yang memuat lambat dapat berarti hilangnya konversi, pengunjung yang frustrasi, dan, pada akhirnya, dampak negatif pada keuntungan Anda. Di sinilah pengoptimalan kinerja front-end masuk. Dengan menerapkan teknik pengoptimalan lanjutan, Anda dapat meningkatkan kecepatan dan daya tanggap situs web Anda secara signifikan, menciptakan pengalaman pengguna yang mulus yang membuat pengunjung tetap terlibat. Mengapa Optimasi Kinerja Front-End Penting untuk Bisnis Anda? Pengoptimalan front-end lebih dari sekadar membuat situs web Anda dimuat lebih cepat. Ini tentang menciptakan fondasi untuk pengalaman pengguna yang positif. Inilah mengapa ini penting untuk bisnis Anda: Peningkatan Peringkat Mesin Pencari: Mesin pencari seperti Google mem...